Jam menunjukan pukul 9 pagi. Haechan menggeliat pelan dari tidurnya, perlahan ia bangun, dan duduk sebentar ditepi ranjang sembari mengumpulkan kesadarannya. Akhirnya hari minggu tiba, hari favoritnya karena ia bisa bermain game sepuasnya hari ini.
Haechan baru saja akan melangkah kedalam kamar mandi saat ponselnya berbunyi, tanda panggilan masuk.
Jeno. Nama yang tertulis dilayar.
"Halo"
"Haechan" Jeno memanggil namanya, suaranya terdengar parau. Perasaannya langsung tak enak.
"Ya! Kau di-"
"Bisa dengarkan aku dulu?"
"Baiklah"
"Aku ingin berterimakasih. Kau tau kan kau satu-satunya teman dekatku. Dan maaf juga karena membuat mu marah akhir-akhir ini"
"Bicara apa sih kau ini?!" Perasaan Haechan semakin tak enak. Tidak biasanya Jeno menghubunginya apalagi untuk menyampaikan terimakasih dan maaf.
"Selamat tinggal" ucapan terakhir Jeno disebrang sana sebelum panggilan terputus.
Haechan panik setengah mati. Masih dengan baju tidurnya, ia berlari keluar rumahnya, tak menghiraukan ayahnya yang bertanya kemana dia hendak pergi. Beruntunglah ada taxi yang kebetulan lewat didepan rumahnya, Haechan mencegat taxi tersebut dan meminta supir mengantarkannya kealamat yang ia sebutkan.••
Donghae keluar dari dalam rumahnya saat mendengar seseorang berteriak memanggil nama Jeno berulang ulang didepan pagar rumahnya.
"Haechan?" Donghae memandang bingung. Siapa juga yang tidak bingung melihat seseorang bertamu dengan pakaian tidur, ditambah anak itu terlihat seperti ingin menangis.
"Paman. Jeno. Jeno dimana?" Tanya Haechan saat Donghae membukakan pintu untuknya.
"Jeno? Mungkin dikamarnya" Donghae sendiri juga tidak yakin, tapi mengingat sejak pagi ia belum melihat Jeno keluar dari kamarnya, kemungkinan bocah itu masih tertidur dikamarnya bukan?
"Boleh aku masuk kekamarnya?"
"Masuk saja" Haechan tidak lagi memikirkan sikapnya yang kurang sopan, tapi ia langsung berlari masuk dan menuju kamar Jeno, disusul dengan Donghae yang jadi ikut panik melihat sikap Haechan yang tak biasa.
Saat Haechan membuka pintu kamar Jeno, didapatinya kamar itu kosong. Dan ketika dilihatnya meja belajar milik Jeno, selembar foto Jeno tergeletak disana. Diatasnya ada secarik kertas bertuliskan "Rest In Peace. Lee Jeno"
Haechan semakin panik, ia menoleh pada Donghae, menunjukan tulisan tangan milik Jeno itu. Seketika wajah Donghae berubah pucat.
"Kita harus mencari Jeno sekarang"Haechan kini sudah berada didalam mobil yang dikemudikan Donghae. Tangannya menggenggam erat sabuk pengaman, meyalurkan semua ketakutannya. Dalam hati ia terus berdoa agar Jeno tidak sampai melakukan hal yang bodoh yang mungkin dapat menghilangkan nyawanya.
Dengan bantuan rekannya, Donghae akhirnya mendapatkan lokasi terakhir Jeno, yang dilihat dari GPS ponselnya. Dan itu adalah krematorium tempat abu Jein disimpan.
Donghae mengemudikan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Ia tak kalah kuatirnya dengan Haechan.
Sesampainya mereka didepan krematorium, Haechan segera berlari masuk bahkan saat mesin mobil Donghae belum mati benar.
Jantungnya seperti mau copot saat mendapati apa yang ada didalam lemari kaca. Guci keramik dengan sticker nama "Lee Jein" tertempel seakan menutup ukiran asli yang bertuliskan "Lee Jeno", ditambah figura yang biasa menampilkan foto Jeno, kini berubah menampilkan foto-foto Jein, dan yang lebih membuat Haechan lemas, tepat disampingnya sebuah guci dengan sticker nama Jeno juga ada disana.
"Haechan! Jeno ada di-" ucapnnya terputus saat Donghae baru saja melihat juga apa yang Haechan lihat. Badannya menegang. Pikirannya sudah kacau. Tidak mungkin kan, Jeno akan mengakhiri hidupnya? Untuk apa ia menyiapkan semua ini!
Untung saja Donghae dengan cepat mengembalikan kesadarannya.
"Jeno tidak disini. Lokasinya berpindah, dia ada di tempat kecelakaan malam itu" ujar Donghae. Keduanya lantas berlari kembali masuk kedalam mobil. Semoga saja mereka tidak terlambat.••
2 jam yang lalu,
"Terimakasih" ujar Jeno, tangannya meraih kunci yang diberikan oleh penjaga krematorium, setelah ia mengisi formulir yang menandakan ia akan memakai lemari yang masih kosong, yang ada disamping lemari Jein. Untunglah penjaga krematorium itu tidak bertanya lebih lagi.
Jeno membuka pelan lemari itu dan dengan hati-hati memasukan guci yang sedari tadi dibawanya. Tak lupa ia menukar figura foto miliknya dengan Jein, yang juga sudah ia siapkan.
Jeno hening sejenak, memandang bergantian lemari miliknya dan milik Jein.
"Appa dan Eomma pasti bangga, aku bahkan menyiapkan makamku sendiri agar tidak merepotkan mereka" ia tertawa getir.
"Hyung, kita akan segera berjumpa"Jeno duduk diatas motornya, namun ia teringat satu lagi yang harus ia lakukan, sebelum ke rencana akhirnya.
Ia lalu mengeluarkan ponselnya. Jeno harus berterimakasih pada Haechan, bagaimanapun Haechan menjadi satu alasan ia bisa bertahan hingga saat ini. Kalau saja tidak ada Haechan, mungkin selama ini dia akan memendam permasalahannya sendiri.••
TBC
Jangan lupa vote nya ya
Ohyaa aku udh up story baru bisa cek di profile, judulnya "Luka" & castnya masi Jeno + dia masih jadi sad boy :(
Ayo kasih dia semangat, jangan lupa di baca & vote. Thankyouu yorobunn
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Jeno [END]
General FictionLee Jeno, dipaksa untuk hidup sebagai saudara kembarnya Lee Jein. Dengan sifat yang berbeda jauh. Mampukah Lee Jeno?