Part 33

2.7K 289 47
                                    

Zayn mendapat telepon dari Alaska yang mengharuskannya untuk meninggalkan Katya di tengah-tengah jalan-jalan mereka. Dan tentu saja, Zayn tidak berpikir dua kali.

"Dad segera pulang," Zayn berkata dengan tegas.

Setelah menjelaskan kepada Katya mengenai situasi gentingnya (yang saat itu Zayn katakan sebagai panggilan mendadak dari Jose Mourinho), Katya mengerti. Sangat mengerti malah. Ketika Zayn menawarkan diri untuk mengantar Katya pulang, cewek itu berkata ia masih akan jalan-jalan sebentar.

Sebenarnya Zayn agak kecewa karena ia harus pulang lebih awal. Tapi apa boleh buat. Alaska bilang ia sedang dalam keadaan genting di rumah Damon. Ia bilang ada pria jahat yang memukul Damon. Kenyataan bahwa Alaska menelponnya sembari menangis memperkuat semuanya.

Zayn betanya-tanya di sepanjang jalan pulang. Ia berharap semuanya hanya bercandaan Alaska—berharap bahwa Alaska hanya ingin memberinya kejutan kecil, dan semuanya baik-baik saja. Tapi instingnya tidak berkata demikian.

Setelah 15 menit yang panjang, Zayn akhirnya sampai. Ia memarkir mobilnya sendiri di pelataran rumahnya sebelum berlari kecil untuk mencapai rumah Daisy, tetangga di sebelah kanannya.

Mobil Daisy terparkir rapi di pelataran. Pintu rumah mereka terbuka, dan Zayn lamat-lamat dapat mendengar suara dua orang berteriak. Semakin dekat, suara itu semakin jelas. Itu adalah suara seorang pria dewasa, serta teriakan Daisy.

Zayn mempercepat langkahnya.

"Permisi."

Semua suara terhenti ketika Zayn muncul di depan pintu. Setiap wajah yang ada di sana menatapnya. Alaska, yang sedang menangis di satu sudut bersama Damon cepat-cepat berlari untuk memeluk Zayn.

"Apa semuanya baik-baik saja?" bisiknya kepada Alaska.

Alaska hanya menggeleng.

Zayn lalu beralih ke Damon, yang masih meringkuk di satu sudut. Ia tidak menangis seperti Alaska. Wajahnya terlihat marah, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ada sebuah luka biru di dahi sebelah kirinya.

Lalu Zayn beralih ke Daisy. Daisy tampak lebih parah. Matanya sembab karena menangis. Maskaranya yang luntur membuat bercak-bercak hitam di pipinya. Rambutnya kusut seperti habis diterpa angin ribut.

Setelah Zayn merasa ia sudah mulai mengerti keadaan, Zayn menatap pria di hadapan Daisy itu. Pria itu terlihat sedikit seperti orang brazil, dengan rambut cokelat dan mata cokelatnya. Postur tubuhnya tinggi tegap. Dia mengingatkan Zayn pada seseorang.

Ah, iya. Dia mirip Damon.

"Maaf, aku tidak bermaksud..."

Si pria—ayah Damon—langsung menatap Daisy tajam. "Siapa dia?" tanyanya. Sebelah tangannya terulur untuk menunjuk Zayn. Kalau saja tidak ada Alaska yang sedang memeluknya sambil ketakutan, Zayn akan dengan senang hati menendang wajah pria itu karena bersikap kurang ajar.

"Tetanggaku, dia ayah Alaska."

Ayah Damon mengangguk-angguk. "Untuk apa lama-lama disini? Bukankah urusanmu sudah selesai?"

Sekali lagi, Zayn menahan dorongan untuk menendang pria itu.

"Kau baik-baik saja?" Zayn agak mengencangkan suaranya supaya Daisy bisa mendengarnya, tidak mempedulikan tatapan membunuh dari pria itu. "Aku bisa telpon polisi, kalau kau mau."

Daisy hanya tersenyum, tetapi ia tidak menjawab.

"Kau tidak punya hak atas dia," si pria berkata dengan suara rendah.

"Hak apa?" Zayn bertanya, nada suaranya dibiarkan datar. "Hak asasi manusia, maksudmu? Kupikir, hak itu melekat pada setiap manusia, bahkan sebelum mereka dilahirkan. Walaupun aku tidak sekolah tinggi, tapi setidaknya aku tahu."

For him, She was.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang