Iya, kenapa?

66 16 7
                                    

{9}

Yumna menatapku sedih dan marah, matanya berair sejak aku pertama kali datang dan melihatnya memangku kepala Ayub. Dia memang memiliki akses masuk rumah, kupikir itu baik untuk kami, di saat barangkali aku tidak sengaja melukai diri sendiri dan tidak bisa ditemukan di mana-mana. Kupikir, baik jika ada orang yang bisa menemukanku di dalam rumah.

Dia semakin mendekat, itu membuatku takut dan jujur saja merinding. Aku tidak pernah melihat Yumna marah kepadaku selama ini. Sama sekali. Namun, matanya saat ini menyiratkannya.

Kuduga, ini mungkin karena Hasbi sudah memberi tahu Ardan masalahku di masa lalu, sesuatu yang juga tidak kuceritakan kepada Yumna. Yumna yang selalu meminta mengenalku dan menjadi tempatku bercerita, tetapi tidak pernah kulakukan dengan benar.

"Kamu siapa?" tanyanya dengan suara bergetar, mata yang tadinya berkaca-kaca menjatuhkan air mata yang deras. Aku sudah biasa melihatnya menangis, tetapi bukan karena diriku, dan sekarang kulihat dia kecewa sekaligus tidak percaya padaku.

"Kamu siapa?" tanyanya dengan suara yang sedikit meninggi, matanya menatapku tajam dengan bahu yang bergetar.

Aku? Tentunya seperti orang bodoh yang tidak paham apa pun di dunia ini. Mematung di tempat dan terkejut dengan apa yang tiba-tiba terjadi hari ini. Semua terlalu tiba-tiba di saat aku sudah menyembunyikan bertahun-tahun, bahkan dari orang terdekatku, Yumna.

Dua belas tahun?

Yumna kini menangis sepenuhnya, dia menutup wajah dengan dua telapak tangan lalu tergugu di hadapanku. Hadapan orang bodoh sepertiku. Kubiarkan dia menangis sepuasnya, mungkin saja dia juga sama syoknya? Atau terpukul? Atau entah bagaimana perasaannya. Maafkan aku, Yumna.

Setelah beberapa menit berlalu, aku menyentuh tangan Yumna pelan-pelan, takut dia menampiknya. Kutuntun dia ke tempat duduk yang ada di meja makan agar tidak membangunkan Ayub. Ayub tentu tidak boleh melihat ibunya menangis. Dia pasti terpaksa diajak kemari karena tidak mau berpisah dengan ibunya, di saat ibunya seperti biasa, keras kepala jika ingin melakukan sesuatu.

"Kamu tahu kenapa aku ke sini, kan?"

Aku mengangguk, kuambilkan dia minum dan Yumna menerimanya.

Aku duduk di depannya meski tidak berani menatap matanya.

"Denger, gue mau bilang sesuatu dan tolong jangan disela dulu."

Yumna menggeleng, tetapi tetap diam.

"Dia emang kakak gue." Aku tertawa karena harus menyebut si brengsek itu kakak. "Brengsek!" Aku mengumpat pelan karena harus menyebutnya begitu.

"Dia anak tiri Ayah gue." Aku melirik Yumna untuk melihat responsnya, tetapi yang kulihat hanya gelengan kepala dan mata yang menyiratkan kekecewaan pekat.

"Tapi satu-satunya hal yang terjadi di hidup gue selama ini, satu-satunya yang gue sesali, satu hal yang gue paling benci dari hidup ini adalah dia. Gue bahkan nggak sudi anggep Si Brengsek itu kakak. Buat apa? Gu-gue. Kehadiran dia di hidup gue adalah bencana Yumna, bahkan setelah apa yang terjadi sama lo. Gue, gue berharap, gue nggak ada di dunia ini buat lebih dirusak sama dia."

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi Yumna memanggil nama dan menyentuh pundakku.

"Kenapa?" tanyanya khawatir.

Tanganku tremor, seluruh tubuhku hampir bergetar, dan shit! Aku bisa merasakan sesuatu yang basah di pipiku. Aku berdiri dan mengambil napas di saat Yumna terus mendesakku dengan pertanyaan kenapa. Aku menatap matanya dan menggeleng. Kuharap dia tidak mendesakku seperti itu saat ini.

***

Malamku lebih gelap dari seharusnya, kesunyian memerangkap tubuhku dan menggantungkannya di langit, seolah bisa melihat seluruh orang di dunia ini, tetapi mereka tidak mampu melihatku atau mendengar suaraku.

Aku Ingin Dunia yang Tidak Memiliki WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang