Muncul ke permukaan

61 15 11
                                    

{8}

Aku sedang punya banyak-banyaknya pekerjaan di kantor ketika sebuah pesan keparat masuk ke ponsel. Pesan yang membuatku kalang kabut karena harus tetap fokus menyelesaikan pekerjaan, sedangkan hati terasa seperti disulut api. Kepalaku benar-benar terasa hendak pecah.

Aku terus mengetik, tetapi salah, aku berusaha fokus menghitung, tetapi hasilnya rancu.

Saat ini bahkan aku tidak mampu bernapas dengan benar, karena sesuatu yang sangat kuhindari, yang kupendam mati-matian dan tidak ingin lagi kurasakan tiba-tiba muncul. Muncul dengan tidak tahu diri. Aku marah pada diriku sendiri yang masih marah dan tersiksa, sedangkan orang itu sepertinya sama sekali tidak merasakan apa pun.

081xxx

Lo seharunya pulang, Ibu lo ke rumah dan dia nanyain lo.

Oh ya satu lagi, gue baru tahu kalau lo kenal sama Hasbi. Gue minta nomor lo dari dia karena gue bilang gue kakak lo.

Keparat!

Bajingan!

Brengsek!

Si brengsek itu ...

Kenapa dari sedikit manusia yang kukenal, sebagiannya adalah manusia yang tidak bertanggung jawab dan dengan entengnya menghancurkan hidup orang lain? Apakah mereka merasa punya kekuatan yang lebih besar dariku sehingga bisa melakukan itu padaku? Apa karena aku hanya diam dan merengek seperti bayi?

Apa hanya karena aku tidak berani melawan?

Bajingan!

Dia tidak layak disebut manusia, seumur hidup, seumur hidupku akan menjauh dari mereka dan tidak akan pernah kembali ke rumah terkutuk itu. Bahkan bangunan itu tidak layak disebut sebagai rumah, sebuah kata yang memiliki definisi hangat, tidak cocok untuk bangunan itu yang terasa menyiksa batin dan fisikku.

Aku terus mencoba menyelesaikan pekerjaanku, tetapi tangan ini terus bergetar-getar, tremor. Tolong jangan sekarang, tolong, kumohon jangan sekarang. Aku memutuskan untuk berlari ke kamar mandi, daripada ada rekan kerja yang melihat kondisi tidak enak dilihat ini. Tentunya juga akan menimbulkan banyak tanya.

Aku mengurung diri di dalam kamar mandi, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, jika tidak segera menyelesaikan pekerjaan bisa jadi aku akan pulang larut malam. Namun, situasi apa ini?

Dua belas tahun sudah aku berusaha bertahan di Jakarta sendirian, meninggalkan Bogor pada usia 15 tahun adalah hari kematianku, karena rasanya seperti sakaratul maut. Sakit. Sakit sekali. Leherku seperti dicekik oleh tangan-tangan tak terlihat, dadaku sesak, dan aku bahkan tidak ingat bagaimana caranya sampai di rumah baruku itu.

Ayah membawaku ke rumah baru tepat begitu dia mengusirku, pagi itu, lalu siangnya tanpa berkata apa-apa dia mendaftarkanku ke sebuah sekolah menengah atas. Satu-satunya yang kusyukuri dari segala sesuatu yang pernah terjadi karena di sana aku bertemu Yumna.

Rumah yang aku akan tinggal sendirian selama bertahun-tahun sebelum punya uang dan tinggal di rumah yang sekarang. Ayah tentu memberiku uang, tetap memberiku uang, tetapi sampai tiga tahun lamanya dia tidak mau menghubungiku. Bahkan ketika aku menghubunginya, dia tidak mau menerima teleponku.

Setelah bekerja dan dari uang tabungan yang diberi Ayah, kubeli rumah baru yang sekarang ini kutempati. Rumah yang cukup untuk kutinggali dan bergerak dengan bebas. Namun, tetap saja rasanya kosong.

081xxx

Sorry, gue pernah cerita sama dia dulu kalau gue pernah punya masalah sama lo, Hasbi masih inget itu, jadi waktu dia tahu gue kakak lo, dia udah bisa nebak apa yang terjadi.

Aku Ingin Dunia yang Tidak Memiliki WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang