Ariane turun dari motornya dengan perasaan lega. Setelah melewati jalanan lurus yang rasanya hampir tidak terputus itu akhirnya tibalah dia di tempat yang sudah dibagikan alamatnya oleh Jay. Ya, agak melelahkan karena Google Map telah mengarahkannya pada rute normal tanpa jalan pintas. Tapi tak apa, perjalanan tadi adalah uji nyali untuk pergi sendiri pertama kali.
Sambil menuntun motor hendak memasuki gerbang, mata Ariane menyapu sekelilingnya. Lembaga pendidikan yang sedang dirintis Jay ini berada di sebuah perumahan dengan suasana yang kondusif. Jalan masuk ke tempat ini lumayan jauh dari jalan utama sehingga siswa mereka bisa belajar tanpa hiruk pikuk yang akan mengganggu konsentrasi. Di sekelilingnya adalah rumah-rumah tetangga dengan jarak cukup jauh, yang antar bangunan dibatasi oleh halaman luas bahkan tembok tinggi, sehingga mereka pasti tidak tahu jika terjadi kegaduhan dalam ruang-ruang kelas mulai pagi sampai sore hari. Jalanan di sepanjang perumahan juga bersih diapit taman-taman kecil berumput hijau dengan tanaman perdu terawat dan terpangkas rapi di kanan kiri. Bahkan di satu dua rumah tampak beberapa jarak yang tumbuh menjulang menaungi halaman belakang rumah. Ariane mengangkat alis, bisa membayangkan berapa besar investasi Jay untuk usaha yang sedang dibangunnya di lokasi seperti ini.
Dan benar apa yang baru saja dipikirkannya. Begitu memasuki gerbang, Ariane bukan hanya disambut oleh petugas keamanan yang menyilakannya parkir dan menunggu, tapi juga oleh tatanan halaman yang sangat rapi. Di bagian kanan adalah tempat tempat parkir yang terbagi untuk mobil dan kendaraan roda dua. Jika melihat tanda yang terpasang di sana, mereka membagi antara tempat parkir tamu dan pegawainya. Bersebelahan dengan tempat parkir adalah dua pasang toilet dengan tanda ladies dan gents. Dari lantai batu yang terpasang di depan pintu, Ariane sudah bisa membayangkan bagian dalam kamar mandi berkeramik yang pasti tanpa lumut. Bersih, kata Ariane dalam hati setelah mencuci tangan di wastafel yang disediakan juga di dalamnya. Wangi aroma terapi pembersih lantai yang masih mengambang di udara membuatnya nyaman. Seringkali kamar mandi memberikan kesan pertama karakter pemiliknya. Sambil melangkah keluar dengan penuh semangat dia berharap akan menemukan bagian-bagian yang jauh lebih baik lagi di tempat kerja barunya itu.
Ariane menghela napas tak kuasa menahan rasa yang menggelorakan hatinya. Keputusan yang telah diambilnya untuk mulai mengajar di tempat nyaman ini murni nuraninya dan yang pasti impiannya. Sebesar apapun resiko yang akan ditanggung ketika Papa atau pun Krisna mengetahuinya nanti, dia sudah bersiap menghadapi. Terlalu lama hidupnya terpenjara, terkungkung oleh kemauan orang-orang yang ingin melindunginya. Cara mereka melindungiku telah menghancurkan cita-cita dan hidupku, batin perempuan berambut panjang berombak itu dengan pedih hingga tanpa sadar air matanya meleleh. . Ya, Tuhan, jika aku bisa memutuskan untuk berhenti dari karir bagusku di perusahaan besar itu, kupastikan aku bisa berdiri di atas kakiku dan memulai hidup baruku sendiri.
"Anne!" Suara seseorang mendadak menghentikan langkah dan juga memutus lamunannya barusan. Segera Ariane menghapus air mata yang masih menggantung di sudut –sudut mata. Tubuhnya berbalik mencari sumber suara dan menemukan senyum lebar Jay menyambutnya.
Dari Pak Eko, Satpam yang jaga hari ini, Jay mendapat informasi bahwa tamu yang sedang ditunggunya telah datang. Maka tanpa menunggu sahabat kecilnya itu memasuki kantor, dia memberikan kejutan dengan menyambutnya terlebih dahulu.
Ketika mendekat, dijabatnya tangan Ariane erat sekali seolah hari itu mereka baru bertemu pertama kali. Padahal sebulan yang lalu, ketika menjemput Ibu untuk menghadiri wisuda S2nya, Jay baru saja berkunjung ke rumah Ariane dan menceritakan usaha yang sedang dibangunnya itu, tetapi rasanya sudah lama sekali.
Bergegas digandengnya perempuan itu menyusuri taman. Berusaha mengimbangi langkah-langkah Jay yang lebar, Ariane dengan langkah-langkah kecil dan tubuh mungilnya tampak terseret-seret di samping laki-laki berbadan tegap itu, sambil matanya tak lepas memandang. aneka macam tanaman di kanan kirinya. Sekilas Ariane melihat peperomia dan hipotes yang mengingatkannya pada tanaman Mama di rumah. Mendadak hatinya membiru. Bukan hanya teringat pada tanaman Mama, tapi pasti pada sosok yang paling dicintainya itu.
Tiba-Tiba ada perasaan bersalah menderanya. Dia belum menceritakan apapun tentang pengunduran diri dari kantor dan memilih mejadi pengajar di sekolah yang sedang dibangun Jay. Jikapun beberapa hari ini dia masih tampak pergi ke kantor, itu karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan terkait pengundurandirinya. Ah, semoga semua baik-baik saja, harapnya dalam hati.
"Apa kabarmu? Tidak sulit menemukan tempatku, kan?" Jay mulai membuka percakapan dan menguapkan lamunannya. "Kaulihat, inilah usaha yang sedang kubangun. Ah, sebentar lagi, akan kaulihat kelas-kelas yang sudah kutata sedemikian rupa agar murid-murid merasa nyaman. Kau tahu? Aku meminta salah seorang teman arsitekku untuk mendesain secara khusus tempat ini."
Bertubi-tubi kalimat Jay menghambur dari bibirnya yang tak pernah lepas dari senyum itu hingga Ariane belum sempat menjawab bahkan menerangkan bagaimana perjalanannya sampai di tempat ini. Jay terus bicara menjelaskan ruang demi ruang yang telah direncanakannya ketika mereka mulai memasuki bangunan yang megah itu.
Ruang resepsionis, kantor kepala, perpustakaan, dan tentu saja ruang-ruang kelas. Semua ditata dengan sangat hati-hati dirancang untuk siswa agar mereka menikmati pembelajaran yang disampaikan para pengajar. Ariane mendengarkan penjelasan Jay dengan seksama,sambil sesekali mengangguk dan tersenyum kepada beberapa pegawai yang sudah beberapa lama bekerja, sama sekali tidak heran dia bisa merencanakan tempat ini begitu baik dan detil. Jay sangat mencintai ilmu pengetahuan. Belajar adalah hidupnya.
"Dan ini kelasmu," kata Jay sambil membuka ruang kelas paling ujung yang mereka lihat dan mengakhiri turnya.
Ruang kelas yang berwarna-warni itu membuat mata Ariane terbelalak. Jelas, kelas itu dirancang bukan untuk kelas remaja atau dewasa.
"Jay?" katanya sambil memandang laki-laki itu. "Kau tahu aku selalu ingin berdekatan dengan anak-anak. Dan pilihanmu untuk menempatkan aku di kelas ini..."
"Hei, berapa lama kita bersahabat? Kau lupa?" potong Jay cepat-cepat. Sejurus Ariane menatap Jay dengan mata berkaca-kaca. Ingin sekali dipeluknya Jay mengatakan ungkapan hatinya yang tak terhingga haru dan bahagia. Tapi yang hanya bisa dilakukannya hanya menatap Jay lama sekali.
"Anne aku gembira sekali kau bisa mengajar di sini!" lanjutnya dengan menekankan kalimat terakhir. Nadanya pasti, tanpa jeda dan sangat tulus.
Ariane tak dapat menahan air matanya. Terbayang sudah keriuhan kelas yang akan diajarnya. Ya Tuhan, itu kebahagiaan yang selalu kuinginkan, katanya pada diri sendiri. Ayolah, Ariane, Anne, kau bisa mulai perjalanan baru ini. Kau kuat untuk meninggalkan orang-orang dekat yang selalu mengatur hidupmu. Buktikan bahwa kau sanggup hidup tanpa bayangan mereka. Impianmu sudah di depan mata.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Kaki Langit Senja
Acak"Apakah kita tidak punya kesempatan lagi untuk bersama?" Terngiang kembali ucapan Krisna dengan nada yang hampir tak bisa ditangkap telinga. Mata mereka berdua nanar, saling menatap. Terlintas lembaran-lembaran hari yang pernah mereka tulis bersama...