6. Cinderella dan pangeran

125 15 0
                                    

Happy Reading ❤

***

Sampai detik ini Liana masih tidak bisa memercayai apa yang terjadi. Niatnya datang bersama keluarga untuk membatalkan perjodohan malah berujung perencaan sebuah pernikahan. Bahkan tadi Liana sempat berharap Gilang tengah bercanda saat mengatakan itu. Namun, nyatanya cowok itu benar-benar serius dengan ajakan menikahnya.

“Lo udah hampir setengah jam, Na, bengong. Mau sampe seharian lo begitu?” tanya Gilang. Kini keduanya itu memang tengah berbicara di taman belakang rumah Gilang yang terdapat sebuah kolam renangnya.

“Gilang kenapa kita menikah?” gumam Liana setelah sekian lama bungkam.

“Karena kita teman.”

“Terus kalo kita teman kenapa kita menikah?”

Gilang menghembuskan napasnya. “Lo tau nggak, sih, kalo Hellen Keller pernah berkata berjalan di kegelapan bersama seorang teman lebih baik daripada berjalan sendirian di dalam terang. Dan gue pengen lo berjalan bareng gue di kegelapan itu, biar gue tau segelap apa jalan yang selama ini lo lewati.”

Sejenak Liana diam mendengar penuturan Gilang. Lalu mulutnya kembali berkata, “Tapi gue nggak bisa masak.”

“Ya terus?”

“Lo bakalan rugi nikah sama gue karena gue nggak bisa masak.”

“Gue berniat jadiin lo istri. Bukan pembantu.” Gilang memutar bola matanya malas. Mengapa masalah sepeleh seperti ini Liana pusingkan. Mereka tidak hidup di zaman paleolitikum yang masih berpindah-pindah tempat untuk mencari makanan. Di era modern yang apapun selalu ada dan selalu cepat. Makanan bisa dipesan melalui ponsel, lalu si pemesan hanya tinggal duduk menunggu driver pengantar pesanan mereka datang. Kuncinya hanya satu. Uang. Asalkan ada alat pembayaran tersebut semuanya akan menjadi mudah.

“Gue orangnya manja. Suka seenaknya sendiri.”

“Gue tau. Kita nggak cuma bareng sehari dua hari. Tapi bertahun-tahun, dan gue udah terbiasa sama sikap lo itu.”

Masih belum menyerah untuk menggoyahkan niat Gilang, Liana pun kembali berkata, “Gue keras kepala banget.”

“Gue juga. Kita jodoh berarti,” balas Gilang dengan santainya. Saking santainya Liana sampai geram sendiri pengen mencakar muka cowok di depannya ini.

Sial! Kenapa susah banget, sih, ngebujuk dia tuh? Kesel banget gue.

Gilang sebenarnya tahu, Liana tengah berusaha keras untuk mengoyahkan niatnya mengenai ajakan menikah itu. Sayangnya tidak segampang itu. Gilang sangat serius dengan ucapannya tadi.

Menghembuskan napas, Gilang lalu menatap wajah masam Liana. “Udah lah, Na. Lo nggak perlu susah-susah mikir cara buat ngebujuk gue. Gue serius sama ucapan gue tadi. Terlepas dari kekurangan lo, apapun itu gue nggak peduli, Na. Gue terima lo apa adanya,” ujarnya mantap.

“Tapi gue takut,” cicit Liana.

“Apa yang lo takutin?”

“Pernikahan. Gue takut itu. Melihat gimana kisah kedua orang tua gue yang berakhir tragis buat gue takut untuk berkomitmen sama pernikahan.” Kalimat itu akhirnya lolos dari mulut Liana. Memang itulah yang ia pikirkan sejak tadi. Dia takut apa yang terjadi pada orang tuanya nanti terjadi padanya dan Gilang, terlebih mereka menikah tanpa didasari oleh rasa cinta sama seperti orang tuanya yang dijodohkan.

Teman ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang