Chapter 7

194 87 16
                                    

"Healing takes time and asking for help is a courageous step."

—Mariska Hargitay

—Mariska Hargitay

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

-

Dua tahun yang lalu...

Atlanta melangkah gontai, air mata jatuh membasahi pipi, dan detak jantungnya seakan berhenti selama beberapa saat memandangi tubuh yang berada di atas brankar. Mata yang tertutup, wajah memucat, dan kain putih yang menutupi tubuh sampai batas dada. Hati Atlanta hancur mendengar kakaknya meninggal. Satu-satunya orang yang paling akrab di antara seluruh keluarganya. Satu-satunya yang selalu menjadi tumpuan dalam hidupnya, sandaran, dan tempat cerita terbaiknya.

"Kak Atlas..." Atlanta memanggil parau. Suaranya bergetar. Ketika satu tangannya menyentuh wajah Atlas, dia meraung histeris. "Kak Atlas... Kak Atlas nggak mungkin ninggalin aku, kan? Tolong bangun..."

Semua keluarga Salim menyaksikan kejadian pilu, kehilangan keluarga mereka di hari pulangnya sang nenek. Kesenangan mereka berakhir. Kini, kesedihan merangkak di hati dengan sakit yang luar biasa.

"Kak Atlas, kita belum melakukan banyak hal bersama. Kak Atlas janji mau ngajak aku ke Paris. Katanya kita mau jalan-jalan ke sana. Katanya..." Kalimat Atlanta menggantung. Tangis menyela dan menguasai leher yang terasa tercekik. Atlanta memukul-mukul keras dada Atlas. Berulang kali sampai pukulan itu lambat laun melemah. "Kak Atlas bangun... Kak Atlas, jangan tinggalin aku sendirian..."

Mereka yang paling tahu Atlanta sangat lengket dengan Atlas ikut merasakan kesedihannya. Atlanta kerap kali bergantung pada kakaknya, membanggakan kakaknya, dan tidak bisa hidup tanpa Atlas. Bagi Atlanta, Atlas adalah napasnya. Mereka selalu bersama berdua. Sekolah sampai kuliah selalu di tempat yang sama. Atlas bahkan mengurungkan niatnya kuliah di luar karena Atlanta terus merengek dan menangis tidak mau berpisah.

"Kak Atlas, bangun!" Atlanta memukul dada Atlas sekuat tenaga. Kali ini lebih keras dari sebelumnya, melepas seluruh keputusasaan dalam pukulan kuat itu. "Kak Atlas, bangun! Bangun!"

"Atlanta, cukup." Ramanda, kakak Atlanta yang lain, datang setelah mendengar kabar duka sang adik. Dia menarik Atlanta mundur, tapi adiknya berontak dan menyiku wajahnya dengan kasar. "Cukup, Atlanta. Cukup."

"Aku benci Kak Manda!" Atlanta memukul dada Ramanda, berulang kali dengan berontak tiada henti. "Aku benci Kak Manda! Kenapa baru datang sekarang?!"

Ramanda diam seribu bahasa. Atlanta menangis terisak-isak. Matanya merah. Hatinya semakin sakit. Atlanta menatap kakaknya dengan putus asa. "Lepasin. Lepasin!" teriaknya sekencang-kencangnya.

Orangtua Atlanta memberi kode melalui mata untuk membiarkan. Ramanda pun melepaskan tanpa bisa mengatakan apa-apa. Perasaan bersalah hinggap di hati Ramanda, merasa menyesal jarang pulang dan menanyakan kabar adik-adiknya. Sementara itu, Atlanta mendekati Atlas kembali.

If We Never MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang