Aku harus merasa hidup

64 14 8
                                    

{11}

Akhirnya aku mendapat jawaban dari Ayah, bahwa tahun lalu Ibu datang ke rumah untuk bertanya di mana aku sekarang, tetapi dia tidak mendapat jawaban yang semestinya. Justru dengan tega dan tidak berperasaan Ayah berkata sendiri bahwa dia mengusir Ibu. Saat mendengar jawaban itu aku tidak tahu harus merespons seperti apa.

Rasanya sesak, marah, kecewa, benci, ingin mengumpat, tetapi tidak ada tenaga untuk melakukan hal itu. Aku bahkan tidak menjawab ketika Ayah menyuruhku menginap dan segera mengganti pakaian. Aku berlalu pergi dari hadapannya begitu saja, karena, apakah dia manusia?

Dia tidak akan mengerti bahasak atau mungkin aku yang bukan manusia baginya.

Meski sudah sesuai dugaan, ternyata aku sempat bertemu lelaki biadab yang kuhindari setengah mati selama ini. Dia tersenyum padaku, dia tersenyum? Betapa biadabnya dia masih bisa tersenyum padaku. Ibunya bahkan masuk ke kamar dan tidak mau keluar lagi setelah mendengarku berteriak. Kenapa dia benci kepadaku atas kesalahan anaknya?

"Nggak nginep?" tanya lelaki itu, aku tidak menjawabnya, tetapi Galih terus mengikuti sampai depan. Setelah dia keluar dari penjara, baru pertama kali ini kami bertemu kembali. Kenapa hukum memberinya kurungan yang sebentar? Padahal korban pelecehannya, Yumna, terus mengingat hari itu dengan jelas.

Tentu saja aku mengerti bagaimana rasanya.

"Udah gue duga kalau itu motor lo, kenapa baret semua?"

Aku naik ke atas motor tanpa memedulikannya, bahkan tidak sudi menatap lelaki itu. Rasanya tubuhku panas karena amarah yang begitu besar, jika menatapnya sekali lagi, sepertinya aku akan membunuh lelaki itu.

Aku berniat pergi, tetapi Galih menahan motorku.

"Lo nggak bisa kasih gue kesempatan buat ngomong?"

Aku menampar wajahnya sekuat yang kubisa, hingga rasanya tanganku kebas, lalu perlahan berdenyut-denyut.

"Sampah menjijikkan ini nggak seharusnya ada di motor gue." Kutarik motorku mundur hingga tangannya terlepas dari motorku, lalu pergi meninggalkan rumah ini. Sampai mati pun tidak akan kuinjakkan kaki ke sini, sampai mati pun, sampai aku harus mati sekalipun. Biarlah aku mati tanpa keluarga.

Sejujurnya, menatap Galih tidak hanya menimbulkan rasa marah yang besar, tetapi sekaligus rasa jijik. Tidak hanya kepadanya, tetapi kepada diriku sendiri. Jika aku ingin membunuh Galih, aku juga ingin menguliti tubuhku sendiri, karena itu aku berusaha untuk tidak berhubungan dengannya dan tentu dengan keluarga ini.

Sekarang yang ada di kepalaku adalah ke mana aku harus mencari Ibu? Ke mana aku bisa mencarinya sedangkan waktu itu aku masih kecil dan tidak mendapatkan petunjuk apa pun mengenai kepergiannya. Ayah sama sekali tidak buka mulut akan hal itu.

Apakah pada akhirnya aku bisa menemukannya? Jika kutemukan, apa yang akan kukatakan? Menumpahkan amarahku juga padanya? Apakah jika kutumpahkan amarah ini padanya maka hatiku akan lega? Benarkah?

Namun, ketika mendengar kabar bahwa Ibu datang, aku benar-benar merasa ingin menemuinya. Bayangan wajah Ibu yang cantik belasan tahun lalu terus muncul di ingatakanku, apakah sekarang Ibu bahagia juga? Apakah Ibu bisa bahagia di luar sana sedangkan aku justru berharap mati saja setelah dia tinggalkan?

Aku tidak tahu harus ke mana hingga tubuh ini tiba-tiba saja sudah sampai di depan rumah Yumna. Sepertinya sekarang sudah lebih dari tengah malam. Aku ragu apakah harus menekan bel rumahnya, tetapi dadaku sesak sekali, aku ingin melihat manusia yang melihatku dengan tatapan hangat karena mereka menyayangiku.

Tidak ada yang bisa memberikannya selain Yumna.

Apakah aku boleh?

Kutekan bel rumah Yumna sekali, lalu menunggu beberapa menit tanpa melakukan apa pun. Aku berharap saat ini Yumna membuka pintu itu dan memelukku. Aku ingin merasa hidup, satu-satunya yang bisa membuatku merasa hidup adalah ketika orang lain menganggap kehadiranku berarti.

Sepertinya aku harus pulang.

Bagaimanapun ini sudah malam.

Namun, begitu berbalik, pintu di belakangku terbuka, aku menoleh dan melihat Bang Ardan berdiri di sana, matanya membeliak menatapku, dia buru-buru memintaku masuk dan dia sendiri berlari ke dalam, ke kamar utama.

Tak lama kemudian Yumna keluar dengan wajahnya yang penuh kecemasan, aku tidak bisa membendung diri lagi, kurasakan pipi ini menghangat. Sepertinya aku menangis. Yumna meneliti tubuhku dari atas sampai bawah sebelum akhirnya memelukku erat.

Yumna tidak bertanya apa-apa, dia menuntunku ke kamar tamu, mengambil pakaian tidurnya, handuk, dan kotak obat. Dia menaruh itu semua di sebelahku. Dia keluar lagi dari kamar entah untuk apa, sampai beberapa menit kemudian masuk lagi ke dalam dan berkata aku harus mandi. Dia sudah menyiapkan air hangat untukku.

Aku menurut.

Tidak ada daya untuk membantah, menolak, atau apa pun itu.

"Kamu udah makan?" tanya Yumna dari depan pintu kamar mandi.

"Aku kayaknya masih ada lauk tadi sore, tapi nasinya nggak ada sih, mau dibuatin telur?"

Yumna terus bicara sendiri meski tahu aku di dalam sini mungkin tidak akan menjawabnya. Sampai akhirnya, kudengar suaranya mulai parau.

"Kamu kenapa, Sekar? Kalau ada apa-apa sama kamu dan aku nggak tahu apa-apa coba kamu bayangin gimana perasaanku?"

Apa yang harus kuceritakan padamu, Yumna? Rusaknya aku sebagai manusia? Apakah itu akan membuatmu melihatku dengan cara yang berbeda? Setiap kali aku ingin menceritakannya padamu, lidahku kelu, aku tidak ingin matamu melihatku dengan cara yang lain. Aku terlalu takut.

Kusabuni tubuhku dengan sabun Yumna, ternyata luka di tangan dan kakiku masih bisa kurakan perihnya. Baguslah, aku masih hidup. Yumna tidak terdengar lagi suaranya, kuharap dia tidak ada di depan pintu kamar mandi begitu aku selesai nanti.

Namun, ternyata Yumna masih ada di depan pintu kamar mandi dengan sisa-sisa air mata di pelupuk matanya. Dia tersenyum dan meminta handuk yang tadi kupakai, dia menyuruhku untuk masuk kamar saja.

Dia menyusul tak lama begitu kududukkan tubuh ke atas kasur kamar tamu Yumna. Dia membuka kotak obat.

"Biar gue aja."

Yumna mengangguk.

Kuoleskan obat merah ke seluruh lukaku, lalu menutupnya dengan kain kasa dan plester. Yumna menyuruhku untuk tidur karena sekarang sudah hampir pagi, dia bilang dia akan membangunkanku besok pagi, tapi menyarankan untuk tidak masuk kerja.

Yumna hampir melangkahkan kaki keluar kamar, tetapi dia berdiri di pintu. "Aku boleh tidur di sini?" tanyanya.

Aku mengangguk.

Aku tidur membelakangi Yumna, kucoba untuk menutup mata agar tertidur, tetapi tidak bisa. Rasa sesak di dada belum reda sama sekali.

"Yumna?"

"Ya?"

"Kalau lo ada masalah lama yang nggak pernah lo selesaikan selama ini, apa lo bakal menyelesaikannya karena sekarang masalah itu kayak bangkai dan udah bau banget sampek mengganggu, atau membuangnya sekalian yang jauh dan berusaha melupakannya sama sekali?"

"Emang bisa kamu lupain? Kalau mau dibuang pun kamu harus pegang bangkainya, kan?"

Iya, benar.

Namun, aku tidak tahu mana yang harus diselesaikan, masalah ini terlalu rumit. Ibu yang pergi dan Ayah menikah lagi dan membawa kehancuran pada diriku. Lalu mana yang harus diselesaikan? Bagaimana caraku menyelesaikannya?

Aku menggigit bibirku kuat-kuat agar Yumna tidak perlu mendengarku menangis.

"Sekar, aku nggak tahu apa yang kamu rasain dan apa yang kamu pikirin sekarang, tapi kuharap kamu enggak merasa sendiri. Ada aku, walau aku nggak bisa mengurangi sakitmu, tapi aku ada buat kamu. Ayub juga ada buat tantenya. Kamu tahu, kan?"

Kalimat Yumna ...

Aku mengangguk-angguk.

___

1.108 kata

(30 Maret 2023)

Aku Ingin Dunia yang Tidak Memiliki WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang