Dream and Pain

2.2K 264 8
                                    


"Karena kalian sudah kelas 3 dan sebentar lagi kalian akan lulus, maka sudah saatnya kita akan membuka kotak mimpi yang pernah kalian buat dikelas 1" jelas Yuta sang wali kelas. Didepannya terdapat sebuah kotak dengan gembok yang sudah terbuka.

Jeno masih ingat saat ia dan teman-temannya diminta menuliskan cita-cita mereka pada secarik kertas, yang nanti disimpan didalam amplop, dan mereka akan membukanya lagi saat mereka berada dikelas 3, untuk mengingatkan kembali apa mimpi mereka.

Jeno terlihat acuh tak acuh saat Renjun yang diminta oleh Yuta untuk membagikan amplop yang ada didalam kotak sesuai nama, meletakan amplop bertuliskan nama Jein diatas meja Jeno.
"Ah, ini milik Jeno, kurasa kau perlu menyimpannya" Renjun kembali kemeja Jeno dan kini menyerahkan amplop bertuliskan nama Jeno.
Jeno hendak memasukan kedua amplop itu kedalam tas, tak ada minat untuk membuka. Alasan pertama, ia sudah tau apa yang pasti tertulis dimilik milik Jein. Anak itu dari dulu ingin seperti ayahnya, menjadi seorang dokter. Dan Alasan kedua, apapun yang ditulis oleh Jeno, itu tidak akan tercapai bukan?

"Kau tak membukanya?" Haechan terlebih dulu merebut amplop yang dipegang oleh Jeno sebelum sempat dimasukan kedalam tas. "Boleh kubuka?" Tanyanya.
Hanya dibalas anggukan oleh Jeno.
Mendapat ijin, Haechan segera membuka amplop milik Jeno terlebih dahulu.

"Barista" Haechan membaca tulisan diatas kertas itu. "Apakah ini tulisan Jein?" Tanyanya pelan, sembari menunjukan tulisan tangan kecil yang ada dibagian bawah.
Jeno sontak merebut kertas itu, ia sendiri juga tak tahu kapan Jein menambahkan tulisan itu, tapi ia yakin itu adalah tulisan tangan Jein.

"Jeno, apapun yang terjadi kau harus mewujudkan mimpimu, berjanjilah padaku"
Bunyi tulisan Jein.

Jeno tertegun sesaat, tulisan Jein seakan menjadi jawaban untuknya, yang hampir saja mengubur mimpinya. Sudut bibir Jeno terangkat, membentuk sebuah senyuman. Ia senang mengetahui bahwa setidaknya Jein juga menjadi salah satu orang yang mendukung mimpinya, selain Haechan.

"Hyung, aku janji akan mewujudkan mimpiku. Tolong dukung aku dari atas sana" ujar Jeno dalam hati.

••

Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Mungkin lebih tepatnya, hari yang dinantikan oleh Donghae. Hari ini ujian seleksi untuk masuk ke fakultas kedokteran akan diselenggarakan.
Mereka berdua, Donghae dan Jeno sudah dalam perjalanan. Keadaan mobil begitu sunyi. Jeno memilih memasang heasetnya ditelinga, menyalakan lagu kesukaannya dengan volume maximal. Sedangkan Donghae tampak fokus menyetir dan tidak ambil pusing dengan Jeno yang tampak enggan berinteraksi dengannya. Sudah biasa baginya.

"Lakukan yang terbaik" ujar Donghae singkat saat mereka sudah sampai didepan gedung universitas tempat ujian diadakan.
"Aku akan pulang sendiri, tidak usah menjemputku" sahut Jeno sebelum ia turun dari mobil. Setelah memastikan Jeno masuk kedalam gedung, Donghae baru menginjak pedal gas, meninggalkan tempat itu.

Tanpa Donghae tau, Jeno tampak memperhatikan mobil ayahnya itu dari dalam gedung. Melihat mobil ayahnya sudah menjauh, segera Jeno mengeluarkan ponselnya, menghubungi Haechan.
"Jemput aku sekarang" pintanya.

••

Sedari tadi Haechan sibuk mengambil gambar Jeno menggunakan ponselnya, layaknya seorang fotografer. Ia tampak bangga dan ikut bahagia melihat Jeno yang saat ini sedang mengikuti pelatihan barista. Jeno terlihat sangat keren saat sedang fokus menuangkan foam kedalam cangkir berisi kopi dengan hati-hati. Semalam Jeno menghubungi Haechan, memintanya untuk menemaninya hari ini, karena Jeno berencana untuk kabur dari jadwalnya mengikuti ujian.

"Lihat, kau sangat cocok menjadi barista" puji Haechan sembari memperlihatkan hasil jepretannya. "Tapi kau yakin ayahmu itu tidak akan marah jika sampai tahu?"

"Tenang, Ia pasti mengira bahwa aku sudah mengikuti ujian dan membayarkan uang itu. Lagipula ia tidak pernah peduli denganku, selama aku bisa berpura pura menuruti perkatannya" Jeno akui kali ini ia kelewat batas. Uang yang ayahnya kirimkan untuk pendaftaran universitas, Jeno gunakan untuk mengambil pelatihan barista hari ini. Tapi hanya itu rencana yang terbesit dipikirannya saat ini.

••

Sepertinya Jeno terlalu percaya diri saat mengatakan bahwa ayahnya tidak akan tahu perihal ia tidak ikut serta dalam ujian masuk. Buktinya malam ini Jeno dikejutkan dengan ayahnya yang membuka pintu kamarnya dengan kasar, melangkah lebar menghampirinya, dan menarik kerah baju yang dipakainya.
"Kau tidak mengikuti ujian, huh?" Tanyanya. Padahal sudah jelas ia tahu jawabannya.
"Sudah kubilang aku tidak tertarik" sahut Jeno.
Donghae lantas menghempaskan tubuh Jeno dengan kasar, keatas tempat tidur.
"Bukan kau yang berhak menentukan" ujar Donghae lagi. "Dimana uang yang Appa berikan?"
Donghae sebenarnya sudah menaruh curiga pada Jeno, karena itu ia meminta asistennya untuk memeriksa status pendaftaran Jeno di Universitas Seoul dan hasilnya, Jeno tidak terdaftar. Ditambah lagi ketika ia memeriksa rekening Jeno, ia mendapati Jeno menarik uang yang ia kirimkan, di mesin ATM yang tak jauh dari lokasi ujian diadakan, menandakan bahwa Jeno pasti kabur dihari ujian, menarik uang itu dan menggunakannya entah untuk apa.
Tanpa menunggu jawaban Jeno, Donghae dengan lancang membuka satu persatu laci meja belajar Jeno, hingga lemari pakaian, mengeluarkan semua isi didalam lemari, membuat kamar Jeno menjadi berantakan.
"Aku memakainya" ujar Jeno pada akhirnya. Ia tak peduli dengan apa yang akan ayahnya lakukan.
"Apa?!" Pekik Donghae. Amarahnya membuncah. Ia melayangkan tamparan keras tepat diwajah Jeno.
Nafas Donghae memburu, saking emosinya.
"Kau menggunakan uang itu untuk apa? Rokok? Atau minuman keras? Ingat Jeno, sekarang kau adalah Jein, jangan sampai kau kembali ke kehidupan lamamu dan merusak nama Jein"
Jeno tersenyum sinis.
"Bagaimana jika aku tak mau lagi menjadi Jein? Aku akan menunjukan siapa aku sebenarnya kepada semua orang" ujar Jeno, namun bisa dibilang ia menjadikan itu sebagai ancaman pada ayahnya bahwa ia akan membongkar rahasia yang selama ini disembunyikan.
"Silahkan saja, kalau kau memang tak punya otak dan tak punya hati. Tidak sadarkah kau siapa yang sudah membunuh Jein? Kalau saja malam itu kau tidak mengajak Jein pergi, seharusnya ia masih hidup saat ini, dan dia bisa melanjutkan hidupnya yang jelas jauh lebih baik darimu" lagi dan lagi, setiap mereka bertengkar, maka Donghae akan mengungkit kembali, dan menyalahkan Jeno akan semua ini.
"Seharusnya kau saja yang mati, bukan Jein" ujar Donghae pelan, namun penuh penekanan. Dan setelahnya, Donghae berjalan keluar dari kamar.
Jeno membulatkan mata, terkejut dengan ucapan ayahnya barusan, namun tak bisa berkata apa-apa.
Jeno menggigit bibirnya, menahan dirinya untuk tidak menangis, matanya sudah memerah, begitu juga wajahnya.
Hatinya begitu sakit. Tidak sadarkah ayahnya, bahwa setiap ucapannya meninggalkan luka untuknya, ditambah dengan ucapannya terakhir, menimbulkan luka baru, kali ini lebih dalam.
Jeno tak habis pikir bagaimana bisa seorang ayah mengatakan hal itu pada anaknya sendiri? Meskipun hubungan mereka kurang baik, bukankah bagaimanapun ia adalah anaknya?

TBC

Jangan lupa vote kalo suka ya :)

I'm Jeno [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang