Part 19

2.9K 303 50
                                    

Terlalu banyak.

Terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar di benak Zayn. Terlalu banyak jawaban yang tidak ingin Zayn dengar. Terlalu banyak kenyataan yang Zayn tidak ketahui.

Disanalah Zayn, duduk di sebuah restoran bernama Gordon’s Kitchen, bersama seseorang yang paling dikasihinya di seluruh dunia, yang sudah ia kubur 6 tahun lalu.

Kali ini, Katya tidak tampak seperti mimpi. Ia tampak begitu nyata. Senyata pertama kali Zayn bertemu Katya. Senyata pertama kali Zayn melamar Katya. Senyata pertama kali Zayn menikahi Katya.

Seharusnya mereka bisa mengobrol banyak, tetapi Zayn menghabiskan kesempatan itu untuk berpikir. Hanya ada dua kalimat yang berputar-putar di otaknya sejak tadi—bagaimana bisa?

Zayn harus mencari tahu. Harus. Tetapi untuk sekarang, Zayn harus bisa mengendalikan keadaan. Itu memang Katya. Katyanya.

Katya tidak mengenalinya? Oke.

Zayn harus mengulang semuanya dari awal lagi. Oke juga.

Sambil memejamkan mata, Zayn menarik napas kuat-kuat lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia lalu menatap Katya dengan ringan, seolah ia tidak habis bergulat dengan pikirannya sedari tadi.

“Jadi,” Zayn membuka obrolan. “Kau sudah lama tinggal di Manchester?”

Katya yang sedang mengaduk lemon tea-nya tanpa minat langsung mendongak untuk menatap Zayn dengan mata abu-abunya yang berbinar. “Lumayan,” sahutnya. “Aku sering berpindah-pindah karena pekerjaan.”

“Pekerjaanmu?”

“Dokter,” ia tersenyum, membuat Zayn menahan napas. “Aku bekerja di rumah sakit umum, jadi aku sering ditugaskan ke berbagai kota-kota kecil. Kebetulan saja, aku ditugaskan di Manchester. Baru 3 bulan.”

“Sebelum di Manchester?”

“Yorkshire,” gumam Katya. “Leeds, Nottingham, Bristol, Norwich, London, Liverpool...” tiba-tiba ucapannya berhenti. Katya memijat pelipisnya, lalu mengangkat bahu. “Banyak lagi.”

Zayn mengangguk. Setidaknya ia jadi tahu walau sedikit. Mungkin perlahan-lahan, Zayn bakal bisa memecahkan misteri ini.

“Kalau kau? Apa pekerjaanmu?”

Zayn tergoda untuk berbohong tentang pekerjaannya, tetapi toh tidak ada gunanya menutup-nutupi. “Aku pemain sepak bola,” gumamnya.

“Ah, itu menjelaskan kenapa wajahmu begitu familiar,” kata Katya riang. Ia lalu tersenyum, membuat Zayn tersenyum juga. “Aku juga suka sepak bola, sebenarnya. Aku penggemar—“

“Liverpool?”

Katya mengerutkan dahinya. “Kenapa kau tahu?”

Kau yang memberitahuku, gerutu Zayn dalam hati.  Zayn tergoda untuk berkata seperti itu, tetapi ia malah menjawab, “hanya menebak, kurasa.”

“Zayn,” panggil Katya. Setelah 6 tahun, nama Zayn masih tetap terdengar sempurna jika Katya yang memanggil. “Serius. Apakah kita saling kenal? Aku merasa seperti kita pernah kenal. Atau hanya perasaanku?”

“Serius, tuh? Pernah kenal? Kita menikah, Katya. Me-ni-kah. Aku suamimu. Dan kau masih bertanya apa kita pernah kenal?”

Tidak, Zayn tidak berkata seperti itu. Ia hanya memikirkan kata-kata sarkatis itu di dalam otaknya tanpa menyuarakannya.

Lagipula, seandainya Zayn berkata bahwa Katya adalah istrinya dan mereka sudah mempunyai seorang anak perempuan, akankah Katya mempercayainya? Yang ada, Katya bakal menganggapnya orang aneh.

For him, She was.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang