Memang Bisa Apa?

164 31 15
                                    

{1}

2025

Orang bilang hidup itu mudah, sekadar menjalani alur yang sudah ditentukan saja dan menerimanya dengan hati yang lapang. Apa kabar denganku? Kucoba menerima seikhlas-ikhlasnya segala hal yang terjadi dalam hidup ini meski sesekali tidak bisa.

Namun, sepertinya aku harus merasa beruntung karena saat ini tidak ada satu kesedihan pun yang bisa membuatku terpuruk lebih dari yang sudah pernah terlewati.

Kurasa, aku sudah cukup baik menjalani hidup sebagai manusia.

Aku sekolah dengan baik, menjadi murid pintar dan rajin, lalu kuliah dan mendapatkan IPK bagus, kemudian bekerja di perusahaan yang cukup keren. Lalu apa yang kurang dari diriku?

Dilihat dari luar, tidak ada yang kurang.

Tanganku terulur untuk menyentuh kepala anak laki-laki berusia enam tahun di depanku yang duduk dengan tenang sambil memakan buah. Anak laki-laki yang mirip sekali dengan ayahnya. Namun, aku terus merasakan tatapan menusuk dari sisi kiri, berasal dari perempuan menyebalkan yang saat ini sedang menyipitkan mata.

"Apa sih apa?" tanyaku pada akhirnya setelah berusaha mengabaikan dan pura-pura tidak tahu.

"Menurutmu apa?" Dia malah ikut bertanya.

"Mana gue tahu." Sebenarnya aku cukup tahu apa yang ingin dia bahas, tetapi bisa tidak sih biarkan hidupku ini tenang sebentar saja?

Dia diam, aku jadi penasaran kenapa perempuan itu diam. Aku menoleh sedikit dan melihatnya terus menatapku dengan dahi berkerut-kerut.

"Lo mau tanya apa, Yumna?" Aku berusaha bersabar.

"Sama yang kemarin kenalan, enggak jadi lagi?"

Aku menatapnya, kali ini lebih serius setelah mengembuskan napas panjang yang sedari tadi kutahan. Aku paham jika itu Yumna yang bertanya, barangkali jika orang lain yang menanyakannya mungkin dia tidak akan pernah kuajak bicara lagi.

Namun, ini Yumna.

Dia berbeda.

"Jadi apa menurut lo gue harus memaksakan diri buat menerima dia, Na?"

Yumna ikut menghela napas, dahinya sudah tidak berkerut, tetapi matanya menyiratkan kekhawatiran yang cukup pekat. Aku paham kenapa dia begitu, tetapi memang aku bisa apa untuk meringankan kekhawatirannya? Sedangkan aku sendiri tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu diriku keluar dari jebakan ini.

Rasa tidak tertarik menjalin hubungan dengan pria mana pun yang mencoba mendekat. Mereka seperti, seperti apa ya. Aku sendiri bingung.

Ketika mereka membuka mulut untuk bicara atau tersenyum, di kepalaku muncul pertanyaan seperti benarkah senyum dan sikap baik itu akan selamanya? Atau perlahan memudar lalu berganti menjadi rasa biasa-biasa saja, karena kepuasan telah mendapat dan hilangnya rasa penasaran.

Apakah hubungan yang membuatnya penasaran di awal itu akan tetap membuat kami bahagia di masa depan? Sungguh pikiranku ini rumit, andai kuceritakan pada orang lain, aku yakin mereka akan berkata aku ini terlalu berlebihan.

Aku mencoba, sungguh aku mencoba.

Aku merespons semua pesan jika ada pria yang saat itu mencoba dekat denganku. Menerima ajakan bertemu, membalas perhatian mereka dengan perhatian yang sama. Namun, nihil.

"Aku cuma khawatir, maaf, Kar." Yumna menghela napas lagi. "Jangan memaksakan diri, enggak bagus. Kalau kamu belum yakin ya jangan. Kamu tahu, maksudku bukan memaksa kamu menemukan pasangan secepatnya, tapi kamu tipe yang nggak akan cerita kalau nggak ditanya."

Aku Ingin Dunia yang Tidak Memiliki WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang