Bagian 5

4.1K 400 141
                                    

Apa yang bisa diharapkan dari Senin pagi? Tidak ada. Tentu saja isinya hanya kekacauan. Apalagi bagi Zian yang benar-benar sulit bangun pagi, padahal jadwalnya sejak masuk kuliah selalu sama. Hari Senin dengan jam kuliah pagi.

“Mama, kan, udah bilang berkali-kali. Jangan main game sampe tengah malem. Paginya pasti males bangun, kan?” omel Mama.

Mama sedang menyiapkan roti selai cokelat untuk menjadi bekal Zian, karena sekarang sudah pukul tujuh dan putra bungsunya itu tidak akan sempat untuk sarapan di rumah.

“Iya, Ma. Tadi malem juga nggak main game, kok. Cuma ngedit-ngedit foto aja,” balas Zian, sementara tangannya masih sibuk memakai sepatu.

“Itu sama aja, dong, Dek. Adek, kan, susah bangun pagi, jadi tidurnya jangan kemaleman. Udah kuliah, loh, sekarang, masa masih kayak gitu aja. Harus bisa ngatur waktu.” Mama masih melanjutkan aksi mengomelnya, sementara Zian hanya menundukkan kepala.

“Iya, Ma. Maaf," cicitnya.

“Maaf doang, tapi masih dilakuin terus. Yang Mama butuh itu perubahannya, Dek. Ya udah buruan jalan, Kakak udah nunggu di mobil.”

Zian mengangguk. Ia mengambil bekalnya dan mencium tangan Mama, kemudian segera menuju mobil setelah pamit dan mengucapkan salam.

“Lama banget, sih, Na,” protes Zidan setelah Zian masuk ke mobil.

Zian tidak menjawab. Malas sekali jika harus mendengar Zidan mengomel juga. Sudah cukup ia diomeli oleh Mama tadi. Jadi, ia memilih diam saja, Zidan juga tidak akan melanjutkan jika ia tidak menanggapi.

Zidan mulai melajukan mobil menuju kampus. Perjalanan hanya diisi oleh keheningan. Keduanya malas membuka obrolan, bahkan Zian belum berniat memakan bekal sarapan yang ia bawa.
 

***

 
Sebenarnya Zian dan ketiga kakak kembarnya memiliki kemampuan akademik yang sangat baik. Mereka temasuk cerdas, hanya saja sifat malas mereka yang menjadi masalahnya. Bisa dikatakan, dari keempatnya hanya Biru yang berada di tahap normal--malas dan rajinnya masih seimbang. Sementara ketiga adik kembarnya lebih dominan malasnya, terutama Zian.

Zian pernah berkata bahwa masuk Fakultas Kedokteran itu bukan keinginnanya. Namun, karena saat itu ia belum memiliki tujuan untuk kuliah di jurusan apa hingga secara acak memilih dan ternyata lulus. Sehingga saat ini Zian menjalani kuliahnya tidak sepenuh hati, bahkan sering bolos kelas dan tidak mengumpulkan tugas tepat waktu.

“Selesai jam tiga, kan, Na?” tanya Zidan setelah mobil berhenti di area parkir kampus.

“Iya. Lo juga, kan?” balas Zian.

“Iya, gue juga.” Zidan memjawab seraya melepas seatbelt dan keluar dari mobil. Begitupun dengan Zian.

Keduanya berjalan keluar dari area parkir dan berpisah karena gedung fakultas yang berbeda arah.

“Na!” seru seseorang dari arah belakang, sesaat setelah Zian melangkah memasuki gedung fakultasnya.

Zian menghentikan langkahnya dan menunggu sang pemanggil tadi tiba di sampingnya. Ia tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa orang tersebut, karena dari suaranya pun tentu Zian sudah hafal. Zian juga hanya memiliki satu teman yang benar-benar dekat dan biasa memanggilnya dengan ‘Nana’ bukan Zian, yaitu Bagas Adiwiguna.

“Tadi gue nggak lihat motor lo. Parkir di mana, atau bawa mobil?” tanya Bagas setelah tiba di samping Zian seraya merangkulkan tangannya pada bahu sang teman.

Zian belum menjawab sampai mereka melanjutkan langkah menuju kelas pertama hari ini.

“Nggak bawa motor. Tadi bareng Zidan pake mobil,” jawab Zian setelahnya.

We are Us | NCT Dream 00L [Re-Pub]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang