Lian masuk ke kamar Lyra tanpa mengetuk pintu, lalu merebahkan diri di tempat tidur Lyra membuat gadis itu meliriknya dan tenganga.
"Lo kenapa?" tanya Lyra memicingkan mata menatap adiknya curiga.
Lian menghela nafas sesaat. Sebelum menjawab pemuda itu memiringkan posisi tidurnya menghadap Lyra. Memandangi wajah kakaknya dari samping dengan seksama.
Lyra yang risih dipandangi seperti itu sontak menjauhkan diri.
"Kenapa sih, Yan?" tanya Lyra lagi dengan raut wajah serius, "lo serem banget kalo natap gue kayak gitu," kata Lyra merasa terganggu.
"Lo bahagia?" tanya Lian dengan mata sayu membuat Lyra tersentak.
Gadis itu membalas tatapan adiknya. Ia menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan berat.
"Itu pertanyaan atau pernyataan?"
"Iya atau nggak?"
"Apa ada anak yang bahagia liat orang tuanya cerai?"
Lian langsung mengumpat tanpa suara. Ia melengos keras menahan emosi yang sudah ia pendam. Pemuda itu kembali memperbaiki posisi tidurnya menghadap langit-langit kamar.
"Gue lagi tanya lo bahagia atau nggak sama Bang Pradit, bukan tanya tentang laki-laki itu," balas Lian dingin, pemuda itu menipiskan bibir.
"Gue tau lo kecewa, tapi nggak cuma lo disini yang kecewa sama ayah," Lyra diam sejenak, menarik nafas, "lo boleh sok kuat di depan ibu, tapi nggak di depan gue. Lo adik gue satu-satunya, Yan. Kita udah terbiasa berbagi dari kecil. Gue juga mau kita berbagi perasaan disaat kayak gini."
Lyra memiringkan tubuhnya. Menatap Lian dengan sendu. Ia menghela nafas pelan, lalu kembali berucap.
"Kalo ayah sama ibu cerai, lo nggak papa?"
"Gue masih nggak percaya ayah ngekhianatin kita," balas Lian dengan suara lirih sedikit bergetar.
Lyra jadi terkekeh miris mendengarnya. "Gue juga nggak percaya, tapi itu kenyataanya."
Lian menempelkan pipi ke bantal Lyra, "kalo ayah sama ibu cerai gue bakal berusaha baik-baik aja," kata Lian dengan yakin. "Kita bisa hidup bertiga tanpa ayah."
Lian dan Lyra jadi berpandangan, lalu kompak tersenyum untuk saling menguatkan satu sama lain. Padahal terlihat jelas dari pancaran mata keduanya yang saling menyembunyikan luka.
Lian berdecak, "eh, lo mau sampe kapan backstreet gitu? Nggak mau kasih tau ibu juga tentang Bang Pradit?"
"Gue juga nggak tau sampe kapan kayak gini," sahut Lyra kini kembali lesu, "lo kan tau sendiri gimana penilaian mereka tentang Pradit."
Lian menghela nafas pelan. "Lo udah bilang ini ke dia?" tanya cowok itu lebih kalem.
Lyra mengangguk singkat. Ia mencuatkan bibir. "Tapi gue ngerasa bersalah banget sama dia," kata Lyra jadi merengek kecil.
Lian memandang Lyra prihatin. Sampai tiba-tiba Lyra bangkit dari posisi tidurnya membuat Lian terlonjak kaget.
"Gue bahagia sama Pradit, Yan. Lo bisa bantu gue kan buat ngenalin dia ke ibu?" Lyra memandang Lian penuh harap. "Karena gue rasa ibu lebih penting untuk tau duluan dari pada yang lain."
Lian mengangguk, tentu saja ia bisa. "Of course. Apa sih yang nggak buat lo, kak?" kata Lian sambil mengerlingkan mata. "Gue bakalan bantu lo sampe lo juga siap buat kasih tau yang lain."
***
"Dit, ayo makan dulu!" ajak Rosa, ibu Pradit, yang sudah berdiri di depan pintu kamar Pradit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melangkah Tanpamu
Teen Fiction(Spin off Ketika Senja Menuju Fajar) Kesendirian. Mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang menyedihkan. Tetapi, bagi sebagian orang lainnya adalah ketenangan. *** Pradit tersenyum lembut. Tangannya mengangkat dagu Lyra. Lyra berusaha membalas tat...