Bab 9

4 0 0
                                    


Ariane memandang kado untuk Fania sekali lagi. Satu set bed cover yang dibungkusnya dengan kertas kado gambar hati dan berpita merah muda. Alas tempat tidur itu dipesannya khusus beberapa waktu lalu begitu didengarnya kabar bahwa Fania akan menikah. Pasti Fania akan sangat senang jika dia sendiri yang datang membawa untuknya. Ya, tapi apa yang bisa dia perbuat. Kado itu akan dia paketkan saja. Keputusan yang belum diambilnya kemarin terjawab ketika Krisna meneleponnya dan mengatakan bahwa dia baru akan dalam perjalanan pulang pada hari Minggu. Tidak mungkin datang tanpa Krisna.

"Benar kau tidak akan datang ke pernikahan Fania besok?" Mama mencoba memastikan sambil memegang kado yang sudah siap dibawa Arian ke kantor jasa kurir terdekat.

"Iya, Ma." Ariane menjawab dengan nada berat. "Krisna baru bisa pulang Minggu sore. Anne paketkan saja kadonya dulu, mungkin kalau nanti Krisna sudah senggang, kami berdua akan mengunjungi Fania sendiri."

Mama memandang Anne dengan pandangan lembutnya yang selalu menyejukkan. Perempuan kesayangan itu tahu Ariane selalu menjaga hubungannya dengan Krisna terutama sejak keluarga mereka jatuh. Bukan hanya menjaga hubungannya tetapi menjaga perasaan laki-laki yang diharapkannya nanti menjadi pendamping anak perempuan satu-satunya itu.

Di mata Mama, Krisna baik dan bertanggung jawab. Meskipun seyumnya tidak terlalu banyak dan ekspresinya seringkali datar, Krisna memiliki wajah yang tampan. Papa juga punya pendapat yang sama. Terhadap mereka berdua Krisna sangat hormat dan santun. Apalagi Papa punya kesenangan yang sama seperti Krisna, suka bermain catur. Krisna sangat perhatian terhadap mereka dan dianggap seperti orang tua sendiri. Sangat beralasan. Krisna memenangkan hati kedua orang tua yang hanya memiliki anak perepuaan semata wayang. Sementara Krisna sangat nyaman bersama mereka seolah menemukan orang tuanya yang lebih dahulu meninggalkannya. Tentang pekerjaan yang belum menentu, kedua orang tua itu tidak mempermasalahkan. Krisna berasal dari keluarga pekerja keras, mereka yakin Krisna mewarisi darah orang tuanya.

"Siapa lagi nanti yang akan menyusul Fania? Jaspina atau Anne?" celetuk Mama bercanda tetapi dengan harapan Ariane akan menanggapinya dengan serius.

Ariane terkesiap. Dia menangkap apa yang diinginkan Mama. Tepat sekali seperti dugaannya beberap waktu terakhir ini.

"Nanti Anne tanyakan pada Krisna kapan dia akan datang melamar," jawabnya sambil lalu dengan tersenyum. Ariane menutupi hatinya yang mendadak galau jika teringat sikap Krisna yang membuatnya tidak nyaman. "Atau Mama yang akan melamarnya duluan?"

Mama mengangkat alis pura-pura marah sambil menjewer telinga Ariane. Mama tahu Ariane menggodanya.

"Ah, sudah, sudah. Cepat kaukirim kado itu. Keburu hujan, kadomu tidak sampai ke tempat Fania." Akhirnya Mama beranjak mengakhiri percakapan mereka. Ariane merangkul Mama dengan penuh sayang sebelum wanita itu bergerak meninggalkannya.

Beberapa lama masih ditatapnya langkah Mama dari tempatnya beridri ketika tiba-tiba didengarnya bel pintu depan berbunyi. Mama yang sedang mengambil sesuatu dari ruang tamu didengarnya sedang membuka pintu dan berseru dengan nada terkejut. Ariane bergegas menuju ke sana ingin tahu. Dan dia benar-benar terkejut ketika Jaspina sudah beridiri di sana.

"Oh, my!" seru Ariane terperangah. "Kau tidak bilang-bilang akan datang!"

Jaspina tertawa dan menghambur ke arah Ariane setelah mencium tangan Mama. Dipeluknya sahabat SMAnya itu erat-erat. Sama halnya dengan Fania, selama ini mereka tidak pernnah sempat untuk bertemu di dunia nyata. Komunikasi mereka hanya melalui ponsel saja.

"Kupikir kau bercanda saja kemarin," kata Ariane sambil membantunya membawa suitcase kecilnya ke atas. Ada kamar tamu di depan kamar Ariane yang selalu siap ditempati dan Jaspina akan tidur di sana malam ini.

Jaspina tertawa renyah. Rambutnya yang diwarna blonde ikut bergoyang ketika digeleng-gelengkannya kepala. "No, no, no. Aku mau memberi kejutan untukmu," jawabnya.

"Dan aku benar-benar terkejut!" Ariane ganti menggelengkan kepala.

Mendapatkan kunjungan yang tak disangka-sangka ini sungguh menggembirakan Ariane sekaligus membingungkannya. Jelas, kedatangan Jaspina dari luar kota tak lain bertujuan utama untuk menjemputnya ke pernikahan Fania. Begitu Ariane mengatakan bahwa Krisna belum bisa pulang, Jaspina tanpa mengabarinya terlebih dahulu langsung berkemas setelah pulang dari kantor.

Dan sekarang rumah yang biasanya sepi karena hanya Ariane bertiga dengan orang tuanya yang tinggal, menjadi riuh dengan obrolan mereka sepanjang malam. Mama sesekali menengok ke atas. Mengajak mereka turun untuk makan malam, kemudian membuatkan teh panas dan membawakan cemilan. Seperti ketika kecil dulu, Mama selalu gembira ketika Ariane mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dan Jaspina maupun Fania bukan orang asing lagi. Mereka adalah sahabat-sahabat Ariane yang paling sering menginap di rumah mereka.

"Jadi, untuk apa aku datang kalau kau tak mau ikut ke sana?" ujar Jaspina setengah berteriak. Setelah berbagai macam topik mereka bahas, akhirnya mereka membicarakan tujuan utama kedatangan Jaspina. Ariane menceritakan tentag kejadian ketika dia pergi tanpa sepengetahuan Krisna, yang membuat laki-laki itu membuat keputusan yang sebenarnya sama sekali tidak membuat Ariane senang. Jaspina kesal dan hampir menyerah dengan sikap Ariane yang bersikeras akan menunggu Krisna pulang.

"Aku sudah mengiyakan perjanjian itu." Ariane menjawab dengan nada datar.

"Perjanjian yang dia buat sendiri?" sergah Jaspina. Gemas juga dia dengan sikap sahabatnya menghadapi Krisna yang jelas sangat egois. "Jika kau sebenarnya tidak nyaman dengan keputusan itu, kenapa kau menerimanya?"

"Kau tidak pernah mengenal Krisna begitu lama seperti diriku. Semakin aku bersikeras dengan alasanku sendiri, semakin keras juga hatinya. Aku hanya ingin menghindari pertengkaran." Ariane mencoba menjelaskan.

"Hubungan macam itu? Kenapa hubunganmu hanya untuk menghindari pertengkaran? Kau harusnya punya prinsip sendiri yang harus juga dia dengarkan. Bukan hanya prinsipnya yang memaksamu untuk menuruti kemauannya!" Dengan wajah bersungut-sungut dilanjutkannya mendebat Ariane. Sungguh dia tidak tahan setiap kali mendengar cerita Ariane di telpon bercerita tentang perubahan sikap Krisna kepada sahabatnya itu.

Ariane memandang Jaspina. Sahabatnya ini paling paham tentang hubungan Krisna dengan dirinya.

"Ayolah, berikan waktu untuk dirimu sendiri. Refleksilah dengan hubungan kalian. Aku tau kau tidak sedang baik-baik saja." Jaspina berujar lagi dengan nada yang mulai meredah kali ini.

Tatapan Ariane kepadanya yang selalu mengatakan bahwa Krisna sebenarnya telah menjadi labil karena perubahan dalam hidupnya membuat Jaspina membuang pandangan ke arah langit malam yang gelap gulita.

"Kenapa hal itu selalu menjadi alasanmu untuk selalu membenarkan semua sikap Krisna. Ayolah, Anne. Kau muda dan bebas. Krisna boleh saja selama ini menjadi bagian hidupmu. Tapi cobalah untuk mulai memikirkan dirimu sendiri. Berbahagialah dengan hidup yang kaumiliki. Menghadiri pernikahan Fania sama sekali bukan dosa besar, bahkan meskipun kau tidak mengatakannya pada Krisna." Panjang lebar Jaspina berusaha tetap meyakinkan Ariane. "Ayola, please. Aku tidak sedang mempengaruhimu hal yang buruk. Tapi cobalah pikirkan lagi."

Ariane ganti membuang pandangannya ke arah langit yang gulita. Hanya ada cahaya malam. Dan satu bintang.

***

Di Kaki Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang