Chapter 8

201 80 6
                                    

"Happiness is not something readymade. It comes from your actions."

—Dalai Lama

—Dalai Lama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

-

Dua tahun yang lalu...

Benua baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah dan ingin beristirahat setelah banyaknya tugas kuliah yang dikerjakan. Pada saat dia masuk ke dalam rumah, dia mendengar suara pertengkaran. Ini bukan kali pertama. Pertengkaran hebat itu terus terjadi berulang kali, membuat Benua muak mendengarnya. Selama satu tahun belakang, orangtuanya lebih sering bertengkar ketimbang bermesraan seperti pasangan orang tua lainnya.

Niat untuk naik ke lantai atas diurungkan. Benua diam sebentar mendengarkan pertengkaran itu. Pertengkaran itu pasti disebabkan orang ketiga. Bukan, bukan orang ketiga. Bagaimana Benua menyebutnya? Orangtuanya menikah atas dasar perjodohan untuk bisnis orangtua masing-masing. Mereka tidak menikmati pernikahan yang dijalani. Bahkan, Benua pernah dengar bahwa kelahirannya dan sang kakak hanyalah untuk meneruskan keturunan, bukan karena ingin memiliki anak. Bertahun-tahun menikah, apakah orangtuanya tidak punya perasaan untuk satu sama lain, meskipun hasil dijodohkan? Benua tidak bisa memahaminya. Tidak ada jawaban yang jelas dari orangtuanya.

"Kamu mau tinggal sama pacar kamu itu? Gila kamu, ya!" Erlita Indrawan meninggikan suaranya.

"Iya. Kenapa? Kamu mulai cemburu?" balas Nagar Indrawan, dengan nada tak kalah meninggi.

"Cemburu? Bukan cemburu. Kalau keluarga kita tau tinggal terpisah, kamu tau mereka bakal berspekulasi apa? Mereka akan mengira hubungan kita retak. Kamu mau bisnis kamu nggak lancar? Papaku bisa aja cabut semua sahamnya."

"Erlita, kamu benar-benar pintar, ya. Tapi aku melakukannya diam-diam, jangan sampai ketahuan."

"Terserah kamu lah. Mau tinggal sama siapa pun, bukan urusan aku."

"Ya, udah. Kita nggak perlu debat terus. Aku pusing."

"Aku lebih pusing. Kamu nggak pernah sekalipun memikirkan anak-anak. Yang kamu pedulikan cuma pacar centil kamu itu aja."

"Apa yang nggak aku pikirin? Aku memenuhi semua kebutuhan mereka."

"Mereka juga butuh kamu tanyain kabarnya, Nagar."

"Iya, nanti aku tanya."

"Kalau gitu aku mau cari rumah baru."

"Buat apa?"

"Buat aku tempati sama anak-anak. Aku nggak mau tinggal di rumah ini lagi. Biar nggak ketemu sama kamu."

Benua menghela napas mendengar orangtuanya. Benua segera naik ke atas menuju kamarnya. Di dalam sana, Benua memakai headphone dan mulai bermain game. Walau sudah mengenakan headphone, perdebatan orang tuanya terus terngiang di kepala. Benua benci bagian ini setelah dia menguping. Seharusnya dia pergi saja dan mengabaikan apa pun.

If We Never MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang