The Freedom

1.8K 213 3
                                    

Jeno masuk kedalam kamarnya, melempar asal tas ranselnya kesudut kamar. Ia yakin semua ini ulah ayahnya. Jelas-jelas ia tidak mengikuti ujian masuk fakultas kedokteran, bagaimana bisa ia diterima?
Jeno menoleh cepat saat pintu kamarnya dibuka oleh Donghae yang kemudian masuk kedalam kamarnya.
"Appa sudah mengurus semua yang berkaitan dengan kuliahmu. Kau hanya perlu mempersiapkan diri untuk ujian akhir sekolah" seperti biasa, tanpa ditanya, Donghae sudah lebih dulu menjelaskan pada Jeno. Menggunakan koneksi rekan kerjanya di rumah sakit, Donghae dapat dengan curang membuat Jeno lolos tanpa mengikuti test masuk universitas.
Jeno mengusah wajahnya kasar, lelah dengan semua ini.
"Aku sudah pernah bilang, aku tak mau" ujarnya.
"Dan Appa juga sudah pernah bilang, ini bukan sesuatu yang bisa kau putuskan sendiri" Donghae jelas tak mau kalah.
Jeno melangkah mendekat pada Donghae, menyisakan jarak yang begitu dekat, kemudian ia berlutut didepan Ayahnya, tangannya menangkup, memohon.
"Appa, Jeno janji akan menuruti semua keinginan Appa, tapi tidak dengan ini, aku hanya akan gagal dipertengahan jika Appa memaksaku untuk mengambil jurusan kuliah kedokteran. Ini bukan bidangku, Appa" Jeno memandang wajah Donghae penuh harap.
Donghae cukup terkejut melihat Jeno yang bersimpuh dihadapannya, dengan canggung ia ikut berlutut, mensejajarkan tubuhnya dengan Jeno, kedua tangannya mencengkeram bahu Jeno.
"Jeno-ya. Kau pasti bisa, lagipula ini semua untuk kebaikanmu. Menjadi dokter jauh lebih menjanjikan daripada mimpimu yang hanya menjadi seorang barista" Ujar Donghae. "Dan coba kau pikirkan baik-baik, apa kau siap melihat Eomma mu kecewa? Kau lihat sendiri tadi dia tampak bahagia" lanjutnya.
Donghae kembali berdiri dan pergi meninggalkan Jeno yang masih tak bergeming.

••

"Kalian bertengkar ya?" Tanya Renjun pada Haechan, ia menunjuk Jeno dengan dagunya. Dari kejauhan, Jeno tampak sedang menikmati sandwich yang menjadi makan siangnya, sendirian dibawah pohon yang ada diujung lapangan.
"Kau jelas tau jawabannya" jawab Haechan dengan malas. Biasanya di jam istirahat seperti ini, Haechan dan Jeno akan segera bergegas ke kantin untuk makan siang bersama. Namun semenjak pertengkaran mereka, Haechan memilih menghabiskan jam istirahat dengan Renjun, sedangkan Jeno akan menghabiskan waktunya sendirian, mengingat ia tak memiliki teman dekat lainnya, selain Haechan. Jeno sebenarnya bukan orang yang sulit berteman, hanya saja sejak ia hidup sebagai Lee Jein, tentu ia harus menyesuaikan kepribadiannya dengan kepribadian Jein yang lebih pendiam, tertutup dan sulit berteman.

Kini Haechan memandangi punggung Jeno yang menjauh, ditengah keramaian murid yang berhamburan setelah jam tanda usai jam pelajaran, berbunyi.
Ia tampak kesepian, kelihatan dari cara ia memandang murid-murid lain yang tampak berkelompok. Sebenarnya Haechan merasa iba, karena Haechan memahami, mungkin Jeno juga sedang ada masalah. Hanya saja ia masih kesal pasca keributan beberapa hari yang lalu. Jeno jelas yang memulai pertengkaran, jadi Haechan memutuskan tidak akan mempedulikan Jeno lagi kecuali Jeno yang meminta maaf duluan. Lagipula, salah sendiri, kenapa Jeno tidak menceritakan masalahnya dan malah melampiaskan kekesalannya padanya, pikir Haechan.

Suara klakson mobil Ayah Haechan, membuyarkan lamunannya. Sudah beberapa hari ini juga, Kyuhyun dengan rajin mengantar jemput Haechan, kuatir anaknya itu masih bergaul dengan Jeno yang ia kira Jein itu.
Pertengkarannya dengan Jeno ada baiknya juga, setidaknya untuk membuat ayahnya percaya bahwa ia sudah tidak berteman dengan Jeno -tentu hanya untuk sementara waktu-
Haechan berharap ayahnya dapat mempercayainya sehingga ia tidak perlu diantar-jemput seperti ini, bagi Haechan ini sangat menyebalkan

••

Ibu Jeno tampak sedang menarik sebuah koper yang cukup besar saat Jeno baru saja tiba dirumah, Ayahnya juga tampak tergesa-gesa membantu memasukan koper kedalam mobil.
"Jein ya. Kakekmu jatuh sakit, Eomma dan Appa harus ke berangkat ke Jeju, penerbangan sore ini" ujar Jessica menjelaskan, sembari memeriksa jam tangan yang dikenakannya. "Kau baik-baik dirumah ya, mungkin kita akan tinggal beberapa hari di Jeju"
"Baiklah, Eomma. Hati-hati dijalan"
Beberapa menit kemudian, mobil milik keluarga Jeno sudah menghilang dari balik pintu pagar.
Jeno mematung sejenak, namun kemudian senyumnya merekah, ia bukannya senang jika kakeknya sakit, tapi ini kesempatan emas baginya. Orangtuanya akan tinggal beberapa hari di Jeju, itu artinya Jeno juga memiliki beberapa hari kebebasan. Ia mengurungkan niat untuk masuk kedalam rumah dan memilih untuk pergi ke minimarket yang tak jauh dari rumahnya. Ia harus merayakan hari pertama kebebasannya.

Jeno mengayunkan plastik belanjaan yang dibawanya, sesekali ini mengalunkan lagu dan bersiul. Suasana hatinya sedang bagus.
Sesampainya dikamar, dikeluarkannya barang barang yang baru saja ia beli. Rokok, soju, mie cup, dan beberapa cemilan ringan.
Jeno tak mengira hari ini datang juga, dimana ia bisa menjadi Jeno sesungguhnya, dirumahnya sendiri. Andai saja ia tidak bertengkar dengan Haechan, Jeno pasti sudah mengajak Haechan datang dan menginap. Sayangnya ia hanya bisa merayakan kebebasannya, seorang diri saja.

••

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Jeno bergegas pergi meninggalkan kelas. Ia tidak boleh menyiakan waktunya semenit pun. Ini hari ketiga orangtuanya tidak dirumah, dan masih belum ada kabar dari mereka kapan mereka akan pulang.

Jeno menambahkan volume pada speaker miliknya yang sedang mengalunkan lagu "painkiller", lagu kesukaannya. Ia bahkan masih menggenakan seragam sekolah sekarang, enggan untuk berganti. Dibukanya 2 kancing teratas seragamnya, agar tak terlalu mencekik. Dijarinya terselip sebatang rokok menyala, sedang diatas meja belajarnya, ia sudah membuka sebotol soju, sembari menunggu mie cup yang diseduhnya itu termasak sempurna. Jangan tanyakan keadaan kamar Jeno yang sudah seperti kapal pecah. Tas sekolahnya ia biarkan diatas kasur. Kamarnya penuh dengan asap rokok, dan jangan lupakan bungkus snack dan batang rokok yang sudah habis ia hisap, sampai tercecer karena tempat sampah yang ada sudah terisi penuh.

Jeno menghisap rokok yang dipegangnya, bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka, menampakan sosok ibunya. Keduanya sama-sama terkejut dan terdiam untuk beberapa waktu. Jeno reflek menarik tangannya, menyembuyikannya dibelakang tubuhnya, meskipun sudah terlambat, karena tentu ibunya sudah melihatnya merokok barusan.

"E-eomma" Jeno sampai gugup, tak tahu harus berkata apa.
Dan detik berikutnya, ibunya melangkah mundur, menutup kembali pintu kamar Jeno dan berlari masuk kekamarnya.

TBC

Jangan lupa vote kalo suka
Thankyouu ❣️

I'm Jeno [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang