Bab 13

2 0 0
                                    


"Jay?!" seru Ariane tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya.

Mengenakan kemeja putih bergaris merah biru dan celana jeans Jay tegap berdiri di hadapan Ariane. Sementara Ariane memandangnya dengan rasa tidak percaya, Jay menatap Ariane dengan mata berbinar bahagia. Setelah bertahun-tahun berpisah dan hanya berkomunikasi di ponsel, yang juga tidak sering, akhirnya bisa ditemuinya juga sahabatnya itu.

Meskipun sudah menjadi perempuan dewasa, di mata Jay, Ariane belum berubah. Ariane, gadis bertubuh mungil dengan kulit putih pucat dan rambut panjang bergelombang itu, baginya masih saja gadis rapuh yang selalu ingin dilidunginya. Jay banyak tahu tentang hubungan Krisna dan Ariane dari cerita teman-teman SMAnya. Perasaan peduli Jay kepadanya masih belum berubah. Dan setelah bertahun-tahun tidak pernah dilihatnya, ingin rasanya Jay memeluknya. Tapi Ariane mengulurkan tangannya terlebih dahulu, menjabat tangan laki-laki itu.

"Ya, ampun Jay, kau membuat aku sangat terkejut!" seru Ariane. Tak sanggup menyembunyikan perasaannya, air mata Ariane berlinangan. Bukan hanya itu, diam-diam ada yang menghangat dalam hatinya, sesuatu yang menentramkan.

"Aku sengaja membuatmu terkejut," jawab Jay tersenyum sambil mengedipkan matanya. Digenggamnya tangan Ariane erat sekali, seolah-olah ada sesuatu yang tidak ingin dilepaskannya.

Ariane tertawa. Ditariknya tangan Jay yang masih dalam genggamannya, mengajak masuk ke dalam untuk ditunjukkan kepada orang tuanya.

"Ma, Pa, coba lihat siapa yang datang!" seru Ariane.

Kedua orang tuanya gembira melihat Jay berkunjung. Dulu, mereka bertetangga. Rumah Jay berseberangan dengan rumah Ariane. Jay berasal dari keluarga besar dan dia anak bungsu dari enam bersaudara. Keluarga Jay menempati rumah itu sejak Jay kecil. Rumah besar itu dijual ketika Ayah Jay meninggal. Ibunya menghendaki tinggal di rumah yang lebih kecil karena tidak mau menghabiskan waktu sendiri di rumah sebesar itu. Kakak-kakak Jay sudah berkeluarga dan Jay sekolah di luar.

"Jay, bikin minum sendiri, ya? Dapur masih ada di sana," kata Mama serius.

Jay tertawa. Ariane menutup mulutnya dengan kedua tangan tak bisa menahan senyum. Dulu sekali ketika masih kanak-kanak, teman-teman kecil Ariane yang datang diundang Mama selalu senang berada di sini. Mama selalu menyediakan makanan dan kue-kue enak. Mereka bisa minum minuman botol yang di sediakan. Dan boleh memilih sendiri dari dalam kulkas.

Dari kecil Jay tahu orang tua Ariane selalu ketat melindungi anak perempuan satu-satunya itu. Ketika mereka remaja dan teman-teman kecil mulai berpisah, hanya Jay satu-satunya yang masih setia. Jay masih datang ke rumah, tetapi bersama-sama sahabat-sahabat SMAnya karena Ariane dan Jay bersekolah dan berada di kelas yang sama. Satu dua kali mereka diijinkan mengajak Ariane pergi tetapi dengan aturan yang tidak boleh dilanggar.

"Kau masih ingat ketika kau berdiri saja di depan pintu? Kau menjemputku ke perpisahan kelas di rumah Arya?" Ariane kembali mengenang. "Maafkan Papa, ya."

Jay tersenyum. Mengingat kejadian itu hari ini kadang membuatnya sedih tapi dia sangat memahami sikap yang ditunjukkan Papa Ariane untuk tidak mengijinkan putrinya pergi.

"Apa yang harus dimaafkan. Jika aku jadi Papa dan kau satu-satunya anakku, aku juga pasti berpikir dua kali mengijinkanmu pergi dengan teman-teman yang penampilannya pun tak jelas begitu," jawab Jay.

Ariane tertawa membayangkan teman-teman SMAnya jaman dahulu. Penampilan mereka jauh berbeda dengan penampilan sekarang. Arya berambut acak-acakan dan tak pernah rapi. Fania yang tomboy dan selalu bicara dengan suara keras. Jaspina yang ketika di luar selalu menunjukkan rambutnya yang dicat.

"Aku kena imbas mereka. Tak dipercaya juga oleh Papa," sambung Jay dengan senyum kecut.

Ariane tertawa lepas. Geli dengan kelakar Jay tentang sahabat-sahabat mereka. Kebersamaan itu akan menjadi momen terbaik dan tidak akan pernah tergantikan. Seandainya boleh memilih, mau rasanya tidak pernah menjadi dewasa. Ariane memang tidak pernah mendapat kebebasan seperti teman-temannya, tapi setidaknya dia bersama mereka ketika hatinya nelangsa.

Jay memandang Ariane yang tak henti-hentinya tertawa ketika mereka mengenang semua kejadian seru dan sedih yang pernah mereka lalui. Belum pernah rasanya melihat Ariane sebahagia itu dan hal itu membuat hatinya terasa lapang. Seandainya dia bisa membuat wajah itu selalu berbunga-bunga...

Jay teringat wajah Ariane yang memandangnya dengan tatapan sangat kecewa ketika Papa tidak memberikan ijin pergi. Hati Jay seolah tenggelam di laut dalam. Hatinya juga kecewa. Ada sesuatu yang dibawanya untuk tanda mata sebelum dia pergi melanjutkan studi ke negara tetangga, yang akan diberikannya pada malam perpisahan itu. Dan yang dibawanya bukan hanya tanda mata biasa. Ada terselip rasa yang akan dia katakan. Jay akan meminta Ariane untuk menunggunya. Tapi kenang-kenangan yang sudah disiapkan itu tidak pernah sampai kepada Ariane, pun perasaannya. Waktu tidak pernah memihaknya. Saat dia pulang karena Ayahnya meninggal, dia sudah mendapati Krisna yang menemani hari-hari Ariane. Dan cindera mata yang menjadi penghuni lemari Jay di rumah Ibunya itu hingga kini menjadi saksi bisu perasaannya, tanpa Ariane pernah tahu.

"Jadi, kabar apa yang kaubawa, Jay? Anak-anak itu curang, mereka sudah tahu kau akan pulang." kata Ariane, sambil menunjukkan ponselnya. Baru saja diteima pesan dari Fania dan menyusul Jaspina yang menanyakan apakah Jay sudah sampai di rumahnya.

Jay tertawa kecil. Dia sengaja sengaja hanya mengabarkan kepulangannya pada sahabat-sahabat sekolahnya kecuali Ariane. Jay tidak bermaksud melankolis, hanya ingin memberikan kejutan kecil.

"Aku menjemput Ibu. Wisudaku dua minggu lagi. Lumayanlah aku bisa jalan-jalan bersama kalian sambil memeriksa apakah semua persiapan sudah berjalan lancar. Aku melihat peluang usaha, mendirikan sekolah kecil." Jay menjelaskan kepulangannya.

Mata Ariane membelalak. "Sekolah? Kau mendirikan sekolah? Ayolah, aku yang menjadi pelamar pertama di sana! Kau selalu curang, tidak pernah menceritakan apapun padaku selama ini," protesnya.

"Aku takut kau tidak punya waktu untuk mendengarkan. Pekerjaanmu padat sekali kan?" kata Jay setengah bercanda. Kabar-kabar yang didengar dari teman-temannya, Ariane hendak dipromosikan di perusahaannya karena prestasinya yang cemerlang.

Kali ini Ariane tidak tertawa. Wajah cantik yang seringkali tersembunyi di balik kemurungan itu mengerjapkan mata. Mendengar kata pekerjaan sungguh telah membuatnya enggan.

"Ayolah, Jay, apakah aku bisa melamar di sana?" tanyanya dengan penuh harap.

Jay menarik napas. Memandang Ariane dengan perasaan sayang yang tidak dapat disembunyikan dari matanya. Jay tahu benar menjadi guru adalah cita-cita Ariane. Dan dia ikut sedih ketika impian yang hampir diraihnya itu harus disimpannya kembali karena Papa tidak memperbolehkannya masuk ke universitas yang telah dia pilih.

"Apakah aku bisa menolak?" jawab Jay balik bertanya.

Wajah Ariane berbinar-binar. Hatinya yang gamang berubah penuh suka cita. Jay dari kecil hingga kini tidak pernah gagal menampilkan diri sebagai sahabat sejati. Dia selalu ada ketika Ariane tidak berdaya.

"Terima kasih," ujarnya sambil kembali menggenggam jemari Jay kuat-kuat. Hatinya berdesir merasakan semangat lain yang timbul tiba-tiba. Dia terheran-heran sendiri dengan perbedaan yang dialaminya. Gundah yang berhari-hari mencengkeramnya mengaus sudah.

*** 

Di Kaki Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang