Satu jam sudah Kania berada di balkon kamar Ariane. Kania yang sudah lama tidak bertemu sahabat yang dulu juga teman kerjanya itu menyempatkan diri singgah ketika pulang dari kantor. Pasti akan menyenangkan sekali bisa berbincang banyak tentang apa yang sudah lama tidak mereka bagi. Dan Kania sangat gembira melihat Ariane yang begitu banyak berubah sejak memutuskan diri untuk keluar dari perusahaan dan mengajar di tempat Jay.
"Harusnya kuajak Pram atau Shanty, ya. Pasti lebih seru," kata Kania sambil menunjukkan ponsel, menunjukkan pesan yang baru diterima dari Pram. "Dia baru saja mengirim pesan padaku."
"Siapa? Pram?" tanya Ariane sambil mengambil ponsel milik Kania. Dibacanya pesan yang baru dikirim Pram yang juga sahabatnya ketika bekerja di perusahaan. Diangsurkannya kembali ponsel kepada Kania sambil tersenyum. "Seperti biasa, dia mengajak wisata kuliner."
Kania mengiyakan. "Ayolah, kapan-kapan kita pergi bersama. Kau banyak waktu luang sekarang," ajak Kania penuh harap.
Ariane mengangguk. Perasaannya lapang ketika mendengar ajakan Kania. Tidak lagi terasa ada sesuatu yang memberatinya untuk mengiyakan. Semua masalah yang memberati langkahnya satu per satu mulai mengabur. Hatinya yang tangguh telah sanggup mengatasinya. Krisna hampir menjadi masa lalu
"Aku gembira akhirnya Papa dan Mama bisa menerima semua ini. Aku bisa merasakan kekecewaan seperti apa yang mereka berdua rasakan ketika kau menceritakan tentang hubungan kalian," ucap Kania membuka percakapan lagi. Ekspresi wajah Ariane yang tidak tampak lagi menanggung rasa bersalah mengisyaratkan masalah yang sudah bisa dilaluinya.
"Ya." Ariane menjawab dengan singkat.
Sekelebat ditangkapnya bayangan laki-laki yang beberapa waktu terakhir ini sering berkunjung ke rumah. Geotama Ardiyaksa yang dikenalnya ketika menghadiri resepsi pernikahan kolega Papa itu diam-diam menaruh hati padanya. Dan Ayah Geo, Pak Ardiyaksa juga jatuh hati pada Ariane sebagai anak dan berharap Ariane bisa berdekatan dengan putra tunggalnya.
"Papa berusaha menjodohkanku dengan putra koleganya." Akhirnya Ariane berterus terang.
"Oh! Bagus itu!" seru Kania dengan nada gembira.
Ariane mengangkat bahu. Perempuan itu hendak mengatakan bahwa hari-harinya tanpa Krisna sudah cukup membahagiakan. Dan dirinya masih perlu waktu untuk menerima orang lain sebagai pengganti. Dia masih perlu waktu untuk menata hati, apalagi beberapa hari terakhir ini Krisna kembali menjadi bahan pikirannya. Cerita Jay bahwa Krisna telah mendatanginya membuat Ariane kembali gundah.
"Entahlah." Itu saja yang diucapkan Ariane akhirnya sambil beranjak dari kursi dan masuk ke dalam kamar karena beberapa kali ponselnya berdering.
Dan Ariane terkejut bukan kepalang ketika dilihatnya nama Krisna yang muncul di layar. Hatinya berdegup keras. Tiba-tiba dirasakan tangannya mulai dingin dan perutnya mulai sakit. Perasaan Ariane bercampur aduk antara rasa ingin tahu dan rasa tidak ingin kembali pada masa lalu. Ya Tuhan, ternyata apa yang kupikirkan bahwa dia mencariku benar terjadi.
"Siapa yang telpon? Kenapa tidak diangkat?" Suara Kania mendadak sudah di belakangnya. Kania mengira bahwa Ariane sedang berada di tempat lain ketika ponselnya berdering berkali-kali.
Dengan matanya Ariane menunjuk ke arah layar.
"Oh!" seru Kania sambil menutup mulutnya. Matanya terbelalak. Seperti Ariane, dia juga sudah menyangka bahwa Krisna akan mencari sahabatnya itu. Namun, tak urung dia terkejut juga ketika melihat nama Krisna ada di sana.
"Aku tidak akan mengangkatnya," putus Ariane. Wajahnya tegang tetapi menunjukkan ketegasan.
Dibiarkannya ponsel itu berdering lagi berkali-kali tanpa ingin disentuhnya. Hatinya sudah bertekat tidak ingin berhubungan lagi dengan Krisna. Dia tidak ingin membuka rasa lama yang sudah mulai dapat disembuhkan.
"Biar saja. Aku berharap dia banyak merenungkan apa yang terjadi ketika kami tidak bersama." Ariane menambahkan. Kania mengangguk memahami.
Malam hari ketika Kania sudah pulang Ariane memeriksa ponselnya lagi. Krisna meneleponnya dua belas kali sepanjang sore itu dan terakhir meninggalkan pesan mengatakan agar Ariane menjawab panggilannya. Ariane memejamkan matanya. Hatinya tiba-tiba cemas. Sejujurnya, dia ingin sekali menjawab satu dua kata tapi sisi dirinya yang lain tidak ingin melakukannya.
"Ariane, ayo makan malam dulu, Nak!" Tiba-tiba Mama berseru dari ruang makan. Ariane tersenyum. Suara Mama sangat menyejukkan pikirannya yang kacau.
Mama sudah menyambutnya di ruang makan. Sementara Papa didengarnya sedang berada di ruang depan berbincang dengan seseorang. Ariane melewati saja tanpa menoleh ke sana. Hari Sabtu biasanya Papa memanggil Pak Yanto untuk meminta datang hari Minggu pagi. Pasti Papa minta Pak Yanto datang besok untuk membersihkan halaman belakang yang rumpurnya sudah mulai setinggi lutut.
"Wah, Mama masak istimewa sekali hari ini," komentar Ariane heran. Diambilnya tempat duduk dan mulai mengambil piring. Belum sempat diambilnya nasi ketika Papa masuk ruang makan dan mengejutkan Ariane dengan tamu yang berada di sampingnya.
"Anne sudah turun juga rupanya," ucap Papa terdengar gembira melihat Ariane sudah berada di sana.
Ariane memandang Mama. Oh, tahulah dia kenapa masakan Mama malam ini sangat istimewa. Papa sudah berencana mengundang Geo untuk makan di rumah. Dan bagi Ariane rencana ini sama sekali tidak tepat.
Sepanjang makan malam Papa tampak menikmati pembicaraan dengan laki-laki itu. Sementara Ariane sesekali menjawab dan mengiyakan saja jika Papa bertanya sesuatu atau menyatakan sesuatu. Ingin saja diakhiri sendok demi sendok nasi tanpa berbasa-basi tapi demi menjaga perasaan orang tuanya Ariane memilih mengikuti makan malam istimewa itu.
Setelah pembicaraannya dengan kedua orang tuanya tentang perpisahannya dengan Krisna yang pasti mengecewakan, Ariane tidak sampai hati membuat luka hati mereka lagi. Ariane akan mencari waktu untuk memahamkan semuanya.
"Ayo kalian bisa ngobrol-ngobrol berdua setelah makan. Kami orang tua pasti tidak mampu lagi mengikuti pembicaraan kalian." Papa berkata sambil memandang ke arah Ariane yang hendak beranjak meninggalkan meja makan.
Dengan enggan Ariane mengajak Geo ke depan. Entah, apa nanti yang dia bincangkan dengan laki-laki yang baru dikenalnya beberapa pekan ini dan baru ditemuinya dua tiga kali.
Diliriknya laki-laki berwajah kanak-kanak dengan senyum sopan itu. Papa sudah menceritakan tentang dia. Geo adalah seorang arsitek yang sudah mapan. Dan yang lebih penting dari itu adalah bahwa Geo berasal dari keluarga baik-baik sahabat Papa. Ayah Geo, Pak Ardyaksa, sudah sering bertemu dengan Ariane. Kedua orang tua Geo, terutama ayahnya, sangat menyukai Ariane. Dan ketika mengetahui keadaan Ariane dari cerita-cerita Papa, mereka setuju untuk mendekatkan keduanya.
"Apakah Bu Ardyaksa juga menanam tanaman seperti Mama?" Ariane memulai pebicaraan. Ariane tahu pertanyaan itu sangat lucu, tapi hanya itu yang tertangkap di benaknya karena dilihatnya Geo sedang memandang denga serius tanaman yang berada di depan mereka.
Geo mengangguk tersenyum. Tampak dia sangat gembira karena akhirnya Ariane mengajaknya bicara. Dari percakapan satu jam itu Ariane dapat membaca seperti apa laki-laki yang sedang mencoba mendekatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Kaki Langit Senja
De Todo"Apakah kita tidak punya kesempatan lagi untuk bersama?" Terngiang kembali ucapan Krisna dengan nada yang hampir tak bisa ditangkap telinga. Mata mereka berdua nanar, saling menatap. Terlintas lembaran-lembaran hari yang pernah mereka tulis bersama...