{10}
Setelah Yumna pergi, rasanya ada yang ditancapkan ke dalam hati, nyeri dan berdenyut-denyut sampai aku tidak mampu membedakan antara degupan jantung dan sakitnya hati. Seluruh tubuh terasa panas dan membuatku tidak bisa hanya duduk diam saja di sini, aku harus melakukan sesuatu, aku harus bergerak agar rasa sakit di hati tersamarkan.
Duduk di atas tempat tidur seperti ini tidak membuatku tenang, kutatap jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam, suara murotal mulai terdengar dan aku semakin gelagapan. Apa yang harus kulakukan agar sesuatu yang menggila di seluruh tubuhku ini pergi? Aku ingin marah, memaki, dan melampiaskannya sekarang juga.
Masih ada waktu apabila aku pergi sekarang juga.
Aku segera mengambil tas yang biasa kubawa ke tempat kerja, dompet dan segala perlengkapan keluar selalu ada di sana. Tanpa mengganti pakaian santai dengan yang lebih rapi, aku mengambil jaket dan bergegas mengendarai motor untuk pergi ke tempat yang selalu kuharap lenyap dari masa lalu.
Bogor.
Laki-laki brengsek itu mengirim pesan bahwa Ibu pernah ke rumah Ayah, kenapa mereka tidak bilang apa-apa padaku? Mereka tahu aku setiap hari mencari Ibu, tetapi mengapa mereka bungkam? Jika Ayah memang masih menganggapku sebagai anak, seharusnya dia tidak merebut satu-satunya yang kumiliki, harapan bertemu Ibu sekali lagi.
Aku ingin bertanya mengapa dia pergi begitu saja meninggalkanku di rumah itu. Aku ingin memberi tahu bahwa dia sangat egois dan membuat hidupku hancur tanpa ada sisanya lagi. Aku ingin Ibu tahu betapa aku sangat marah dan membencinya. Aku ingin Ibu tahu itu agar tidak hanya aku yang sakit, tidak hanya aku yang hancur dan menderita.
Aku ingin Ibu juga merasakannya.
Sialan, air mata terus saja menggenang meski berkali-kali kuusap, mengaburkan pandanganku ke jalan. Entah mengapa dunia sepertinya memang mengutuk keberadaanku, sehingga ia menurunkan hujan yang tiba-tiba deras. Hujan yang butirnya besar dan menyakitkan setiap kali jatuh di wajahku, ingin kututup kaca helm, tetapi semakin buram karena air hujan.
Aku tidak mau berhenti dan harus segera sampai di Bogor. Jika selama ini Ayah menganggapku lelucon, ingin kuperlihatkan kepadanya bagaimana cara membuat lelucon yang baik. Aku ingin dia tahu bahwa selama ini Sekar anaknya bukan hanya tumbuh sebagai perempuan yang diam dan menjauhi keluarga, tetapi ada kemarahan di dada ini.
Sekar anaknya tidak hanya menuruni gen dari sang ibu yang memutuskan untuk pergi dan bebas tanpa peduli keluarga, tetapi ayah harus sadar bahwa dia yang menyebabkan semua ini. Hanya karena itu masa lalu, apakah Ayah lantas tidak mengingat dosa besar yang telah dia lakukan kepada kami?
Aku tidak sempat terkejut ketika tiba-tiba motorku oleng dan jatuh karena melintasi kubangan jalan yang tidak terlihat oleh mata, karena pikiranku ke mana-mana. Begitu tubuhku menyentuh trotoar aku bahkan masih bingung meski terbentur cukup keras. Tubuh sebelah kananku nyeri sekali begitu aku sadar apa yang baru saja terjadi. Beberapa pengendara motor lain ikut berhenti dan membantuku berdiri di tengah derasnya hujan.
"Lukamu parah nggak? Sakit nggak dibuat berdiri?" Salah seorang pengendara yang wajahnya tertutup helm berteriak karena hujan mampu meredam suara.
Aku menggeleng padanya dan mendapat bantuan untuk berjalan sampai di depan teras sebuah toko, sedangkan motorku dituntun oleh pengendara lain. Aku melihat motor itu, tidak ada yang rusak parah selain kaca spion kanan yang sudah tidak lagi pada tempatnya. Kucoba merasakan tubuh bagian kanan, sakit, tetapi tidak parah.
Aku masih bisa ke Bogor.
"Kamu mau ke mana?"
"Ke Bogor," jawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Dunia yang Tidak Memiliki Waktu
ChickLitCover baru Ada satu pertanyaan dalam hidup ini yang belum bisa kujawab. Apakah keinginan dan keyakinan untuk menikah itu muncul dengan sendirinya atau dipaksa hadir? Banyak orang yang berkata bahwa di usia dua puluh tujuh ini aku harus mencoba, aku...