Part 13

3.3K 291 35
                                    

“Ini ayahku. Dia pemain sepakbola.”

Iris bersandar pada kusen pintu selagi Alaska dan Zayn Malik maju ke depan kelas. Hari itu adalah hari karir dimana anak-anak dibolehkan membawa orangtua mereka untuk menjelaskan pekerjaannya di depan anak-anak lain.

Alaska tampak sangat cantik dengan dress biru dongker-nya. Sangat jarang Iris melihat Alaska memakai dress seperti itu. Biasanya Alaska hanya memakai celana panjang, atau celana tidur.

Pandangan setiap anak laki-laki di kelas itu tertuju kepada Zayn. Mereka jelas-jelas mengagumi Zayn yang notabene adalah seorang pemain sepakbola terkenal. Mereka pasti ingin menjadi Zayn.

“Hai, aku ayah Alaska. Namaku Zayn Malik,” Zayn tersenyum—bukan senyum sombong—sembari memegang bahu Alaska kemudian melanjutkan, “aku bermain untuk Chelsea Football Club sekarang.”

Anak-anak mengatakan ‘wah’ dengan serempak.

“Kapan-kapan kita bisa ke Stamford Bridge,” kata Zayn lagi. “Kalau kalian mau.”

Anak-anak kembali berisik, jadi Iris menyuruhnya diam.

Zayn melirik ke arah Iris, kemudian tersenyum saat mata hazelnya bertemu pandang dengan mata biru Iris.

Iris dapat merasakan kedua pipinya menghangat.

Selalu seperti itukah? Tatapan kecil, senyuman kecil, dan perlakuan-perlakuan kecil Zayn Malik dapat menghangatkan pipinya. Mungkin kalau suatu saat Iris di kutub utara hampir mati kedinginan, Iris hanya perlu ditatap oleh Zayn untuk menghangatkan diri.

Acara berakhir sekitar pukul 11 siang. Semua orang tua murid sudah pulang ketika Iris keluar dari kantor guru sembari memegang secangkir plastik kopi. Iris merapikan barang-barannya sebelum memutuskan untuk pulang naik ford-nya.

“Iris!”

Deg.

Iris menoleh. Ia tersenyum ketika Zayn berdiri beberapa meter tak jauh dari tempatnya parkir. Iris mau tak mau langsung beranjak keluar dari mobil saat Zayn berjalan mendekat.

“Ada apa?” tanyanya.

“Uh, aku harus latihan sekarang,” Zayn tersenyum tipis. “Bisakah..”

“Menjaga Alaska?”

Zayn meringis. “Begitulah.”

Iris menghela napas walaupun di dalam hati, ia sangat senang. Alaska adalah anak favoritnya sepanjang masa. Alaska sangat cantik, sangat pintar, sangat cocok dengannya. Seandainya Zayn tidak ingin merawat Alaska lagi pun Iris dengan senang hati mengadopsi Alaska.

“Oke, aku akan ke rumahmu.”

Zayn mengangguk. “Bawa Alaska bersamamu, ya? Aku harus ke Cobham sekarang.”

“Oke.”

Alaska keluar dari mobil Zayn, lalu dengan ceria masuk ke kursi penumpang di samping Iris. Iris baru saja hendak membuka pintu mobil ketika Zayn menahannya.

“Maaf, ya,” gumamnya. “Kau jadi harus ikutan kerepotan untuk menjaga Alaska.”

Iris hanya tersenyum. “Tidak apa-apa.”

“Oke,” Zayn mengangguk. Senyumnya terlihat ragu-ragu, tetapi manis. “Kurasa aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa nanti.”

Iris memperhatikan punggung Zayn yang sekarang sudah menjauh, hingga hilang seutuhnya dari pandangannya, barulah Iris bisa masuk ke dalam mobil lalu melaju pergi.

***

Jose Mourinho tidak terlihat senan ketika Zayn datang.

Zayn datang disaat teman-temannya sudah hampir selesai latihan, dan walaupun ia sudah menelpon Jose untuk memberitahu pria itu tentang acara di sekolah Alaska, pria itu tetap tidak senang.

For him, She was.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang