Zayn memilih sebuah restoran 24 jam tak jauh dari rumah sakit. Restoran masih lumayan ramai padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat. Untungnya Zayn dan Iris berhasil mendapat kursi di dekat jendela.
“Apakah tidak apa-apa?” bisik Iris.
Zayn mengerutkan dahinya. “Apanya yang ‘apakah tidak apa-apa’?” tanyanya, membuat Iris menggerutu.
“Kau. Dan aku. Makan malam. Berdua,” Iris mengangkat bahu. “Maksudku....bagaimana kalau ada orang yang melihat dan salah paham?”
Sebelum Zayn sempat menjawab apa-apa lagi, seorang pelayan meletakkan dua buah menu di atas meja. Pelayan itu terkejut ketika menatap Zayn, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
“Selamat malam,” kata si pelayan. “Sudah ingin memesan?”
Zayn melirik Iris selagi cewek itu menunduk untuk melihat-lihat buku menu. Zayn memperhatikan ketika Iris menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya, Zayn memperhatikan ketika Iris berkedip, dan yang lainnya.
Tiba-tiba Iris mengangkat kepalanya, membuat Zayn harus cepat-cepat melihat ke arah lain.
“Aku pesan salmon steak dengan mashed potato, dan jus jeruk,” kata Iris. Si pelayan—dengan gemetar—mencatat pesanan Iris, kemudian melihat ke arah Zayn. “Kau?”
“Jadikan dua.”
Pelayan itu mengangguk. “Ada lagi?”
Zayn dan Iris saling tatap-tatapan selama beberapa detik, kemudian menggeleng di saat yang nyaris bersamaan.
“Oke,” kata si pelayan. “Uh, sebelum aku pergi.....apa kau....apa kau Zayn Malik?”
Zayn tersenyum. “Ya. Aku Zayn Malik.”
“Anu,” si pelayan menyodorkan selembar kertas putih kepada Zayn, beserta sebuah pulpen. “Adikku penggemar beratmu. Bisakah...?”
“Ya, tentu,” Zayn membuka tutup pulpen, lalu menatap pelayan itu lagi. “Siapa nama adikmu?”
“Liam.”
Zayn menuliskan ‘to Liam’ beserta tanda tangannya di atas kertas itu, kemudian menyodorkan kertas berserta pulpennya kepada si pelayan.
“Terima kasih,” kata si pelayan sebelum pergi.
Saat pelayan itu sudah pergi, Zayn menatap Iris yang ternyata sudah menatapnya lama sekali sejak tadi.
“Apa?” tanya Zayn.
Iris menggeleng-geleng. “Cuma berpikir,” Iris mengetuk-ngetukkanan jari telunjuknya di atas meja. “Apa kau selalu seperti itu? Memberikan tanda tangan kepada semua orang yang meminta? Apakah banyak yang meminta?”
“Tidak banyak, sih,” gumam Zayn. “Kalau ada yang meminta, tentu bakal aku berikan. Lagipula aku tidak punya alasan untuk tidak memberikan, kan?”
Iris hanya mengangguk.
Terjadi keheningan yang tidak canggung di antara mereka. Suara musik lembut mengalun dari speaker di sudut ruangan, selagi udara bertambah dingin. Zayn menatap keluar jendela dimana daun-daun sudah berubah warna menjadi cokelat.
Musim gugur ketujuh yang dihabiskannya tanpa Katya. Zayn baru sadar kalau ternyata, ia butuh tujuh musim gugur untuk berani mengajak seorang cewek keluar, walaupun hanya makan malam singkat.
Butuh tujuh musim gugur untuk tidak mendorong semua orang agar menjauh dari Zayn. Butuh tujuh musim gugur untuk tertawa seperti saat ada Katya. Butuh tujuh musim gugur untuk merasa sedikit lebih bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
For him, She was.
Romance-Book 2- Bagi Zayn Malik, dengan atau tanpa seorang Katya Maguire, hidupnya memang takkan pernah sama lagi. Seperti awalnya saat Katya datang ke hidup Zayn, membuat Zayn jengkel dan kesal setengah mati, tetapi entah bagaimana Katya berhasil mengambi...