"Sudahlah, pasang seatbelt-mu erat-erat. Hanya satu setengah jam kita akan sampai tujuan. Tidak akan terjadi apa-apa," kata Jaspina sambil memandang Ariane yang wajahnya tampak ceria. Dia senang Ariane akhirnya memutuskan menghadiri pernikahan Fania.
Semalam Ariane tak sanggup memejamkan mata. Sudah hampir pukul satu ketika akhirnya dia dan Jaspina kembali ke kamar masing-masing. Lampu ruang baca sudah padam. Lampu kamar Jaspina pun sudah meredup. Ariane sendiri sudah meringkuk dalam cahaya remang yang siap menghantarkannya ke alam mimpi. Matanya tertutup tapi dia masih terjaga. Hatinya berkecamuk.
Terlintas tahun-tahun yang dilaluinya bersama Krisna. Selama ini dia selalu mengiyakan saja apa yang dikatakan laki-laki itu. Tidak, dia tidak ingin beradu mulut dengan laki-laki di mana dia tambatkan cintanya itu. Sikap Krisna yang keras selalu dapat ditolerirnya dengan sabar. Perlakuan Krisna yang kadang membuatnya sedih selalu bisa diterimanya dengan lapang hati. Semua itu dilakukan karena Ariane sangat menghargai hubungan yang sudah mereka bangun selama bertahun-tahun. Hatinya selalu menyanyangkan jika hanya karena hal yang harusnya tidak perlu, tali hati yang sudah mereka ikat akan pudar.
Dan beberapa tahun belakangan ketika banyak hal kejadian menimpa hidup Krisna, dan laki-laki itu mulai berubah Ariane masih saja bertahan. Semakin disadarinya bahwa sebenarnya sikap Krisna yang kadang membuatnya tidak nyaman terjadi karena dia telah banyak kehilangan. Ariane yakin bahwa Krisna melakukan itu hanya karena dia tidak ingin kehilngan orang yang dikasihinya seperti dia kehilangan Ayah dan Ibunya.
Tapi sisi hatinya yang lain juga sering memberontak. Sama seperti ketika keinginannya seringkali tidak diijinkkan Papa, begitulah yang dirasakannya ketika Krisna mulai mengatur hidupnya. Baik Papa maupun Krisna tidak pernah peduli apa yang aku mau, batin Ariane. Mereka hampir tidak pernah membiarkan aku memilih kesenanganku. Aku ingin berjalan bersama mereka dengan caraku tetapi keduanya selalu meragukan kemampuanku. Barapa lama aku harus memendam kata hatiku dan membiarkannya menjadi kalimat-kalimat bisu yang tidak pernah terungkap?
Berikan waktu untuk membahagiakan dirimu, kau berhak, begitu terdengar lagi kata-kata yang disampaikan Jaspina sebelum mereka meninggalkan balkon. Dan kalimat itu semakin mengendap dalam kepalanya. Aku hanya menginginkan sebagian kecil kebahagiaanku, kata hati Ariane lagi. Bertemu sahabat-sahabatku adalah kebahagiaan yang tidak bernilai. Tidak ada yang salah. Perjanjian yang kita buat, yang kaubuat, sangat bisa untuk diabaikan sebentar. Aku tidak melanggar apa-apa, apalagi berkhianat. Aku hanya akan melewatkan waktu bersama teman-teman lama tanpa dirimu hanya untuk beberapa jam. Sama sekali tidak ada yang salah.
Ariane memejamkan mata semakin erat. Diyakinkannya diri sendiri bahwa keputusan yang akan diambilnya adalah keputusan yang tidak berat. Akan diceritakannya kepada Krisna pada suatu waktu nanti sekedar intermezzo jika mereka bertemu. Semua akan baik-baik saja. Ariane pun jatuh tertidur.
Esok harinya diketuknya kamar Jaspina yang masih rapat dengan tidak sabar. Sahabatnya dengan mata masih sembab membuka pintu tergopoh-gopoh.
"Okay, aku akan mengantar kado itu sendiri kepada Fania," ujar Ariane dengan penuh semangat.
Jaspina mengerutkan kening bertanya-tanya degan wajah sama sekali tidak percaya. "Jangan bercanda. Kau tahu, aku sudah bersiap pergi seorang diri melihat kau begitu kukuhnya dengan janjimu kepada Krisna," kata Jaspina sambil mengangkat bahunya.
"Aku memikirkan kata-katamu semalam," jawab Ariane.
"Oh, ya?" belalak Jaspina tak percaya.
Dan kini setelah berpamitan kepada Mama dan Papa, mereka berdua sudah meluncur dalam mobil Jaspina. Cuaca sangat cerah dengan matahari setengah penggala. Sinarnya yang hangat bukan hanya menumbuhkan tanaman dan bunga-bunga tetapi juga menghidupkan suasana hati yang suram.
Sepanjang perjalanan tidak berhenti kedua sahabat itu bercerita. Serasa belum tamat juga kisah yang sudah mereka mulai sejak kedatangan Jaspina ke rumah Ariane. Dan semakin semarak ketika akhirnya mereka berdua tiba di gedung pernikahan dan bertemu dengan beberapa teman lama yang masuk dalam daftar tamu undangan Fania. Semua adalah teman-teman dekat di mana mereka pernah melalui masa-masa remaja bersama.
Dan Fania terbelalak tidak percaya ketika melihat keduanya berjalan di karpet merah menuju ke arahnya, terutama kepada Ariane. Seolah-olah tidak sedang di panggung di atas singgasananya Fania menyambut kedua sahabatnya itu dan memeluk mereka erat dengan penuh suka cita. Arya di sebelahnya memandang ketiga perempuan yang bersahabat sejak SMA dan juga teman-teman sekelasnya itu dengan tatapan hangat.
"Selamat ya, Ar, akhirnya kau bisa memenangkan hatinya," kelakar Jaspina padanya disambut tertawa mereka bertiga sebelum bersama Ariane menuruni panggung untuk menyantap hidangan.
Ketika tamu undangan mulai sepi Fania dan Arya bergabung dengan Ariane dan Jaspina dan juga beberapa teman lama mereka lainnya. Mereka tenggelam dalam kegembiraan karena perjumpaan yang tertunda bertahun-tahun. Pembicaraan tentang masa-masa sekolah hampir tidak ada habisnya dan menjadi topik yang paling utama. Pesta pernikahan Fania dan Arya tiba-tiba menjadi pesta reuni.
"Eh coba lihat siapa yang sedang video call ini!" seru Arya ketika ponselnya berdering beberapa kali. Teman-temannya menghentikan perbincangan dan megalihkan perhatian pada ponsel yang dilambai-lambaikannya. Ketika Arya menjawab panggilan tersebut tampak kemudian wajah seorang laki-laki di sana. Mengenakan kemeja biru. Wajahnya teduh dengan mata yang selalu gemerlap ketika berbicara. Rambutnya yang lurus dipotong rapi kekinian.
"Selamat untukmu dan Fania, ya. Maaf aku belum bisa hadir di sama." Suara dari telpon membuat beberapa teman ingin tahu dengan siapa Arya berbicara.
"It's okay. Terima kasih kau sudah menyempatkan waktumu jauh-jauh menelepon kami. Coba kau lihat siapa saja yang ada di sini. Kami semua menanti dirimu," kata Arya lagi kali ini sambil menunjukkan ponsel ke arah teman-temannya sehingga mereka bisa melihat siapa yang sedang bicara.
"Jay!"
"Hey, hello, Jay!"
Semua berseru ke arah Jay. Benar yang dikatakan Fania padanya bahwa dia mengundang laki-laki itu ke pernikahannya. Jay tidak datang tapi hadir di antara mereka. Dan belum sempat dia melambaikan tangan untuk menyapa, tiba-tiba Fania menghampirnya, menyeret Ariane lebih mendekat ke kamera Arya agar Jay bisa mengenalinya.
"Jay, kaulihat siapa dia?" seru Fania.
Jay tersenyum dengan wajah sangat bahagia melihat Ariane di sana. Ariane membalas senyumannya dengan melambaikan tangan dan memberikan senyuman pula. Berapa lama sudah belum pernah lagi mereka saling mendengar suara dan melihat wajah. Jay dan Ariane masih tetap berkomunikasi tetapi hanya lewat pesan. Dan seperti biasanya hati Ariane selalu merasa sejuk dan terlindungi setiap kali Jay ada bersamanya. Sejak dulu, sejak mereka masih kanak-kanak.
Beberapa saat sekelompok sahabat lama ini kembali menyusuri nostalgia sebelum kemudian saling berpamitan. Waktu yang terasa sekejap benar-benar sangat berharga terutama bagi Ariane dan kedua sahabatnya.
Dan ketika dalam perjalanan pulang Ariane merasakan hal yang berbeda. Dia lebih bahagia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Kaki Langit Senja
Random"Apakah kita tidak punya kesempatan lagi untuk bersama?" Terngiang kembali ucapan Krisna dengan nada yang hampir tak bisa ditangkap telinga. Mata mereka berdua nanar, saling menatap. Terlintas lembaran-lembaran hari yang pernah mereka tulis bersama...