Tiba-tiba Muncul

105 20 16
                                    

Siap ketemu Hasbi?

{2}

Pagi-pagi buta Yumna sudah menelepon dan bertanya apakah dia boleh memberikan nomorku kepada Hasbi atau tidak. Tentu saja kubolehkan, sebab seperti yang kukatakan, aku tidak anti terhadap pernikahan dan inilah buktinya.

Aku tidak menolak pria yang datang.

Meski cukup mengejutkan karena Hasbi tiba-tiba datang ke kantor setelah bertanya aku bekerja di mana. Dia tidak bilang sama sekali bahwa dirinya akan datang atau bahkan sekadar basa-basi mengutarakan keinginan untuk bertemu.

Tidak.

Hasbi tiba-tiba menelepon begitu jam makan siang dan mengatakan bahwa dirinya sudah di depan kantorku. Dia tersenyum sambil melambaikan sebelah tangannya. Pria itu tampak memesona dengan setelan kemeja yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana bahan, rambutnya juga rapi dibelah pinggir.

Kulit wajahnya yang tan itu tampak berseri-seri tertimpa sinar matahari siang.

"Gue lagi ada di sekitar sini kebetulan, jadi gue pikir kayaknya oke kalau ngajak lo makan siang berdua. Lo belum ada janji, kan?" kata Hasbi begitu aku sudah sampai di dekatnya.

Meski agak tidak suka dengan kedatangannya yang begitu saja, ketika kami bahkan belum saling mengenal sama sekali dan hanya pernah bersalaman satu kali. Namun, tentu saja aku tidak keberatan makan siang bersama Hasbi.

Aku mengajaknya ke kafe sebelah kantor yang menjual puding enak, dia setuju saja karena sedang tidak terlalu lapar. Kami hanya perlu berjalan untuk ke kafe sedangkan mobilnya diparkir di depan kantor.

"Jadi sejak kapan lo kerja di situ?" Hasbi mencoba memecah keheningan di antara kami sambil menunggu pesanan datang.

"Sejak lulus sih, gue betah soalnya."

Karena dia teman Bang Ardan, tentu saja aku akan berbicara padanya seperti berbicara kepada suami Yumna itu.

"Nggak ada keinginan buat pindah ya berarti? Tipe yang setia."

Aku menaikkan alis mendengar penilaiannya, terserah sajalah.

"Apa yang membuat lo betah di sana?" tanya Hasbi lagi ketika tidak mendapatkan jawaban dariku.

"Karena lingkungannya yang oke, kerjaannya juga oke."

Hasbi mengangguk-angguk, begitu pesanan kami sampai pria itu mencicipi puding yang tadi dia pesan dan memuji rasanya. Katanya enak dan pantas saja aku merekomendasikan kafe ini. Sebetulnya bukan karena enak sih, aku tidak begitu nyaman makan dengan orang asing.

Perutku pasti akan sakit jika makan makanan berat dengan orang asing yang membuat suasana tidak nyaman.

"Jadi apa yang ngebuat lo ke sini ketemu gue? Karena, kita bahkan enggak saling mengenal buat punya alasan janjian makan bareng gini."

Sebagai orang yang sudah dewasa, aku memutuskan untuk memastikan segala sesuatu di awal agar tidak ada kesalahpahaman. Maksudnya, bukan berarti terlalu percaya diri bahwa tujuan Hasbi bertemu denganku pasti dengan maksud seperti yang sedang kupikirkan sekarang. Namun, mau bagaimana lagi? Hasbi membuat niatnya kentara.

Masih dengan menunduk untuk menyuap puding ke mulutnya, aku bisa melihat senyum menyembul di sekitar sendok yang menyentuh bibir merahnya. Pria itu mengangguk, matanya yang jernih dan sarat keingintahuan menatapku lurus-lurus.

"Gue mau temenan sama lo. Apa lo keberatan?"

Aku menaruh sendok ke atas piring, pudingku baru saja tersentuh sedikit. Kusandarkan punggung ke kursi dan balas menatapnya lurus-lurus.

Aku Ingin Dunia yang Tidak Memiliki WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang