{4}
Kedatangan Ayah kemarin tampaknya memengaruhi suasana hatiku, sejak bangun tidur tadi rasanya seperti aku baru saja melewati satu pekan panjang tanpa libur. Terlebih Ayah terus mengajak berdebat yang dia anggap sebagai bentuk kewajiban seorang ayah kepada anak gadisnya.
Aku sudah menunjukkan wajah tidak tertarik dan menjawab pendek-pendek, tetapi sepertinya dia tidak memahami sinyal yang kuberikan. Ya, bagaimanapun juga aku tidak akan bisa dengan gamblang mengatakan, hei, tolong berhenti, aku lelah dan ingin istirahat di Minggu yang langka ini.
Bagaimana tidak langka, Minggu hanya ada empat dalam sebulan, sedangkan Sabtu belum tentu libur.
Apalagi jika akhir bulan atau yang paling parah akhir tahun, aku bisa sepekan lebih tidak libur sama sekali. Bukan hal besar, sebagai akuntan aku sudah terbiasa akan hal itu. Jangankan akhir bulan atau akhir tahun, pekerjaan sehari-hari ada yang tidak cocok saja rasanya tidak sanggup meninggalkan kursi dan meja kantor.
Percuma juga jika pulang, tetapi pikiran ada di kantor. Sebetulnya aku tidak mau menjadi orang yang seperti itu, jujur saja menyiksa, tetapi, huft, diriku tidak mau diajak bekerja sama.
Pasca sering mengamuk jika aku sudah begitu, apalagi jika pekerjaan tersebut tenggat waktunya masih dua hari, tetapi aku sudah sibuk seperti orang gila, bagaimana tidak? Jaga-jaga kalau ada yang perlu diperbaiki. Dia bisa naik ke atas dan marah-marah, skenario terburuknya adalah dia diam saja di sebelahku dengan tatapan yang menakutkan sampai aku mau ikut makan dengannya atau pulang.
Dia memang diam, tetapi tatapannya berisik sekali dan membuatku jengah.
Pasca adalah sahabatku sejak awal masuk perusahaan ini, kami sama-sama pelamar kerja waktu itu. Dia melamar ke bagian pemasaran dan aku ke bagian akuntan. Waktu itu kami hanya saling tidak sengaja bertabrakan di tangga, karena lift penuh dan aku perlu menyiapkan diri untuk bertemu pewawancara, jadi kupilih tempat sepi seperti tangga darurat.
Kebetulan sekali Pasca juga di sana, sedang duduk di tangga akhir lantai ketujuh. Tangga di kantor kami disekat oleh tembok, jadi setiap akan naik ke tangga baru di lantai selanjutnya aku tidak akan bisa melihat orang yang turun dari sana atau bahkan duduk di sana seperti Pasca.
Lagi pula mana kutahu ada orang yang hobi duduk di tangga macam Pasca?
Apalagi Pasca waktu itu sedang duduk di lantai paling bawah dekat tembok, jika dari posisiku maka dia duduk di sebelah kiri sedangkan aku tentu saja berjalan di sisi kiri karena akan naik.
Aku menubruk tubuhnya dan hampir terjatuh jika Pasca tidak punya refleks yang bagus, dia memegangi tanganku.
Setelah saling menyatakan permintaan maaf masing-masing, Pasca menawariku roti yang sudah dia gigit. Mungkin karena gugup dia jadi bodoh seperti itu, karena begitu melihatku memandangi roti yang dia ulurkan, dia menarik tangannya dan terkekeh. Namun, belum sampai tangannya turun, aku mengambil roti itu.
Ya, aku juga lapar. Tentu kubagi dua rotinya.
Setelah itu kami berjalan bersama ke ruang wawancara dan setelahnya menyunggingkan senyum sebagai tanda perpisahan. Namun, siapa sangka sewaktu pertama masuk kami juga bertemu kembali di tangga darurat?
Kami sama-sama gugup dan menertawakan kekonyolan masing-masing.
Ya begitulah, persahabatan kami dimulai begitu saja. Pasca pria yang ramah dan bicara dengannya membuatku nyaman, jadi, sebagai orang baru yang waktu itu tidak punya teman Pasca bukan pilihan buruk juga.
Meski kami bekerja di lantai yang berbeda, itu bukan permasalahan besar, sebab Pasca langsung meminta nomorku begitu kami akan diarahkan ke ruangan masing-masing. Aku di lantai 5 dan Pasca di lantai 3.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Dunia yang Tidak Memiliki Waktu
ChickLitCover baru Ada satu pertanyaan dalam hidup ini yang belum bisa kujawab. Apakah keinginan dan keyakinan untuk menikah itu muncul dengan sendirinya atau dipaksa hadir? Banyak orang yang berkata bahwa di usia dua puluh tujuh ini aku harus mencoba, aku...