Chapter 5

195 88 15
                                    

"You don't have to struggle in silence. You can be un-silent. You can live well with a mental health condition, as long as you open up to somebody about it."

— Demi Lovato

#Playlist: Sia - Breathe Me

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

#Playlist: Sia - Breathe Me

-

-

Benua buru-buru pulang dari kampus karena ingin bertemu dengan Atlanta. Semalam dia sudah bertukar pesan dan berniat bertemu lagi pada waktu yang sama. Arlojinya menunjukkan waktu sudah pukul tiga siang.

Ketika Benua beranjak menuju dapur, raut wajahnya berubah. Benua mendapati ibunya duduk di atas meja marmer selagi tangannya melingkar di leher pria yang tengah menciumnya. Benua benci pemandangan ini. Tanpa perlu dia tegur, ibunya menoleh dan mendorong pria asing itu karena melihat kehadirannya.

"Ka-ka-kamu udah pulang?" tanya Erlita terbata.

Benua tidak menjawab, berbalik badan mengabaikan ibunya. Marah, kesal, tidak suka, semua menyatu dalam hatinya. Benua merasa dikhianati oleh semua orang. Dulu ayahnya, sekarang ibunya. Esok siapa lagi yang akan bertindak gila seperti ini?

Saat kakinya mulai beranjak pergi, Benua masih mendengar percakapan yang cukup jelas di dapur sana.

"Kamu bilang Benua nggak pulang cepat?" Pria asing itu bertanya, dengan nada terdengar panik.

"Aku mana tau dia pulang cepat. Biasanya dia main dulu di kampus," jawab Erlita.

Benua tidak mau mendengar apa-apa lagi. Dia mempercepat langkahnya dan beranjak menuju kamar. Di sana Benua mengunci pintu rapat-rapat. Tubuhnya merosot jatuh dengan tangan terkepal kesal. Benua memukul lantai dengan tinjunya, memejamkan mata kesal. Seharusnya dia tidak melihat hal yang tidak perlu dilihatnya. Dia benci menjadi saksi setiap pengkhianatan dalam keluarganya. Tidak ayah, tidak ibu, semua sama saja.

Dalam diam Benua memerhatikan lengannya. Ada bekas sayatan yang tertutup rapi dengan menciptakan tato bertuliskan 'don't give up'. Walau tato tersebut menjadi motivasinya, terkadang Benua merasa lelah dan ingin menyerah.

Setelah semua yang Benua lihat, akhirnya Benua memilih diam di dalam kamar, mengunci diri dan mengutuk hidupnya karena tidak pernah lebih baik. Dia berharap dulu tidak pernah selamat dari percobaan bunuh diri.

Sementara itu, di luar sana, ada Atlanta yang tengah berjongkok di depan pohon kamboja. Sambil berjongkok, Atlanta menyiram tomat seperti kemarin. Dia mengedarkan pandangan ke kanan dan diri, seolah menunggu seseorang, tapi kenyataannya tidak menunggu. Atlanta menyiram berulang kali sampai bolak-balik masuk ke dalam rumah. Ibunya tidak pernah mengizinkan ada selang atau apa pun keluar karena takut dia bermain air.

"Mr. Tomato, cepat besar ya biar kita bisa main." Atlanta mengajak bicara pot yang sedang diusap, seolah tomat yang belum tumbuh itu dapat mendengarnya.

If We Never MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang