Setelah mengajak Ariane berkeliling melihat semua ruangan yang ada di sekolah kecilnya, mereka berdua duduk di ruang tunggu terbuka yang menghadap taman cantik yang dipenuhi aneka macam tanaman. Sinar matahari sore menerobos daun-daun pohon puring yang berjajar sepanjang jalan setapak, angin semilir siap menghantarkan waktu ke ujung hari dengan senja temaram. Jay menghadapi sebotol air mineralnya, sementara Ariane siap menikmati teh panas nikmat yang baru diseduhnya. Rasanya lega bisa duduk menginstirahatkan kaki setelah bergerak dari satu ruang ke ruang lain dalam bangunan sebesar ini.
Beberapa pegawai Jay sudah pulang, hanya tinggal Bu Ana resepsionis yang menghabiskan sisa waktu kerjanya hingga jam lima dan seorang pengajar laki-laki yang masih tinggal karena ada kelas sore yang diambil secara privat oleh seorang mahasiswa yang memerlukan persiapan khusus untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Pak Eko yang jam kerjanya mendapatkan shift pagi hari ini juga sudah tidak tampak lagi di pos satpam, sudah digantikan oleh Pak Adi yang mendapatka giliran jaga malam.
"Aku teringat ketika hari aku akan berangkat, aku hendak pamit kepadamu dan juga Papa dan Mama." Jay membuka percakapan sambil menerawangkan pandang ke arah jajaran puring yang daun hijau bercorak semburat kuningnya bergoyang lembut ditiup angin. Ada banyak kenangan yang selalu tersimpan rapi di antara bilik-bilik memori, bukan kenangan pahit yang menyakitkan tetapi kenangan yang membuat kalbu menjadi sendu. Dan Jay, seorang melankolik yang seringkali merasakan seperti itu.
Ariane menatapnya, mencoba mengingat-ingat. Beberapa saat kemudian tersenyum seolah menemukan kembali apa yang tengah dicarinya. Pak Rahmat, sopir yang sudah ikut keluarga Ariane sejak muda, mengatakan bahwa Jay datang tapi hanya sampai di depan gerbang karena Pak Rahmat mengatakan kepadanya bahwa Ariane sedang mengurung diri di kamar seja sejak pagi. Beberapa hari setelah itu email Jay ditemukannya di antara belasan newsletter yang terkirim hari itu, mengabarkan bahwa Jay sudah ada di negeri seberang. Sebuah kejutan yang sampai saat ini masih disimpannya. Entah, dia sendiri tidak tahu kenapa harus menyimpan email itu dalam mailboxnya hingga sekarang. Hanya setiap kali dia membacanya kembali, ada rasa gembira yang tidak bisa dia sembunyikan.
"Dan kau tidak berhasil menemui aku," jawab Ariane. "tapi kau selalu bisa membuktikan padaku bahwa kau adalah sahabat sejati. Bahkan sampai hari ini."
Jay tersenyum, melukis rasa tulus di sudut bibir dan mata, pancaran dari hatinya. Tidak ada yang bisa dibuat-buatnya ketika bersama perempuan itu. Bagi Jay yang anak bungsu dari enam bersaudara dengan lima orang kakak, Ariane yang sudah sejak kecil dikenalnya sudah dianggap adik baginya. Meskipun dalam perjalanan mereka kemudian, dalam hati Jay tumbuh perasaan yang lebih dari itu. Dan dibesarkan di sebuah keluarga besar dengan kedua orang tua yang authoritative melihat Ariane kecil rapuh yang selalu terikat dengan aturan-aturan Papa, sungguh membuat Jay seringkali tidak sampai hati melihatnya.
"Dan kau tahu? Aku masih menyimpan email pertama ketika kau tiba Singapore. Email pertama dan terakhir karena setelah itu kau menghilang" lanjut Ariane.
Jay tersenyum lagi dengan rasa sedikit bersalah ketika mendengar kata 'menghilang' yang diucapkan Ariane. Matanya kembali memandang daun-daun puring yang masih setia dengan desiran angin. Hanya kali ini sinar matahari sore semakin redup di antara lebat hijaunya.
"Kau ke mana?" tanya Ariane.
Kini Jay ganti menatap Ariane. Ada banyak cerita yang tersimpan di dalam benaknya yang tidak pernah sanggup dia ceritakan.
"Aku bahkan tidak bertemu denganmu ketika kau pulang pada saat Ayahmu meninggal," lanjut Ariane dengan nada menyesal. Ariane heran dengan dirinya sendiri, dia masih mengingat peristiwa yang sudah lewat bertahun-tahun itu. Ariane datang ke sana bersama orang tuanya ketika Jay belum tiba. Dan setelah itu pun dia tidak melihat tanda-tanda bahwa Jay datang. Barangkali dia menunggu waktu itu, tapi perhatiannya lebih banyak tersita sebagai mahasiswa baru. Dan hari-hari pertamanya bersama Krisna.
"Benar-benar masa yang sulit buatku. Menjadi mahasiswa baru dan tiba-tiba aku mendapat berita bahwa Ayah sakit keras dan meninngal. Aku harus pulang tapi juga harus cepat kembali. Kau tahu sendiri, aku bahkan tidak mengikuti pemakaman Ayah." Jay mengenang kembali peristiwa yang disampaikan oleh Ariane. Seperti halnya Ariane, menjadi mahasiswa baru apalagi di negeri orang sangat memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri.
Ariane menangkap sedih berkelebat sekilag di mata Jay. Meskipun Ayahnya sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu, pasti tersisa kenangan yang tidak bisa dihapusnya. Apalagi, Jay sebagai anak bungsu. Seperti dirinya yang sedang berjuang dengan sesuatu yang tidak diinginkannya pada saat itu, dia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh sahabat kecilnya ini. Beradaptasi di tempat baru sementara mendadak dia harus dihadapkan peristiwa yang tidak terduga. Baru kali ini terpikirkan bahwa dia tidak ada ketika Jay mengalami masa-masa yng mungkin paling sulit dalam hidupnya itu.
"Maaf aku tidak menemuimu waktu itu." Jay menyambung kalimatnya setelah beberapa saat terdiam. Seandainya dia mampu mengatakan bahwa sempat dilihatnya beberapa kali Ariane di depan rumah turun dari motor seorang pemuda yang beberapa minggu kemudian dia ketahui bernama Krisna. Pemandangan yang beberapa kali dilihatnya ketika dia pulang itulah yang mengurungkan niatnya untuk menemui Ariane. Fania dan Jaspina yang menceritakan banyak hal kepadanya tanpa Ariane tahu apa bahwa mereka lebih banyak berkomunikasi daripada dengan dirinya.
Ariane menarik napas. "Aku yang meminta maaf, aku tidak bersamamu ketika kau berada dalam kesulitan," potong Ariane cepat-cepat. Tiba-tiba dia merasa betapa egois yang sudah dilakukannya.
"Aku tahu kau sangat sibuk sekali." Hanya itu akhirnya yang bisa diucapkan oleh Jay.
Kemudian keduanya terdiam lama sekali. Sibuk dengan pikiran masing-masing, mengembara pada masa-masa lama yang mendadak berputar kembali di dalam kepala.
"Ariane, percayalah aku sangat gembira kau bisa membantu di tempatku. Aku sangat menghargai apa yang sudah kaulakukan. Meskipun keputusan besarmu untuk resign dari perusahaan itu tidak sebanding dengan apa yang akan kaujalani di sini." Jay membuka suara lagi. Lebih dari itu sebenarnya, Jay teringat cerita teman-temannya bahwa Ariane tidak bisa ditemuinya karena mengurung diri setelah kekecewaannya dengan Papa.
"Tidak, Jay. Aku yang sangat berterima kasih padamu telah memberikan aku kesempatan untuk mengajar di tempatmu. Padahal kau tahu, aku tidak pernah melakukan sebelumnya. Oh my, tiba-tiba aku nervous." Ariane menjawab apa yang disampaikan Jay dengan nada khawatir. "Harusnya kau menguji aku dulu sebelum menrimanya. Apakah aku layak."
Jay tertawa yang disambut dengan tawa Ariane juga dengan hati mendadak gugup.
"Aku percaya padamu." Dengan penuh keyakinan Jay mengakhiri percakapan sore mereka.
Beberapa saat kemudian keduanya sudah meluncur pulang. Ada rasa yang tidak bisa terkatakan di dalam hati mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Kaki Langit Senja
Random"Apakah kita tidak punya kesempatan lagi untuk bersama?" Terngiang kembali ucapan Krisna dengan nada yang hampir tak bisa ditangkap telinga. Mata mereka berdua nanar, saling menatap. Terlintas lembaran-lembaran hari yang pernah mereka tulis bersama...