Chelsea menang 2-0.
Zayn menyumbang sebuah gol berkat tendangan kaki kirinya di babak pertama, kemudian gantian si kapten, John Terry, yang menyumbang gol kedua. Hasil akhir yang cukup memuaskan untuk permainan yang sebenarnya kurang bagus itu.
Zayn tahu Katya dan Alaska menontonnya, karena ia sempat melihat mereka di deretan kursi VVIP. Alaska mengenakan setelan jersey Chelsea bernomor punggung 12 seperti miliknya, sementara Katya memakai kaus berwarna biru tua.
Sekarang Zayn sudah di rumah. Ia sedang mengingat-ingat momen itu di otaknya, memutarnya berulang-ulang agar ia tidak lupa rasanya.
Sudah lama sekali dari kali terakhir Katya menonton pertandingannya. Walaupun perbedaannya tidak jauh, tetapi efek yang diberikannya pada Zayn saat maupun sesudah pertandingan itu terasa sekali.
Seperti sekarang misalnya. Zayn sedang duduk di halaman belakang, sembari merokok, sembari menatap langit. Bukan, bukan untuk meratapi nasibnya yang sial. Justru sebaliknya—ia merasa bersyukur.
Zayn sedikit terlonjak ketika ia mendengar suara pintu di belakangnya terbuka sedikit. Zayn lupa sepenuhnya bahwa Katya sudah tinggal bersamanya. Ditambah lagi, tadi sepertinya Katya sudah tidur karena saat itu memang sudah jam 12 malam.
Pintu terbuka, lalu muncullah Katya, memakai baju tidurnya. Ia duduk di kursi di sebelah Zayn, membuat Zayn secara refleks mematikan rokoknya.
"Aku tidak tahu kau merokok," gumamnya.
Zayn hanya mengangkat bahu.
"Tapi seandainya aku tahu, kurasa aku pasti memberitahumu untuk berhenti merokok," katanya lagi. "Apa aku pernah memintamu berhenti?"
Zayn diam saja. Menimbang-nimbang apakah ia harus berbohong atau tidak.
"Ya, kau pernah," ia memutuskan untuk jujur.
Katya sekarang menatapnya. "Lalu kenapa kau masih merokok?" tanyanya, suaranya sedikit marah. "Kau ini atlet, Zayn. Kenapa?" Ia berhenti sebentar. "Dan jangan karena aku tidak ingat, artinya kau bebas melakukan apapun."
Zayn tahu ia tidak akan pernah memenangkan argumentasi apa-apa dengan Katya, jadi ia memilih untuk diam.
"Apakah kau marah kalau aku menyuruhmu untuk berhenti merokok?" tanya Katya lagi.
Zayn menggeleng. "Tidak."
"Kalau begitu, berhenti."
Katya marah, pikir Zayn. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, Katya marah. Memang, Zayn tidak seharusnya merasa sesenang itu. Tapi, ia memang merindukan marahnya Katya. Karena menurut Zayn, Katya lucu kalau sedang marah.
Zayn tidak dapat menahan senyumnya. "Oke."
"Sesimpel itu? Hanya 'oke?'"
"Memangnya aku harus jawab apa?"
Katya mengabaikannya. "Pokoknya," ia berkata, mungkin mencoba tegas, "aku tidak mau melihatmu merokok lagi. Setidaknya, tidak di rumah. Kau kan tidak mau melihat Alaska, sepuluh tahun lagi, jadi ikut-ikutan merokok karena ayahnya."
"Tidak mau melihatku merokok lagi. Setidaknya tidak di rumah. Tidak mau Alaska jadi ikut merokok. Oke," Zayn mengangguk. "Ada yang lain?"
Katya sepertinya sadar kalau Zayn sedang menggodanya.
"Terserah kau saja."
Katya lalu beranjak dari kursinya, tetapi Zayn menahan tangannya. Gerakan itu memang membuat Katya berhenti dan menoleh untuk menatap Zayn, tapi itu malah membuat Zayn lupa dengan apa yang akan dikatakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
For him, She was.
Romance-Book 2- Bagi Zayn Malik, dengan atau tanpa seorang Katya Maguire, hidupnya memang takkan pernah sama lagi. Seperti awalnya saat Katya datang ke hidup Zayn, membuat Zayn jengkel dan kesal setengah mati, tetapi entah bagaimana Katya berhasil mengambi...