"To heal is to touch with love that which we previously touched with fear."
—Stephen Levine
-
-
Benua duduk berhadap-hadapan dengan Spora. Ditemani waffle buatan Spora, dia duduk manis. Menikmati sepotong demi sepotong sampai waffle tak lagi tersisa. Sirop maple yang manis berhasil menambah cita rasa lezat yang sulit dijabarkan. Sebenarnya Benua menunggu Spora membahas soal Atlanta, tapi tak ada pembahasan itu setelah dia menikmati waffle.
"Gimana wafflenya? Enak?" tanya Spora.
"Enak, Kak." Benua menyunggingkan senyum dan mengangguk pelan. "Kak Spora nggak ikutan cobain waffle? Kok cuma minum teh aja?"
"Aku keburu kenyang lihat makanan sendiri." Spora terkekeh. "Berhubung kamu udah selesai makan, aku mau ceritain tentang Atlanta. Tadi nggak enak bahas itu pas kamu lagi makan."
Benua bernapas lega. Akhirnya! Setelah sekian menit menunggu cerita, dia dapat mendengarnya sekarang. Mungkin Spora sudah menangkap ketidaksabarannya saat mengunyah waffle cepat-cepat tadi. "Boleh, Kak," sahutnya.
"Harus dari mana, ya?" Spora menyandarkan tubuh, mengubah posisinya lebih santai. "Well, dua tahun yang lalu adalah masa-masa terberat Atlanta. Dia kehilangan kembarannya, Atlas. Malam itu Atlanta menyetir mobil pergi ke rumah nenek. Tapi dalam perjalanan, Atlanta mengantuk dan akhirnya terjadi kecelakaan. Atlanta selamat, sedangkan Atlas meninggal. Atlanta benar-benar terpukul. Dia terus menyalahkan dirinya atas kepergian Atlas."
Benua mendengarkan secara saksama dan memasang wajah penasaran. Dia tidak berani menyela, membiarkan Spora menceritakan sepenuhnya.
"Atlanta selalu menyalahkan dirinya. Dia bilang kalau dia nggak maksa ke rumah nenek malam-malam, maka Atlas masih hidup. Atlas nggak mungkin pergi meninggalkan dia sendirian. Sebenarnya Atlanta punya satu kakak lagi, tapi sibuk. Itulah kenapa Atlanta sangat kehilangan Atlas, karena laki-laki itu yang selalu menemaninya dan mendampingi dalam keadaan apa pun. Ibarat kata Atlas itu separuh jiwanya Atlanta. Mereka selalu bareng-bareng," lanjut Spora.
"Berawal dari menyalahkan diri, nggak menerima kenyataan bahwa kakaknya pergi, Atlanta mulai berhalusinasi. Timbul waham dan lain-lain yang menunjukkan dia mengidap skizofrenia." Spora mengambil jeda sebentar. Matanya berkaca-kaca, tapi tetap memaksakan senyum saat bercerita. Mencoba menahan tangis, dia melanjutkan, "Atlanta bilang sama semua orang kalau dia lihat Atlas. Kakaknya pulang dan nyapa. Dia meluk, tapi sebenarnya nggak ada yang dipeluk. Dia bukan bisa ngelihat hantu, bukan. Dia memang menciptakan ruang tersendiri, hal-hal semu, dan halusinasi yang meyakinkan kalau Atlas masih ada bersamanya. Kita semua sedih lihat Atlanta seperti itu. Dia pernah ngamuk di kampus saat baru-baru gejala skizofrenia muncul, makanya dia nggak kuliah lagi. Berhenti sampai dia benar-benar sembuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
If We Never Met
Kurgu OlmayanBenua Wirawan sering berharap dapat meninggal lebih cepat setelah hal-hal buruk yang dialami olehnya. Namun, harapan itu tidak pernah terkabul. Atlanta Salim mengidap skizofrenia pasca saudara kembarnya meninggal dunia. Pikirannya menolak menerima k...