Ketika Zayn sampai di depan, Ethan sudah tersungkur.
Aaron masih berdiri, sepertinya tengah menimbang-nimbang apakah ia bakal melayangkan satu pukulan lagi atau tidak. Kalau diterka dari bunyi gedebuk kencang ketika Ethan jatuh, mungkin yang tadi bukanlah pukulan pertama.
"Aaron, kau sudah bilang kau tidak akan melakukan yang aneh-aneh," gumam Zayn.
Aaron menatapnya.
"Aku hanya memukulnya atas semua yang telah dia lakukan kepada adikku. Kepadaku. Kepadamu. Memangnya memukulnya termasuk sesuatu yang aneh-aneh?"
Zayn mengangkat bahu. "Katya ada di dalam, Aaron. Kalau dia bertanya apa yang terjadi, apa yang harus kujelaskan? Kebohongan apa lagi yang harus kukatakan?"
"Kau berkata seolah-olah berbohong padanya adalah satu-satunya pilihan, padahal sebenarnya kau masih punya pilihan yang lain. Kau mau tahu apa itu?" Aaron berhenti sebentar, tidak bermaksud untuk membiarkan Zayn menjawab. "Katakan. Yang. Sejujurnya."
Zayn hanya menatapnya dengan bosan. "Sekarang kau ingin kita yang berkelahi atau bagaimana?" ia berkata, nadanya malas. "Selesaikan saja urusanmu dengan Ethan. Jangan pukul-pukulan lagi. Aku akan ada di dalam."
"Kita belum selesai."
Zayn mengangguk. "Kalau begitu kita selesaikan nanti. Aku ke dalam."
Walaupun Aaron masih menatapnya dengan tatapan sinis yang mematikan, Zayn tetap berjalan masuk ke dalam. Sepertinya Aaron terlalu kesal dengan Ethan sampai-sampai Zayn jadi ikut kena amuknya.
Berada jauh-jauh dari Aaron mungkin solusi yang baik, walaupun sepertinya meninggalkan Aaron hanya berdua dengan Ethan bukan termasuk pilihan bijak. Aaron bisa saja melakukan yang aneh-aneh, tapi toh, dia sudah besar. Sudah paham semua konsekuensinya.
"Ada apa diluar?"
Zayn menarik kursinya sebelum ia duduk. Tempatnya masih sama—di hadapan Katya. "Bukan apa-apa," jawabnya ringan. "Hanya Aaron dan temannya. Bercandaan mereka kelewatan. Tapi bukan apa-apa."
"Kenapa tidak menyuruh temannya masuk agar kita bisa makan bersama?" Katya bertanya lagi. "Makanannya, kan, masih banyak."
"Oh, tidak perlu. Dia sedang buru-buru."
Zayn menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, menandakan ia tidak mau membahas topik ini lebih lanjut. Tampaknya Katya mengerti karena ia langsung memakan makanannya juga tanpa bertanya apa-apa lagi.
Beberapa menit kemudian, Aaron kembali. Karena Aaron tidak pernah bisa menyembunyikan apa yang dia rasakan dengan baik, terpampang sangat jelas diwajahnya kalau ia sedang marah. Marahnya bukan hanya marah biasa. Sepertinya Aaron sedang marah besar.
Bahkan ketika menatap Zayn pun rautnya masih sama.
"Aaron, ada apa?" tanya Katya begitu Aaron dengan gaduh duduk disamping adiknya itu. Ia meneguk gelas berisi minumnya sampai habis, lalu mengisinya kembali.
"Tidak ada apa-apa," gumamnya.
Katya mengerutkan dahi tidak terima. "Bohong. Wajahmu menjelaskan semuanya. Kau sedang kesal, ya?"
Aaron lalu menatap Zayn. Tatapannya masih jengkel, tetapi Zayn berhasil membaca tatapan itu dengan baik. Lewat tatapan itu, Aaron bertanya apakah ia boleh mengatakan yang sejujurnya kepada Katya atau tidak.
Cepat-cepat Zayn menggeleng.
"Atasanku menelpon," ujar Aaron kemudian. "Marah-marah karena aku tidak ada di markas. Aku bilang hari ini Minggu dan aku sudah bebas di hari Minggu, tapi dia tetap marah-marah."
KAMU SEDANG MEMBACA
For him, She was.
Romance-Book 2- Bagi Zayn Malik, dengan atau tanpa seorang Katya Maguire, hidupnya memang takkan pernah sama lagi. Seperti awalnya saat Katya datang ke hidup Zayn, membuat Zayn jengkel dan kesal setengah mati, tetapi entah bagaimana Katya berhasil mengambi...