{12}
Aku memutuskan untuk izin tidak masuk kerja kepada atasan, seperti saran dari Yumna, tetapi bukan untuk beristirahat melainkan untuk melakukan sesuatu yang harusnya kulakukan sejak dulu. Aku akan mendatangi satu per satu rumah keluarga dari Ibu, meski aku tahu itu pasti sulit karena setelah orang tua Ibu meninggal mereka benar-benar berpisah.
Sejak kecil, ketika kutanya mengapa kami tidak mengunjungi rumah kakek dan nenek dari Ibu seperti yang kami lakukan kepada orang tua Ayah, Ibu bilang bahwa mereka sudah meninggal sejak aku di dalam kandungan.
Lalu kakak dan adik dari Ibu lebih memilih untuk hidup sendiri-sendiri, seperti perjanjian tak tertulis dan tidak terkatakan, mereka saling tahu diri untuk tidak menghubungi. Meski sesekali masih bertemu ketika anak Bude menikah atau melahirkan, tetapi aku hampir lupa di mana rumahnya.
"Kamu harus sarapan dulu." Yumna mengikuti dari tadi sambil menggandeng Ayub yang menatapku dan bundanya bergantian.
"Gue harus berangkat sekarang, Yumna."
Yumna menatap pasrah lalu memintaku untuk menunggu sebentar sebelum pergi, dia mengambil tanganku untuk diberi tangan Ayub. Seolah dia takut aku benar-benar pergi tanpa menunggunya. Padahal meski ditinggal di sini bersama Ayub pun aku akan tetap bisa pergi karena Ayub pasti aman di rumahnya sendiri.
Yumna bertanya kepadaku sejak pagi ke mana aku akan pergi, tetapi entah kenapa rasanya berat untuk menjawab. Aku berjanji kepadanya akan memberi tahu semua nanti kepadanya jika aku sudah siap, ya, aku janji.
"Tante." Ayub memanggilku, dia menggapai-gapai dan itu membuatku spontan menunduk.
Ayub mengalungkan kedua tangannya di leherku, meminta gendong. Aku tersenyum melihat wajahnya yang bersih dan gembil, kucium dua kali pipi kirinya sampai Ayub terkekeh geli. Tangannya yang tadi di leherku mendarat di wajahku, berjaga-jaga agar aku tidak bisa menciumnya lagi.
Enam tahun yang lalu anak ini tidak ada, Yumna hanyalah seorang gadis yang menyebalkan buatku, kami kerap bepergian bersama, aku membersamai hidup Yumna yang penuh cerita karena dia memang suka sekali ikut campur hidup orang lain.
Namun, ketika kami semakin dewasa, waktu bertemu lebih jarang daripada dulu ketika sekolah atau kuliah. Lalu, tiba-tiba Yumna menjadi seorang ibu dari anak lelaki yang manis ini. Aku menurunkannya karena dia semakin berat dari waktu ke waktu. Dia terkekeh kecil ketika kuturunkan karena kakinya tidak mau mendarat ke lantai dan bergelantung pada tubuhku.
"Ayub, kan, udah besar, Tante capek loh gendong Ayub."
Ayub menurunkan kakinya sambil terkekeh, aku jongkok agar wajah kami sejajar. "Ayub seneng banget ya digendong?" Dia mengangguk.
"Tapi jangan sering-sering ya, kasihan Bunda kalau Ayub minta digendong terus, badan Bunda bisa sakit." Ayub mengangguk lagi.
"Nggak, Ayub nggak minta gendong kok, hmmm, kadang-kadang sih, tapi Ayub lebih suka ajak Bunda naik ayunan."
Aku mengusap kepalanya. "Anak pinter. Ayub sayang banget sama Bunda ya?"
"Iya, karena kata Ayah, Bunda udah lahirin Ayub ke dunia, kata Ayah lahirin Ayub itu sakit bangettt. Ayub makasih karena Bunda udah lahirin Ayub."
Kalimat sederhana yang muncul dari bibir Ayub ini ... membuat dadaku bergetar, aku sampai refleks menggigit bibir bawah agar tidak terisak sekarang. Ibu, bagaimanapun telah membawaku ke dunia, meski aku sering ingin lenyap dari dunia yang kukutuk ini.
Membawaku ke dunia ini juga bukan perkara mudah, dia melahirkanku dengan mempertaruhkan nyawanya. Lalu, bagaimana dia membesarkanku hingga masuk sekolah dasar. Semua kenangan kami benar-benar kenangan yang luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Dunia yang Tidak Memiliki Waktu
ChickLitCover baru Ada satu pertanyaan dalam hidup ini yang belum bisa kujawab. Apakah keinginan dan keyakinan untuk menikah itu muncul dengan sendirinya atau dipaksa hadir? Banyak orang yang berkata bahwa di usia dua puluh tujuh ini aku harus mencoba, aku...