31. Kenyataan pahit

137 13 1
                                    

Kita menapak di bumi yang sama, tapi mengapa kamu tidak mendengar jika aku berseru aku merindukanmu?

Happy Reading ❤

***

Pusing. Kini itulah yang tengah Liana rasakan begitu netra matanya terbuka. Cewek itu mengerjap-erjapkan kelopak matanya, berusaha keras mengingat kejadian terakhir yang terjadi padanya. Beberapa detik selanjutnya cewek itu berhasil mengingat semuanya. Tadi dirinya izin ke kamar mandi ditengah kegiatannya nonton bersama teman-temannya, lalu berpakaian serba hitam seseorang tiba-tiba memasuki kamar mandi dan membenturkan kepalanya hingga dia pingsan.

Mata Liana lantas ganti melebar maksimal. Cewek itu melihat kanan-kiri untuk mengetahui tempat asing yang saat ini ia singgahi. Yang lebih mengejutkannya lagi, kondisi Liana sekarang tengah duduk di kursi dengan tangan diborgol dan badan diikat pada kursi.

Lantas Liana menggerak-gerakkan tubuhnya berusaha melepaskan ikatan tali yang mengikat tubuhnya. Namun nihil. Tali itu terlalu kuat mengikat tubuhnya.

Tiba-tiba pintu dibuka. Seseorang yang Liana yakini sebagai orang yang sudah membenturkannya tadi memasuki ruangan itu.

“Udah bangun?”

Liana menatap tajam orang itu. “Lepasin gue! Siapa sih lo? Ngapain lo benturin gue ke tembok terus ngebawa gue ke tempat beginian? Gue mau pulang.”

“Pulang?” Orang itu mendekati Liana dan mengangkat dagu cewek itu dengan telunjuknya. “Lo nggak mau tau wajah gue dulu sebelum pulang?”

Awalnya Liana tidak memedulikan ucapannya. Tapi setelah mengamati dengan intens wajah yang masih tertutup masker itu matanya langsung membeliak. “L-LO ...!?”

Orang itu tertawa sumbang. Kemudian dibukanya masker yang sejak tadi menutupi wajahnya. “Halo, Liana. Long time no see.”

Liana masih syok melihat orang di depannya ini. Dia adalah Sasa. Alisca Salsabila Mauretta. Teman sejurusan Gilang.

“Lo mau apa?! Ngapain lo nyulik gue, hah?! Gue mau pulang!”

“Sssttt ... Kita udah lama nggak ketemu loh, Na. Kita ngobrol-ngobrol dulu lah. Kebetulan gue juga pengen ngobrol sama cewek manja yang kerjaannya ngerepotin Gilang.”

“Gue mau pulang. Lepasin gue!”

Sasa berdecih sinis. “Enak aja lo mau pergi gitu aja. Gue udah susah-susah bawa lo ke sini kalo lo nggak tau.”

“Mau lo apa sih?” tanya Liana. Sungguh dia tidak mengerti kenapa Sasa tiba-tiba menyuliknya dan membawanya ke tempat yang usang seperti ini.

“Mau gue?” Sasa mendekati telinga Liana. “Lo mati,” bisiknya.

Mata Liana membeliak tidak percaya. “Lo gila?!”

“Nggak. Lo daridulu pengen mati kan, Na? Gue cuma mau ngabulin keinginan lo.”

Tiba-tiba Sasa mengeluarkan belati dari saku jacketnya. Liana lantas keringat dingin manakala Sasa mengarahkan belati itu ke leher Liana.

“M-mau apa lo?! Jangan macem-macem Sasa!” Liana menggerak-gerakkan kakinya, berharap kursi yang didudukinya bisa mundur.

“Jangan banyak gerak, Na. Lo bisa beneran mati kalo sampe leher lo kena ini belati.”

“Sasa jauhin belati itu dari gue!” pinta Liana ketakutan. Cewek di depannya ini benar-benar terlihat seperti psikopat.

Teman ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang