Chapter 14: Talkative

1.3K 202 101
                                    

DERAP langkah kaki yang terdengar mendekat membuat Hani menoleh menemukan si bungsu berjalan menghampiri dirinya yang tengah berada di meja makan. Laki-laki yang telah rapi mengenakan seragam sekolah itu menarik salah satu kursi berseberangan dengan kakaknya.

"Morning, Bun, Kak. Eh, Kak Nico tumben udah bangun duluan?" Manik Nathan menatap heran pada sosok kakaknya yang kini sudah lebih dulu duduk di sana. Biasanya Nico orang terakhir yang akan bergabung di meja makan untuk menyantap sarapan bersama. Itu pun kalau lelaki itu masih sempat untuk sarapan karena hari-hari biasanya Nico lebih sering melewatkan jadwal makan paginya bersama Hani dan Nathan.

Sejak melihat kehadiran buah hatinya, Hani segera mengambilkan nasi beserta lauk pauk ke dalam piring Nathan tanpa diminta. "Morning, sayang. Ayo, kita sarapan bareng." ujarnya memberikan piring yang telah terisi makanan pada putranya.

"Makasih, Bunda."

"Sama-sama. Hape kamu udah dipakai, Dek?"

Nathan mengangguk. "Udah, Bun."

Hani tersenyum lega mendengarnya, sebab ia tahu sekali rasanya di zaman sekarang jika tidak pegang ponsel pribadi tentu akan sedikit sulit dan cukup menghambat kegiatan. Terlebih Nathan yang saat ini duduk di bangku kelas dua belas yang mana tugas beserta informasi lainnya mengenai sekolah kerap kali dibagikan melalui group chat kelas di WhatsApp, sehingga akan lebih mudah jika Nathan memegang ponsel pribadi. "Syukurlah kalau gitu. Oh iya, Azel udah sembuh belum?"

Nathan spontan melirik kakaknya atas pertanyaan ibundanya. Pasalnya ketika Azel tidak jadi ikut pergi saat itu, tentu menimbulkan tanda tanya di dalam benak Hani. Wanita itu sempat menanyakan keberadaan Azel saat mendapati kedua putranya kembali ke mobil tanpa lelaki manis itu.

Tadinya Nathan sempat ingin memberitahu yang sebenarnya kalau mereka menemukan Azel dalam keadaan tidak baik-baik saja sehingga memutuskan batal pergi dengan mereka. Namun, Nico lebih dulu memotong niat adiknya yang ingin memberitahu Hani. Nico bilang Azel sedang tidak enak badan sehingga memutuskan batal pergi dengan mereka.

Hani menatap kedua anaknya secara bergantian bingung seraya menunggu jawaban. Sedangkan manik cokelat terang milik Nathan bergulir gelisah berharap Nico membantunya. "Kok diem? Kakak sama adek gak ada yang tau kabar Azel gimana?"

Nathan sedikit terkejut mendengar Hani kembali angkat suara meminta jawaban. Netranya beralih pada ibunya diikuti dehaman singkat berasal dari Nico yang sepertinya sebuah kode agar ia tidak berkata jujur. "N-nanti aku chat Kak Azel, Bun."

"Oke. Kakak juga kalau ketemu Azel di kampus kabarin Bunda, ya." ujar Hani. "Ya udah, dihabisin dulu makanannya." lanjutnya membuat kedua anaknya kembali menikmati sarapan dalam diam.

Sesaat setelahnya Nico lebih dulu menghabiskan sarapannya lantas ia berpamitan pada ibunya untuk berangkat ke kampus. "Kak Nico, tunggu!" Langkah Nico yang baru mencapai teras rumah terpaksa berhenti. Lelaki itu menoleh ke arah adiknya yang datang menghampiri. Nathan tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang rapi.

"Gue mau bilang makasih karena udah pinjemin hape setiap kali gue butuh hubungin Kak Azel selama hape gue rusak kemarin."

Nico mengangguk singkat sebagai balasan atas ucapan terima kasih dari sang adik. Laki-laki itu kembali berjalan, berniat untuk segera pergi menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah. "Kak Nico, tunggu! Gue belum selesai ngomong..."

Helaan napas kasar terhembus dari belah bibir yang lebih tua. Tubuh jangkung Nico berbalik menghadap adiknya yang masih setia berdiri di teras. "Apa lagi sih, Nath? Cepetan ngomong!" ketusnya.

Dandelions [hajeongwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang