21. (Not) a perfect husband

119 13 0
                                    

Aku tidak ingin seperti mentari yang menjanjikan kembali setelah pergi, karena aku tidak tahu apa yang terjadi di esok hari. Tapi aku ingin seperti pelangi yang meski kehadirannya tidak dapat diprediksi, namun adanya memberi macam warna yang berarti

Happy Reading ❤

***

Liana memijat pundaknya pelan untuk menghilangkan rasa pegal yang menderanya akibat tangannya yang ia gunakan untuk membersihkan sudut-sudut dinding atas yang terlihat kotor.

Ia melirik Gilang yang sejak tadi sama sekali tidak terganggu dengan aktifitasnya. Padahal dengan postur badan yang tidak terlalu tinggi Liana sangat sulit menjangkau bagian-bagian yang tinggi, tapi Gilang malah cuek dan sibuk menonton film dokumenter yang berjudul Turning Point.

“Bantuin gue kek lo, jangan malah enak-enakan doang nonton film,” ucap Liana duduk di samping Gilang.

Gilang menoleh sekilas pada cewek itu seraya mengusap kepala Liana. “Bentar, Na. Abis ini selesai filmnya.” Ia kembali melihat film yang disambungkan dari ponsel ke Televisi.

“Di tonton nanti kan bisa.”

“Nanggung.”

Liana berdecak. “Gue capek, Lang.”

“Yaudah kalo gitu nggak usah bersih-bersih.”

Liana mendelik dengan jawaban simple Gilang. Jika biasanya di novel-novel atau film jika seorang istri mengeluh akibat bersih-bersih, suami yang pengertian akan langsung mengatakan, “Yaudah biar aku aja yang gantiin bersih-bersih. Kamu duduk aja biar nggak kecapekan.” Sedangkan Gilang, boro-boro gantiin. Yang ada cowok itu malah mengajak tidak usah bersih-bersih.

Liana itu bukannya tipe cewek yang rajin bersih-bersih. Hanya saja kalau melihat sesuatu yang berantakan atau kotor, pikirannya mendadak jadi sumpek. Rasanya pengen mengenyahkan semua itu dari pandangannya.

Lantas diraihnya tangan Gilang sampai cowok itu berdiri sempurna.

“Apaan, sih, Na?”

“Bantuin gue bersih-bersih!” Liana dengan sekuat tenaga mendorong lengan Gilang hingga sampai di depan lemari kamar. Cewek itu mengeluarkan semua pakaian Gilang dari lemarinya.

“Lipat itu lagi yang rapi,” ucapnya memberikan pakaian tersebut pada Gilang untuk dilipat lagi. Gilang itu kalau mengambil baju suka asal. Yang bagian bawa ditarik sedangkan bagian atas tidak ditahan, alhasil yang atas jadi acak-acakan. Liana jadi risih melihat baju Gilang yang berantakan.

“Sebanyak ini, Na?” tanya Gilang lalu berdecak.

“Nggak usah protes. Itu juga karena ulah lo.”

Gilang lalu melemparkan pakaian tersebut ke atas kasur. Dengan ogah-ogahan dilipatnya bajunya yang lumayan banyak ini.

“Yang bener. Awas aja kalo nggak rapi gue suruh ngulang lagi lo,” celatuk Liana terkikik geli. Ia tahu dasarannya Gilang itu anaknya tidak ada rapi-rapinya. Dulu saat Liana mengunjungi kontrakan Gilang saja kamar cowok itu hampir setara dengan kapal pecah saking berantakannya.

Liana bergerak menata buku yang semburat di atas meja. Seperti biasa, siapa lagi kalo bukan akibat ulah Gilang juga. Lalu tanpa sengaja matanya melirik jam yang menggantung di dinding. Lantas ia menepuk keningnya sendiri, lupa jika kemarin jam itu mati lantaran baterainya yang habis.

Teman ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang