"Ariane, kau sudah bangun, Nak?"
Ariane membuka jendela menyambut hari dengan senyum cerah. Matahari yang baru muncul menghangatkan pagi yang semalam sangat dingin. Ariane baru saja selesai berpakaian dan siap turun untuk sarapan. Dan suara Mama sangat merdu terdengar di telinga membuat langkah-langkahnya tidak mau menunggu untuk bergerak. Suara Mama bukan hanya terdengar indah tapi juga sangat menyejukkan hatinya. Setelah berminggu-minggu rasa serba salah itu mengganggu waktunya, terurai sudah kini.
Sepanjang perjalanan mengantarnya pulang kemarin, Jay banyak sekali telah memberikan kekuatan pada dirinya, terutama ketika harus berhadapan dengan Mama. dan ketika malam harinya Ariane berusaha membicarakan hal itu sekali lagi, Mama sudah mulai memahami.
"Mama tahu kau sudah dewasa. Keputusan yang kauambil, pastilah bukan sesuatu yang gegabah. Mama sangat menghargai sikapmu." Begitu Mama mengakhiri rasa bersalah yang merundung Ariane. Dipeluknya Mama sangat erat dengan berlinangan air mata. Ya, Tuhan cukup sekali saja aku mengecewakan wanita yang telah melahirkan aku ini, batinnya.
Dan pagi ini Ariane begitu lega melihat senyum Mama kembali.
Diliriknya Papa yang berada di samping Mama sedang menikmati sarapannya. Ariane bertanya-tanya apakah Papa sudah tahu tentang dirinya dan Krisna. Ariane tidak tahu bahwa setelah dia menceritakan keputusan yang diambilnya dengan Krisna kepada Mama, Mama telah menceritakan semua persoalan ini kepada Papa.
"Mamamu sudah menceritakan semuanya." Papa tiba-tiba membuka percakapan seolah-olah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh putrinya.
Ariane memandang laki-laki yang mulai berubah warna rambutnya itu. Begitu selalu semua pembicaraan yang melibatkan Papa berawal. Ariane mengangguk. Jika dulu hatinya was-was dan siap dengan segala rasa kecewa, tapi tidak lagi kini. Dan memastikan kepada Papa tentang perpisahannya dengan Krisna akan lebih mudah daripada dengan Mama.
"Maafkan Anne sudah mengecewakan Papa," ucap Ariane. Dipandangnya mata Papa dengan tegar. Hati Ariane berdebar ketika Papa menatapnya balik. Baru sekali ini dalam hidupnya dia berani mengatakan sesuatu yang berbeda dengan Papa sambil menatap mata Papa lekat-lekat.
Orang tua itu menggelelngkan kepala.
"Seperti Mamamu, aku juga tidak bisa memahami apa yang sedang dipikirkan oleh kalian kaum muda. Mungkin kami terlalu egois. Seringkali yang kami pikirkan ketika kalian bersama adalah segera membangun keluarga. Kami melihat kalian berdua baik-baik saja. Krisna begitu baik di mata kami. Tapi ternyata kenyataan tidak seperti apa yang kami selama ini pikirkan." Papa berujar dengan tempo lambat.
Ariane mendesah. Dia tahu nada yang tersirat dalam suara laki-laki itu. Papa sangat kecewa dengan keputusannya. Seperti halnya Mama, pasti Papa juga berpendapat mengapa mereka tidak kembali membicarakan dengan baik-baik.
"Percayalah, Pa. Apa yang Anne lakukan bukanlah sesuatu yang tiba-tiba tanpa alasan." Ariane mencoba meyakinkan Papa. Dia tidak akan menceritakan sisi lain Krisna yang tidak akan dipercaya oleh orang tuanya. Biarlah Krisna bagi orang tuanya adalah Krisna menurut pandangan Papa dan Mama. Dia tidak ingin mempengaruhi apapun kepada mereka berdua.
Papa mengangguk.
"Papa tahu. Keputusan tentang hidup bersama siapa adalah hakmu. Tapi cobalah memahami juga perasaan kami." ucap Papa membuat hati Ariane merasa ciut. "Keinginan kami sangat sederhana."
Ariane menyentuh tangan Papa. Dipandangnya Mama dengan wajah kembali bersalah.
"Pa, biarkan sekali ini Anne menentukan sendiri. Berikan Anne kesempatan untuk membuktikan bahwa Anne bisa memutuskan hal paling penting dalam hidup Anne." Dengan hati-hati Ariane mengucapkan kalimat itu.
Mama memegang bahu Papa. Seperti biasa, Mama berusaha menenangkan suasana hati laki-laki yang sudah hidup bersamanya hampir setengah abad itu. Kemudian Mama beralih memandang ke arah Ariane. Dan kali ini Mama memberikan tatapan yang menguatkan, bukan tatapan tidak berdaya karena tidak mampu membela putrinya seperti biasa.
"Ariane mohon, Pa. Percayalah Ariane sekali ini saja." Suara Ariane terasa kering. Perempuan itu berusaha menyelesaikan kalimatnya dengan tekanan pada setiap kata agar Papa benar-benar dapat menerima apa yang disampaikannya.
Papa di seberang mejanya diam tanpa kata-kata. Yang didengar Ariane hanyalah napas berat yang ditarik dan dihembuskan perlahan oleh laki-laki yang sangat disayanginya itu. Tiba-tiba Ariane menyadari bahwa wajah Papa telah terlukis begitu banyak guratan. Dan guratan itu barangkali telah bertambah lebih banyak lagi karena permasalahan yang terjadi antara Krisna dan dirinya.
"Pa, sekali lagi maafkan Anne," ucap Ariane sangat lirih tanpa mampu lagi membendung air mata.
"Kapan orang tua tidak memaafkan anaknya?" Papa balik bertanya.
Air mata yang menitik di pipi putrinya telah melelehkan kekukuhan hati orang tua itu. Beberapa minggu terakhir setelah Mama menceritakan hal itu, sebenarnya Papa sudah berusaha menguatkan perasaan. Dan pagi ini, Papa harus merelakan semua harapannya.
Sejenak suasana menjadi hening di antara mereka bertiga. Hanya sejenak karena kemudian Papa menambahkan. "Bisakah kita mulai makan lagi?"
Ariane beranjak dari tempat duduknya dan memeluk Papa. Kemudian beralih menuju Mama. Ya, Tuhan bagaimana mungkin aku bisa mengecewakan orang-orang tercinta ini? Batinnya sambil menahan air mata yang masih hendak jatuh.
Kemudian suasana pagi menjadi normal kembali. Bertiga mereka berbincang tentang banyak hal, bahkan Ariane mulai membicarakan tentang pengunduran diri dari perusahaannya.
"Mamamu juga sudah menceritakan tentang hal itu." Papa berkomentar dengan nada sama sekali tidak kecewa. "Papa tahu, lembaga itu punya Jay, kan? Papa tidak pernah meragukan keluarga mereka. Ayah Jay, Pak Pranajaya sudah seperti saudara dengan Papa. Papa sangat percaya kepada mereka."
Ariane tersenyum. Hatinya sangat gembira pagi ini. Semua keresahan yang menggelayuti hatinya selama beberapa pekan telah mulai memudar. Papa sudah mulai memahami keadaan dirinya dan mulai memberikan kepercayaan padanya untuk menentukan sikap sendiri. Terutama tentang keputusannya bersama Krisna. Apalagi yang harus ditakutkan. Tidak ada.
"Pagi ini Anne ada satu kelas yang harus Anne ajar. Anne tidak mau terlambat." Ariane berujar sambil beranjak dari tempa duduknya.
Mama memandangnya dengan tatapan sayang. Mama sangat bahagia bisa melihat putri satu-satunya itu akhirnya dapat memilih jalannya sendiri tanpa ada kekangan lagi dari Papa yang selama ini sangat mengkhawatirkannya.
"Mama senang kau sangat bahagia bisa mengajar di tempat Jay," kata Mama sambil mengantar Ariane keluar. Ariane mengangguk. Diciumnya tangan Mama kemudian.
Diarakannya langkah menuju gerbang dan melihat mobil yang akan masuk ke dalam halaman rumah. Ketika kaca mobil diturunkan, Ariane melihat wajah seorang laki-laki hampir seumuran dirinya menyapa dan tersenyum ke arahnya.
"Apakah kita pernah jumpa, ya?" Ariane menyapa ketika laki-laki turun dari mobil. "Tapi, dimana?"
Laki-laki itu mengangguk. "Kita pernah bertemu di pernikahan putranya Pak Pras." Laki-laki itu menjawab tanpa melepas senyum sama sekali dari wajahnya.
"Oh ya benar." Ariane mendapat jawaban. Dia ingat Pak Pras adalah salah satu kolega Papa."Apakah kau akan menemui Papa?"
"Pak Handoyo, mengundang saya ke sini, Mbak."
Ariane mengerutkan kening tapi kemudian menyilakan laki-laki itu masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Kaki Langit Senja
Sonstiges"Apakah kita tidak punya kesempatan lagi untuk bersama?" Terngiang kembali ucapan Krisna dengan nada yang hampir tak bisa ditangkap telinga. Mata mereka berdua nanar, saling menatap. Terlintas lembaran-lembaran hari yang pernah mereka tulis bersama...