Part 45

2.7K 304 66
                                    

Zayn menyusuri jalanan ramai kota Madrid di tengah cerahnya hari. Ia bersiul senang sepanjang perjalanan. Bukan hanya karena ia akan bertemu dengan Diego, tetapi juga karena obrolan singkatnya dengan Katya membuat perasaannya senang.

Diego sudah memberikan alamat rumahnya kepada Zayn via email pagi tadi, jadi Zayn hanya perlu beberapa kali bertanya menggunakan bahasa Spanyolnya yang patah-patah. Berkat bertanya kepada beberapa orang, ia kini sudah berhenti di depan rumah Diego.

Rumah milik pria itu lumayan besar. Letaknya agak menjorok ke dalam sebuah jalan sempit, seolah menunjukkan kalau pria itu ingin sekali keluar dari hiruk pikuk jalanan kota Madrid yang padat.

Zayn maju selangkah untuk bertanya pada satpam.

"Apa Diego ada di dalam?" tanyanya.

"Ya. Anda siapa?"

"Zayn Malik."

"Oh," si satpam mengangguk. "Beliau sudah menunggumu dari tadi. Silahkan masuk."

Satpam itu membukakan pintu untuk Zayn, lalu mengantar Zayn sampai ke depan pintu rumah. Disana Zayn disambut oleh seorang asisten rumah tangga yang umurnya kira-kira sama dengan si satpam—pertengahan mungkin akhir 50an.

"Tuan Simeone ada di ruangan kerjanya," kata si asisten rumah tangga. "Mari, saya antar."

Zayn mengikuti asisten rumah tangga itu menyusuri sebuah lorong yang lebarnya paling-paling 3 meter. Di sepanjang dinding lorong banyak sekali foto-foto si tuan rumah. Yang paling banyak adalah foto beliau sedang mengangkat trofi tinggi-tinggi.

Foto-foto itu melambangkan betapa suksesnya Diego sebagai pelatih.

Mereka berhenti pada sebuah pintu berwarna cokelat tua di ujung lorong. Asisten rumah tangga itu membuka pintu dan berjalan masuk, Zayn mengikutinya.

"Ini Tuan Malik, Tuan Simeone."

Diego Simeone mengangkat kepalanya dari setumpuk kertas yang tengah dibacanya. Wajahnya mendadak sumringah ketika menatap Zayn.

"Oh, Malik!"

"Hai, Diego," Zayn meringis.

"Jose bercerita banyak tentangmu," Diego berdiri, lalu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Zayn. Ia memerintahkan Zayn untuk duduk dengan gesturnya. "Nah, Camille, tolong buatkan kopi untukku dan Tuan Malik. Ada banyak yang harus kami diskusikan."

***

Katya mengunjungi Aaron hari itu.

Ia menceritakan semuanya kepada Aaron—semua yang diingatnya. Ia bertanya kepada Aaron untuk memastikan apakah ingatan itu adalah yang sesungguhnya. Dan sesuai firasatnya, itu memang benar.

Ia memang benar-benar sudah ingat semuanya.

"Kau sudah beritahu Zayn?" Aaron bertanya di akhir cerita.

Katya menggeleng. "Belum."

"Kenapa?"

"Zayn sedang di Spanyol," Katya mendesah. "Aku tidak ingin memberitahunya lewat telpon. Jadi mungkin nanti saat dia sudah sampai di London."

Aaron mengangguk-angguk. "Ada apa dia di Spanyol? Pertandingan lagi?"

"Dia bilang dia akan bertemu seseorang. Diego—kalau tidak salah. Orang itu yang nantinya mungkin mengajarinya untuk menjadi pelatih dan sebagainya."

Aaron mengerutkan dahinya. "Pelatih?"

"Zayn juga belum bilang padamu, ya?" Katya bertanya, lalu Aaron menggeleng. "Zayn berniat untuk pensiun di akhir musim ini. Katanya, ia akan memfokuskan untuk belajar menjadi pelatih."

For him, She was.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang