Bagian 28

3.1K 261 67
                                    

Sudah dua jam berlalu sejak Biru dan Vier pamit untuk pulang. Sekarang Zian mulai merasa bosan karena menunggu di sini sendirian, ditambah matanya yang terasa cukup berat karena mengantuk. Zian memang seperti itu saat hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun.

Zian ingin melanjutkan bermain ponsel, tetapi urung setelah mengingat kalau ponsel yang dipegangnya sekarang adalah milik Vier. Sebelumnya, ia sempat bermain game, tetapi karena bukan maniak game seperti Vier atau Zidan akhirnya ia selalu kalah dan memutuskan untuk berhenti bermain.

Zian juga sempat berpikir untuk keluar dari ruang rawat ini untuk sekadar mencari udara segar, tetapi urung juga. Ia takut Zidan siuman saat dirinya tidak ada di sini. Berakhir Zian hanya duduk pada kursi di samping ranjang Zidan dengan tangan memainkan selimut yang menutupi tubuh sang kakak sampai sebatas dada.

"Dan, kapan bangunnya, sih? Gue bosen dari tadi sendirian," monolog Zian dengan suara pelan.

Namun, siapa sangka, kalimat yang diucapkannya tadi seolah sampai pada alam bawah sadar Zidan, karena setelahnya terdengar lenguhan kecil disusul kelopak mata yang sudah cukup lama terpejam itu terbuka secara perlahan.

Sejak lenguhan tadi terdengar, Zian sudah mengalihkan fokusnya pada wajah Zidan. Sehingga saat kelopak mata itu mulai terbuka, ia sudah menyambutnya dengan senyuman yang mengembang. Lalu tangannya menekan tombol pemanggil perawat.

Beberapa saat kemudian, seorang dokter bersama dua perawat masuk ke ruang rawat tersebut. Lalu segera melakukan pemeriksaan dan memberi beberapa pertanyaan pada Zidan barangkali ada keluhan yang dirasakan.

Setelah selesai, dokter tersebut beralih pada Zian yang sejak tadi tetap berada di dalam ruangan, namun berdiri cukup jauh untuk memberi ruang pada dokter dan perawat tersebut. Dokter tersebut menyampaikan bahwa keadaan Zidan sudah baik-baik saja, hanya butuh istirahat yang cukup untuk pemulihan lukanya. Tidak lupa, dokter tersebut mengingatkan jika ada keluhan lain dari Zidan untuk segera memberi tahu pada beliau.

"Na, yang lain di mana?" tanya Zidan setelah sang adik kembali duduk di tempatnya semula.

"Pulang buat ambil keperluan kita di sini," jawab Zian apa adanya.

Zidan mengangguk kecil, lalu melihat jam dinding yang berada di sisi kanan tepat di atas sofa. Lalu menyadari bahwa cukup lama ia tak sadarkan diri.

"Semalem gimana? Vier tetep pergi?" tanya Zidan lagi.

"Ya enggak, lah. Pertanyaan lo ada-ada aja, ya. Lo pikir Abang nggak punya hati? Bahkan yang gendong lo sampe ke mobil, itu Abang. Oh, satu lagi. Abang juga yang donorin darah buat lo semalem," jelas Zian.

"Ya maaf, Na. Gue, kan, cuma nanya. Emang keadaan gue semalem parah, ya?" ucapnya lagi.

"Lumayan. Kata dokter lo sempet kritis soalnya pendarahannya susah berhenti."

Keduanya kembali terdiam. Sebenarnya ada hal yang ingin Zidan tanyakan, tetapi masih ragu dan belum siap mendengar jawabannya. Sampai suara Zian kembali terdengar.

"Yang Abang bilang semalem sebelum lo jatuh nggak usah dipikirin, Dan. Gue yakin kalau Abang sama sekali nggak nyesel udah mukulin Leo buat lo. Abang cuma lagi emosi aja sampai bilang gitu. Pokoknya nggak usah mikir yang macem-macem."

Zidan masih terdiam dengan raut wajah yang murung. Ucapan Zian tadi memberikan jawaban atas pertanyaan yang belum ia lontarkan. Sungguh, ia merasa bersalah. Yang bermasalah dengan Leo adalah dirinya, tetapi Vier yang terkena imbas karena membalas Leo untuknya. Ia harus meminta maaf pada Vier sekaligus berterima kasih karena sudah mendonorkan darah untuknya.

"Na, sekarang Vier di mana?" tanya Zidan.

"Di rumah, lah. Kan, tadi gue udah bilang lagi ambil keperluan kita," balas Zian sedikit emosi. Zidan ini kenapa mengulang pertanyaan yang sama, sih?

We are Us | NCT Dream 00L [Re-Pub]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang