Bab 2

31 0 0
                                    

Berbincang dengan Mama di meja makan sangat menyenangkan. Beberapa saat kemudian sambil menikmati sarapan, keduanya tenggelam dalam percakapan tentang tanaman. Sambil perlahan-lahan menguyah makanannya Ariane memperhatikan Mama yang sangat antusias bercerita tentang tanaman-tanaman mahal yang masih diburu orang, tentang hama yang sering merusak tanaman sansiviera-nya, tentang bagaimana beberapa hari terakhir ini kupu-kupu dan belalang mulai suka mengunjungi bunga-bunganya.

Didengarkannya Mama yang bercerita dengan penuh semangat sambil sesekali memberi komentar dan menyanggah. Ariane tidak banyak tahu tentang tanaman, tetapi melihat Mama selalu berapi-api Ariane menjadi penasaran dan mulai mencari informasi sehinga ketika berbicara dengan Mama dia bisa mengimbangi. Mata Mama yang selalu berbinar-binar itu yang selalu menjadi mood booster Ariane setiap pagi.

Mendadak percakapan mereka terpenggal oleh kedatangan Papa yang baru selesai mandi. Mendadak seluruh ruang dipenuhi aroma segar khas Papa yang sudah dikenal Ariane sejak kecil.

"Wah, kenapa kalian tidak menunggu Papa untuk makan bersama?" protes laki-laki setengah baya yang wajahnya tampak selalu tersenyum itu. Dan Ariane selalu beranggapan bahwa senyum Papa adalah senyum terhangat yang pernah dia tahu.

"Enggak, Pa. Kita barusan makan, kok," jawab Ariane sambil menunjukkan piringnya. "Nih, nasi Anne belum juga habis."

"Ini Pa, Mama sudah ambilkan. Mau sayurnya tambah, kah? Papa kan yang kemarin pesan sarapan pakai pecel?" kata Mama menimpali.

Begitu selalu. Sarapan bersama adalah ritual yang hampir tidak pernah terlewatkan atau menurut Papa tidak boleh dilewatkan. Waktu sarapan bukan hanya makan untuk membangkitkan energi sebelum memulai kegiatan rutin di luar rumah, tapi juga sebagai waktu untuk bicara tentang banyak hal. Bagi Papa waktu pagi adalah waktu yang sangat tepat untuk berbincang karena segala hal masih sangat bersih dan segar, bukan hanya badan tapi juga hati dan pikiran.

Dan bagi Ariane, waktu sarapan adalah saat-saat tercampuraduknya semua perasaan, antara senang, berdebar-debar, tanda tanya, harapan, lega dan seringkali mungkin kecewa. Terutama ketika pembicaraan mulai beralih pada hal-hal yang terkait dengan keinginan-keinginannya. Dan hal itu yang dirasakanya selama bertahun-tahun sejak dia kecil dan semakin terasa ketika Ariane mulai beranjak remaja. Perasaan itu agak mereda ketika dia mulai kuliah, dan semakin memudar ketika dia mulai bekerja. Entah, apakah segala perasaan itu akan berakhir nantinya, begitu selalu Ariane menyimpulkan.

Sekilas Ariane memandang Papa yang duduk tepat di hadapannya. Ingatannya melayang pada brosur-brosur rumah yang pagi tadi disimpannya. Dikerjapkannya mata sambil menata hati, bersiap dengan reaksi Papa jika disampaikannya keinginannya untuk membeli rumah sendiri.

Ariane memandang langit biru yang tampak dari jendela lebar ruang makan mereka. Pagi yang indah, udara yang segar, dan senyum hangat Papa. Ariane berharap mendapat jawaban yang berbeda, jawaban yang tidak akan mengecewakannya seperti biasa. Disuapkannya nasi terakhir.

"Ah, ya Anne. Mamamu sudah bercerita semalam." Suara Papa membuatnya berhenti mengunyah. Papa pasti sudah merasa apa yang sedang dipikirkannya. Papa pasti sudah tahu apa yanG sedang diresahkannya ketika mereka saling berhadapan.

Mata Ariane dan mata Mama saling berpandangan. Mama mengangguk mengiyakan. Keinginan Ariane baru disampaikan kepada Papa kemarin padahal Ariane sudah menyampiakannya pada Mama beberapa minggu sebelumnya. Selalu seperti itu. Banyak hal yang harus disampaikan dengan sangat hati-hati terutama jika itu tentang Ariane.

"Ah, ya, Pa," jawab Ariane ragu-ragu penuh dengan penuh harap. "Anne punya sedikit tabungan."

Mama menahan napas. Tak kuasa menahan hatinya ketika nanti Papa memberikan keputusan, Mama berpura-pura sibuk membersihkan beberapa butir nasi yang tercecer di atas taplak putih meja makan. Kemudian merapikan mangkuk-mangkuk dan piring yang sudah rapi tertata di meja. Lalu dituangkannya air putih ke dalam gelas Ariane yang isinya masih setengah. Dan hal-hal kecil lain yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Mama hanya sedang mencoba membuang gelisah karena mendadak pagi yang tenang dan hangat berubah menjadi tegang.

Ariane menatap Mama dan menangkap kegelisahan di antara gerakan-gerakannya. Bertahun-tahun dia menyaksikan pemandangan itu dan baru menyadari ketika dia sudah beranjak besar dan bisa menangkap semua makna. Mama tidak pernah ingin mengecewakan Ariane tapi selalu keputusan Papa membuatnya tidak berdaya.

Ariane hampir tiga puluh tahun, Pa. Hampir saja kalimat itu yang terucap dari bibir Ariane, tapi suara Papa yang berat lebih dulu memecah kesunyian yang merayap di ruang makan. Papa selalu bisa membaca apa yang ada dalm pikirannya.

"Papa tahu Anne sudah dewasa."

Serta merta Ariane menyorongkan piringnya. Dia sudah tahu jawaban itu tapi tak urung hatinya masih patah juga. Diremasnya jemari melampiaskan kekesalan yang tidak pernah bisa diungkapkan. Hanya itu. Tanpa menambahkan kalimat penjelas panjang lebar Ariane sudah tahu arti dari kalimat pendek yang diucapkan Papa. Papa tidak menghendaki dia untuk membeli rumah sendiri. Apakah aku pernah bisa mendebat apa yang diputuskannya, batinnya sedih.

Setidaknya Anne bisa menunjukkan hasil kerja keras Anne selama ini, Pa. Kalimat itu pun sudah di ujung lidah tapi tidak ada suara yang berhasil keluar. Ariane hanya menatap piring kosongnya. Bersiap mendengar sisa kalimat yang berbaris di benak Papa menunggu untuk disampaikan.

"Jika kau sudah berkeluarga dan merasa rumah ini tidak cukup lagi bagi cucu-cucu Papa, mereka memerlukan ruang yang lebih luas untuk bergerak, kami nanti yang akan ganti bekunjung ke rumah kalian. Sesekali menginap di sana. Atau kalian menerima jika kami ingin tinggal bersama kalian?" Papa akhirnya bersuara. Suara Papa lembut tetapi nadanya yang kuat membuat Ariane terperanjat.

Sekilas Ariane melihat tangan Mama yang memegang pundak Papa, mencoba menengahi seperti biasa. Mama memandang Ariane dengan tatapan memohon untuk tidak meneruskan pembicaraan mereka.

"Baiklah, Pa." Akhirnya Ariane bisa mendengarkan suaranya sendiri. Mungkin kita bisa membicarakanya lain kali. Papa akan kuajak melihat rumah itu dan meminta pendapat Papa seperti apa yang akan kutinggali.

Ariane berdiri sambil melihat jam tangannya. Hampir setengah delapan, mobil jemputan dari kantornya pasti sudah berasa di tengah perjalanan menjemputnya. Diangkatnya piring-piring sisa makan dan meletakannya di dapur. Ketika kembali dihampirinya Papa.

"Anne tidak bermaksud menyakiti hati Papa," bisiknya sambil mencium tangan orang tua itu. Pembicaraan yang tidak menyenangkan di meja makan akan tuntas di sana ketika dia berangkat ke tempat kerja. Dia tidak ingin berangkat dengan meninggalkan perasaan terluka pada orang tuanya yang membuat restu mereka berkurang. Meskipun, seringkali dia harus mengorbankan perasaannya sendiri.

"Papa tahu Anne selalu ingin menunjukkan yang terbaik," jawab Papa sambil mengelus kepala anak semata wayangnya itu.

Ariane mengangguk dan beralih menuju Mama dan mencium tangannya. Kemudian tanpa berkata-kata lagi diambilnya tas dari kursi dan bergerak dari ruangan. Mobil jemputan sudah berkali-kali membunyikan klaksonnya tak sabar menunggu Ariane keluar.

***

Di Kaki Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang