Bab 3

21 0 0
                                    


Selama perjalanan menuju kantor Ariane lebih banyak berdiam diri. Percakapan di meja makan terlintas lagi. Sejak pagi Ariane sudah berusaha melawan rasa enggan yang memberati langkahnya untuk pergi bekerja, berusaha memberikan semangat kepada dirinya sendiri. Dan semua keengganan kembali, mengacaukan awal harinya tak sampai hitungan menit. Kata-kata yang disampaikan Papa untuk tidak menyetujui keinginannya memiliki rumah sendiri sungguh menusuk hatinya. Papa tidak pernah percaya bahwa aku bisa berjalan di atas kakiku sendiri, keluhnya. Sampai kapan aku akan hidup bersama-sama bayang-bayang orang tua yang selalu mengkhawatirkan diriku? Yang selalu menganggap aku adalah gadis kecil rapuh yang harus selalu dilindungi?

Dia teringat hari-hari masa kecil saat masih di sekolah dasar, ketika teman-temannya bisa pergi ke sekolah dan pulang tanpa diantar oleh orang tua mereka karena jarak antara sekolah dan rumah cukup dekat. Dengan rasa ingin yang sangat Ariane merengek kepada orang tuanya bahwa dia akan berjalan kaki bersama mereka. Pasti sangat menyenangkan beruduyun-duyun sepanjang jalan sambil bercanda bersama sahabat-sahabat kecilnya. Andin yang kurus dengan rambut kepangnya, Avril yang berbadan tambun yang suka ngemil sambil jalan, Ken berbadan paling besar di antara mereka yang suka usil kepadanya ketika di dalam kelas dan Jay yang baik hati.

Sepanjang ingatan Ariane, pada masa itu belum pernah sekalipun orang tuanya mengijinkannya untuk bergabung dengan mereka. Dia hanya bisa melambaikan tangan dari atas motor di belakang Papa ketika melewati mereka. Wajahnya tampak gembira mendengar teman-temannya memanggil-manggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan, meskipun kemudian ketika sampai di rumah dia merajuk kepada Mama. Dan Mama yang tidak sampai hati melihat Ariane kecil kecewa akan mengundang teman-temannya pada hari Minggu untuk bermain ke rumah. Dan seperti itu yang seringkali terjadi.

Ketika Ariane beranjak remaja, Ariane semakin tidak mempunyai ruang bebas untuk bergerak. Antar jemput masih menjadi rutinitas bahkan mungkin semakin ketat bercampur dengan berbagai kekhawatiran. Tidak ada motor yang dipakainya sendiri untuk pergi ke mana-mana. Kegiatan-kegiatan sekolah Papa atau Mama yang mengantar bahkan seringkali Papa rela menungguinya ketika dia pulang agak sore mengerjakan tugas.

Ariane ingat sekali pernah merajuk berhari-hari karena Papa tidak mengijinkannya dia ikut perpisahan kelas yang diadakan di villa Arya teman sekelasnya ketika dia lulus SMA. Dia sama sekali tidak berhasil meyakinkan Papa bahwa tidak akan terjadi apa-apa di sana. Dengan penuh harap Ariane mengatakan bahwa malam itu adalah malam terakhir kebersamaan mereka karena sebentar lagi mereka tidak akan bertemu lagi karena banyak teman sekelasnya yang akan melanjutkan kuliah di luar kota bahkan ke luar negeri. Ariane memastikan kepada Papa bahwa teman-temannya adalah teman-teman sekelas yang sering datang ke rumah, bahkan juga ada Jay yang hampir selalu menjadi teman sekolahnya sejak kecil dan bertetangga dekat dengan mereka. Tapi semakin Ariane bersikukuh, semakin Papa kuat dengan keputusannya. Dan sore itu, sore yang tidak akan pernah dilupakan olehnya, ketika Jay yang datang menjemputnya harus pergi sendiri tanpa dirinya. Jay memandangnya di depan pintu dengan tatapan tak berdaya untuk membantunya. Keputusan Papa mutlak, tidak dapa diganggu gugat.

Berhari-hari kemudian setelah kejadian itu Ariane remaja tidak mau bicara. Dia tidak mau keluar kamar untuk makan. Hatinya marah, tetapi selalu tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

Hati Ariane yang penuh kemarahan karena Papa tidak mengijinkan untuk hadir pada acara perpisahan kelas di villa Arya akhirnya terobati ketika Mama mengetuk pintu kamar dan memanggilnya. Suara Mama yang lembut mendinginkan perasaan, meluruhkan sebongkah kecewa yang dipendamnya selama berhari-hari. Penjelasan Mama tentang kekhawatiran Papa jika Ariane pergi bisa diterimanya, meskipun sementara. Karena ternyata beberapa minggu kemudian kekesalan hatinya terbit kembali. Kejadian yang menambah rentetan cerita yang akan terus diingatnya sepanjang waktu.

"Jadi? Anne tidak bisa kuliah di sana? Tapi Anne sudah diterima, Pa?!" Ariane berteriak tak dapat menahan tangisnya. Beberapa waktu yang lalu baru saja kegembiraan meluapi hatinya. Dia diterima di sebuah Universitas Negeri di luar kota dimana dia mendaftar di Jurusan Pendidikan. Menjadi guru adalah impiannya! Dan impian itu terlepas begitu saja ketika kabar gembira itu dibawanya pulang dan disampaikan kepada orang tuanya.

"Kenapa tidak menceritakan kepada kami waktu mendaftar, Nak? Kami mungkin bisa memberikan pertimbangan." Mama menghibur, mencoba meredakan isakan setelah perdebatan antara Papa dan Anne berakhir.

Perdebatan dengan Papa untuk yang pertama dan mungkin untuk yang terakhir kali. Sebab setelah itu Ariane menyadari tidak pernah lagi ada gunanya dia berkeinginan. Dia memutuskan untuk membiarkan hidupnya mengalir. Dia biarkan kegembiraan perayaan keberhasilannya diterima di tempat yang diimpikannya menguap. Ariane harus menyimpan cita-citanya kembali, menyimpan rapat-rapat dalam ruang di sudut hatinya, diam-diam.

Dan hari ini terulang lagi, batin Ariane. Dihempaskannya napas melepaskan sesak yang tiba-tiba merangkak ke dalam dada. Papa tidak pernah berubah bahkan ketika usiaku hampir menginjak tiga puluh.

"Kenapa, An?" Tiba-tiba suara Kania teman sekantor yang setiap pagi berangkat bersamanya membuat Ariane tersadar bahwa dia masih berada di dalam mobil.

Ditolehnya perempuan berkaca mata itu tergagap. Dipegangnya kepala memberi tanda bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya. Kania memegang tangan Ariane perlahan.

"Bersabarlah. Sering kita sebagai anak, memang tidak pernah tahu apa yang sedang dirasakan orang tua. Mereka khawatir, takut terjadi sesuatu kepada kita, tapi, mana kita pernah tahu untuk apa mereka seperti itu. Ayolah positive thinking saja," kata Kania.

Setelah bertahun-tahun menjadi teman di ruangan yang sama, Kania bukan hanya menjadi rekan kerja, tapi sudah menjadi teman berbagi untuk banyak hal. Sering kali tanpa disampaikan, mereka tahu apa yang tengah terjadi pada salah satu dari keduanya. Usia Kania satu dua tahun lebih muda dari Ariane, tapi seringkali yang dia nasehatkan lebih dewasa dari usianya.

"Kita belum pernah menjadi orang tua, kan?" tambah Kania sambil tertawa.

Ariane tertawa mendengar kelakar sahabatnya. Hatinya agak terhibur, apalagi ketika mobil sudah bergerak memasuki halaman kantor. Beberapa rekan kerjanya mulai berdatangan dengan wajah cerah mereka, membuat perasaan muram Ariane beranjak pergi.

Pram melambaikan tangan dari balik jendela mobilnya. Kemeja merah muda yang dikenakannya pagi ini sungguh menggoda membuat Ariane mengerutkan kening dan ingin tertawa. Ayu, calon ibu muda yang terlihat baru bersaliman dengan suaminya tampak berjalan dengan sangat hati-hati dengan baju hamilnya berwarna merah cerah secerah wajahnya, membuat Ariane jatuh hati. Shanti, salah satu dari temannya paling modis di kantor baru turun dari motor melambaikan tangan dengan penuh semangat kepadanya. Penampilannya yang selalu matching dari baju, sepatu, hingga pernak-pernik aksesorisnya tak henti-henti membuat Ariane menggelengkan kepala. Semua tampak gembira. Semua teman tampak tidak punya beban. Ayolah Ariane, kau bisa melalui hari ini, bisiknya ketika turun dari mobil.


***

Di Kaki Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang