Bibi Candeni

2.5K 375 58
                                    

Tangan Yibo perlahan melepas ranting dari bagian atas hingga bawah, masih dengan tubuh ramping Xiao Zhan dalam dekapannya. Turun dengan kedua kaki menyentuh tanah, tanpa adanya bunyi 'kedebug'.

Udara malam sangatlah dingin, terutama di dalam hutan yang dipenuhi pepohonan besar. Yibo sama sekali tak terusik dengan angin kencang yang menerpa tubuhnya, berbeda jauh dengan Xiao Zhan yang sudah menggigil kedinginan.

Melihat bagaimana reaksi Zhan diterpa angin. Yibo, si manusia hutan yang tidak tahu belajar dari mana untuk membaca ekspresi manusia. Mengerti jika Xiao Zhan butuh sesuatu yang hangat.

Yibo mengambil ranting kering yang berserakan di sepanjang jalan. Ia tak terlihat kesakitan meski kakinya berjalan tanpa alas, melewati tanah yang dipenuhi hewan-hewan kecil yang mungkin saja bisa menggigit atau beracun.

Xiao Zhan dengan cepat mengikuti langkah besar Yibo, ia takut tertinggal di belakang, di dalam hutan yang gelap dengan berbagai macam hewan buas yang bisa saja datang mendekati.

Yibo menumpuk ranting kayu yang ia bawa di dekat pondok. Meminta kera-kera kecil turun membantunya menyusun ranting-ranting itu menyerupai piramida. Ia sering melihat king kong melakukan ini, jika cuaca dingin sekali.

Yibo mengambil dua buah batu seukuran genggaman tangan. Menggesekkan kedua permukaan itu berulang, hingga tercipta percikan api yang membuat ranting kering itu terbakar.

Tangan Yibo bergerak di atas kepalanya, sebuah isyarat agar Zhan mendekat. Ia mendekatkan telapak tangannya pada api yang menyala, setelahnya ia mengusap-usapkan tangannya yang hangat pada kedua pipi Zhan.

Ia mengacungkan jempol seakan bertanya 'apa sekarang lebih baik?'
Xiao Zhan memberikan dua jempolnya untuk menjawab. Yibo dengan semangatnya kembali meletakkan telapak tangan di dekat api, lalu menyentuhkan tangan itu ke punggung tangan Xiao Zhan.

Para kera kecil datang membawa banyak ranting, melemparnya sembrangan. Hingga api berkobar, mendekati tangan Yibo yang sedang berada di dekat nyala api seperti yang tadi ia lakukan.

Yibo sama sekali tidak berteriak, meski api menyambar telapak tangannya. Ia hanya menarik tangannya dengan cepat, meniup-niupnya dengan napas.

Justru Xiao Zhan yang panik, ia masuk ke dalam pondok, untuk mengambil air dan mencari kain kecil. Ia lupa jika kain apapun itu tidak ada di sana.

Ia menemukan air dalam wadah dari tanah liat, tapi tak menemukan kain berukuran kecil kecuali pakaiannya sendiri dan penutup selangkangan Yibo dari kulit hewan.

Xiao Zhan menemukan satu hal yang paling cocok untuk mengompres tangan Yibo. Ia menurunkan celanaya, kemudian melepas dalaman dengan tulisan calvin klein di pinggang. Membawanya turun, setelah memakai celananya kembali.

Ia mencelupkan sempak-nya, kemudian menggunakan kain berbentuk segitiga itu ke tangan Yibo. Mengompresnya dengan lembut, agar tangan Yibo tidak panas.

Mata polos itu menatap Zhan, mengartikan banyak hal. Yibo membuat senyuman di wajahnya begitu natural. Seperti ucapan terima kasih dan terharu atas kebaikan Xiao Zhan.

.
.

Sementara di tempat lain. Jaehyun yang merasa terpanggil oleh keadaan. Mendatangi rumah bibi Candeni tanpa mengajak Luccas dan Haoxuan. Kedua manusia itu terlalu absurd untuk diajak berdiskusi hal yang bersifat supranatural.

Tangannya yang kekar, dengan jemari panjang dihiasi cincin bermata zamrud yang mahal, mengetuk pintu rumah Bibi Candeni yang terlihat sepi.

Angin melewati punggung Jaehyun, membuatnya bergidik. Ia memejamkan mata sesaat, untuk menetralkan hawa tak nyaman yang tiba-tiba menyergapnya.

Jaehyun menoleh ke belakang, saat mendengar suara lembut memanggilnya. Ia berharap sosok itu bukan makhluk halus, penunggu everest.

"Mencari siapa?" tanya seorang pemuda tinggi yang cukup manis, dengan kulit bersih dan putih selayaknya susu sapi.

"Aku ingin bertemu Bibi Candeni," jawab Jaehyun singkat.

Pemuda itu mendekap selendang yang ada di bahunya agar tak terbawa angin. Ia menjadi satu-satunya pemuda pakishtan yang terlihat sangat tampan dan tidak memiliki kulit kecoklatan. Pakaiannya juga rapi, dengan kalung emas yang menghiasi lehernya.

Jaehyun menunggunya di belakang, saat ia dengan cukup luwes membuka pintu dengan kunci kecil di tangannya.

"Silakan masuk!" ucapnya, saat ia berhasil membuka pintu.

Ruangan yang Jaehyun masuki berbeda jauh dengan yang ia datangi tempo hari. Rumah Bibi Candeni yang pernah ia lihat memiliki nuansa gelap, dengan banyaknya simbol ular kobra di setiap dindingnya. Satu hal yang tidak berubah, adalah batu hitam dengan 3 garis putih yang dikalungi rangkaian bunga kering warna coklat.

Jaehyun duduk bersila di atas permadani biru yang terlihat masih baru. Mungkin Bibi Candeni baru saja merenovasi rumahnya, memberikan efek cerah dengan menambahkan cat warna di dinding, dan mengganti karpet hitam usang bergambar kepala kijang, dengan permadani halus dengan warna segar.

Pemuda itu masuk ke dalam ruangan yang tertutup tirai, dari kain satin warna biru. Ia berbicara dari dalam, dan masih bisa didengar jelas oleh Jaehyun.

"Mau minum teh?" tawarnya pada Jaehyun.

"Tidak perlu repot, aku hanya ingin bertemu bibi Candeni."

Pemuda itu mungkin sudah meletakkan selendangnya entah di mana. Ia kini muncul dengan nampan perak, dengan cangkir perak dan makanan warna kuning berbentuk bola-bola.

"Silakan."

Pemuda itu tersenyum manis, menyuguhkan teh yang dicampur susu segar hangat.

Jaehyun memiliki pesona, siapapun pasti terpikat oleh ketampanannya. Baik itu pria maupun wanita.

Ia menyentuh cangkir perak, meneguk isinya perlahan. Rasanya manis dan gurih, persis seperti wajah pemuda di depannya.

Jaehyun merasakan hal aneh, setiap melihat bola mata hitam jernih pemuda di depannya. Ia tidak pernah tertarik pada seorang pria, para gadis juga sulit untuk membuatnya jatuh hati.

Tapi pria asing ini sudah membuat Jaehyun tidak berkedip beberapa detik. Saat pemuda itu berbicara lagi, Jaehyun sadar dari lamunannya, dan teringat tujuannya di awal adalah bertemu peramal wanita paruh baya bernama Bibi Candeni.

Pemuda itu bangkit, berdiri dengan raut wajah yang berubah. Ada kesedihan di matanya, terpancar jelas dari senyumnya yang berangsur menghilang.

Di ruang tamu yang sempit itu, Jaehyun bisa melihat keseluruhan ruangan yang didominasi warna biru dan abu-abu. Sebuah figura berisi gambar seorang perempuan, dengan bindi di dahi. Senyum perempuan itu sangat mirip dengan Bibi Candeni. Apa itu ibu atau nenek dari Bibi Candeni?

"Ini nenek Candeni!" tunjuk pemuda itu pada foto yang ada di atas buffet kayu tua.

Jaehyun tak mengerti, sampai ia melihat rangkaian bunga warna kuning terlihat megalungi gambar itu. Jika tidak salah, Jaehyun pernah menonton film bollywood dan sedikit tahu. Jika foto seseorang dikalungi rangkaian bunga, artinya orang itu sudah meninggal.

Seketika tubuh Jaehyun kaku. Matanya tak bisa dikedipkan, mulutnya tetap dalam posisi terbuka. Syaraf di tubuhnya menegang, ia mengalami tingkat kejutan yang di luar nalar.

Bukankah baru 3 hari kemarin ia dan kawan-kawannya bertemu Bibi Candeni? Lalu, siapa wanita yang berbincang-bincang dengannya kemarin? Tidak mungkin jika itu arwah dari Bibi Candeni yang sudah meninggal?





Tbc.

TarZhan(xXx) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang