Sunset Glow. Nada-nada rancak itu terdengar berkali-kali dari ponsel di bawah tempat tidur Ariane. Pagi sudah kembali, pikir Ariane setelah lagu itu berputar hampir setengah lusin kali. Dengan enggan diulurkan tangan keluar dari selimut, meraba-raba lantai berhampar karpet warna maroon tebal itu, mencari ponsel yang selalu diletakannya di sana ketika hendak tidur. Dipincingkannya mata sejenak ketika benda itu sudah ada di tangannya, ditekannya tanda dismiss, lagu berhenti dan alarm yang sudah berbunyi sejak pukul enam pagi itu pun mati.
Ariane menarik napas sambil memejamkan mata kembali. Ya Tuhan, kapan aku bisa berhenti dari semua ketergesaanku di pagi hari dan menyudahi keterlambatanku di sore hari, batinnya. Alarm ponsel Ariane sudah disetel pada jam-jam tertentu sebagai penanda kegiatan-kegiatan rutin penting yang harus dilakukannya setiap hari. Pukul tiga pagi, kemudian setengah lima dan terakhir pukul enam.
Alarm pukul enam berarti dia harus segera menyadarkan diri dari mimpi, melupakan kamar hangatnya dan bergerak memulai hari. Alarm pukul enam pagi berarti waktu akan bergerak lebih cepat lagi: suara Mama yang memanggilnya turun untuk sarapan, baju kantor yang seringkali belum dilicinkan, laptop yang masih harus di-charge ulang, rambut basah yang masih harus dikeringkan, dan yang pasti, seringkali berkas-berkas yang semalam masih perlu dirapikan. Semua itu membuat Ariane bergegas, membuatnya harus bergerak cepat mengejar waktu karena dia sangat pantang dengan kata terlambat, apalagi sampai di tempat kerja.
Melayang ingatannya pada semua berkas dan bendel laporan yang selalu bertumpuk di meja kantor yang seringkali beberapa bagian masih menunggunya untuk dikerjakan: kertas-kertas yang sama setiap hari. Belum lagi deadline yang satu persatu harus dipenuhi dan beberapa klien baru yang harus ditemui, yang kesemuanya seringkali membawanya pulang lewat jam semestinya dengan badan letih. Oh Tuhan, gumannya sambil akhirnya beranjak dari tempat tidur, memaksakan diri untuk memulai hari.
Ayolah Anne, bisiknya lagi pada diri sendiri sembari merapikan tempat tidur. Kau sudah berusaha keras meniti karirmu. Selama bertahun-tahun kau telah menunjukkan pekerjaan yang bagus untuk perusahaan. Apakah kau akan menyia-nyiakan begitu saja semua kerja keras dan usaha besar itu hanya karena enggan dan rasa bosan?
Ariane bergerak kearah jendela dan menyingkap korden. Dihela napas menghempaskan perasaan gelisah yang menyeruak hatinya. Aku hanya lelah, aku hanya ingin berhenti sejenak dan meluangkan waktu untuk diriku sendiri, keluhnya lagi. Diangkatnya bahu sambil berlalu dari depan jendela. Perlahan Ariane bergerak menuju meja dan merapikan kertas-kertas yang kemarin malam membuat matanya penat ketika tiba-tiba pandangannya menangkap beberapa lembar kertas berlipat-lipat dengan warna-warni yang mecolok. Brosur. Brosur yang menawarkan type-type rumah di sebuah perumahan yang baru dibangun yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Hati Ariane sedikit terhibur. Teringat Fatma, teman baiknya dari perusahaan perumahan yang memberikan brosur-brosur itu beberapa bulan lalu ketika tidak sengaja mereka bertemu setelah Ariane menemui klien barunya. Sebuah rumah kecil dari hasil tabungan yang disisihkan dari gajinya sendiri adalah impiannya sejak dulu. Dan pertemuannya dengan Fatma telah membuatnya semakin bersemangat untuk mewujudkan tempat tinggal idamannya itu.
Ariane memperhatikan dan membaca dengan seksama semua informasi yang tertera. Uangnya tidak banyak, tetapi pasti cukuplah untuk digunakan sebagai down payment pembelian rumah itu. Pembayaran selanjutnya selama beberapa tahun ke depan akan disisihkannya lagi dari gajinya setiap bulan. Benar-benar bukan masalah. Selain itu, Mama juga sudah mengetahui rencananya dan tampaknya setuju. Hanya...
"Anne, apakah kau sudah bangun, Nak?" Suara Mama mengagetkannya.
Ariane menarik napas menahan perasaan hatinya begitu suara Mama terdengar dari bawah. Nak, kata itu yang selalu disematkan Mama di akhir kalimatnya setiap pagi ketika memastikan dia sudah bangun atau belum. Kata itu sudah didengarnya sejak dia bisa memahami setiap kalimat yang diucapkan oleh wanita yang telah melahirkannya hampir tiga puluh tahun yang lalu itu. Kata itu selalu menyentuh hatinya, membuatnya dirinya merasa nyaman, meski tak bisa dihindari sering membuatnya merasa seperti anak gadis yang tidak pernah menjadi dewasa.
"Anne, ayo turun! Sarapan sudah siap! Mama tidak mau kau pergi dengan perut yang belum terisi apa-apa."
Ariane memeriksa ponselnya begitu suara Mama terdengar dari bawah lagi. Bergegas disingkirkannya semua berkas ke dalam tas dan berjingkat-jingkat memasuki kamar mandi. Masih ada waktu lima belas menit untuk bersiap. Air dingin segera mengguyur rasa enggan yang sejak pagi memberati langkahnya. Wangi blouse putih yang terseterika rapi yang sedang dirapatkannya deretan kancingnya kembali membangkitkan semangat untuk bekerja. Dan ketika langkah-langkah kecil kakinya yang terbalut sepatu wedges putih itu menuruni tangga, Ariane yakin bisa melalui hari ini dengan sangat baik.
"Pasti ada yang kamu harus selesaikan semalam, ya," sambut Mama sambil tersenyum. Nada suara Mama meneduhkan dan sangat paham, namun juga selalu terdengar khawatir. Dan Ariane sangat paham tentang hal ini.
Ariane adalah anak semata wayang yang dilahirkan ketika usia Mama sudah tidak muda lagi. Sebuah perjuangan panjang setelah berbagai macam upaya dilakukan untuk mengetahui apa yang terjadi dengan ketidakberdayaanya itu. Sepuluh tahun menunggu dan berakhir dengan kebahagiaan yang tidak pernah tergantikan dengan apapun, meskipun ketika mendapatkan dia sebagai permata hati Mama harus bertaruh dengan usia. Mama telah berusia empat puluh ketika mendengar tangis bayi yang dilahirkannya. Untuk pertama dan terakhir kali karena Mama tidak pernah bisa melahirkan lagi sejak penyakit ganas itu merenggut rahimnya.
"Hmm, iya. Seperti biasa sih, Ma. Kemarin belum sempat selesaikan, jadi agak maksa kemarin malam. Mama tenang saja, Anne kan sudah biasa begadang di depan komputer," hibur Ariane mencoba menghentikan kekhawatiran yang terpancar dari mata perempuan yang rambutnya sudah tampak lebih banyak abu-abu daripada hitamnya itu. Mendadak Ariane menyadari bahwa usia Mama sudah hampir tujuh puluh tahun.
"Oh ya, Ma. Kemarin Anne ke rumah Alya. Tanaman mamanya banyak sekali! Hampir semua yang ada di kebun Mama, ada semua di sana," potong Ariane cepat-cepat ketika tampak Mama hendak melanjutkan pembicaraan. Bukan hal yang menyenangkan di pagi hari mengkhawatirkan Mama dengan kebiasaan lemburnya.
"Oya?" Mata Mama berbinar seketika.
Kata tanaman dan bunga adalah dua kata ajaib yang akan mengalihkan perhatian Mama dari banyak hal. Tanaman bagi Mama adalah hidupnya. Tangan Mama yang dingin dan hatinya yang sabar menyumbangkan sebagian besar kerindangan dan keindahan di tempat tinggal mereka. Ratusan tanaman dalam pot besar dan kecil yang tertata dengan teratur sesuai jenisnya, juga dedauanan yang rindang dan subur menunjukkan betapa terampil tangan-tangan yang telah merawatnya. Hampir tidak pernah ditemui bunga yang tak tumbuh ataupun daun-daun menguning yang mengering dan mati. Mama telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk semua itu.
"Kapan-kapan Anne ajak Mama ke rumahnya, ya," janji Ariane. "Mama pasti senang ketemu dan bicara-bicara dengan mamanya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Kaki Langit Senja
Rastgele"Apakah kita tidak punya kesempatan lagi untuk bersama?" Terngiang kembali ucapan Krisna dengan nada yang hampir tak bisa ditangkap telinga. Mata mereka berdua nanar, saling menatap. Terlintas lembaran-lembaran hari yang pernah mereka tulis bersama...