Hujan, tetapi bukan musim hujan

113 16 14
                                    

{13}

Aku tidak tahu kenapa beberapa hari ini sering sekali tiba-tiba hujan di waktu yang tidak tepat, padahal bulan-bulan ini bukan waktunya turun hujan. Seperti sore ini, aku masih menunggu hujan berhenti di lobi kantor. Banyak yang menunggu hujan reda, tetapi juga banyak yang menerobos bermodal jas hujan atau naik mobil.

Aku melihat satu per satu pergerakan manusia di hadapanku, yang mampu mataku jangkau.

Ketika aku berhenti dan duduk di lobi saat ini, tidak terburu-buru seperti biasanya, kulihat orang yang lalu-lalang. Baru kusadari ternyata banyak sekali manusia, selama ini aku sepertinya terlalu sibuk dan fokus dengan diriku sendiri. Aku penasaran apakah mereka juga sedang menyembunyikan sesuatu yang benar-benar mereka rasakan.

Namun, aku tidak bisa melihat apa pun dari wajah mereka. Itukah juga yang mereka lihat dariku?

Kadang-kadang aku merasa dunia ini sungguh tidak adil, kenapa hanya aku yang menerima cobaan bertubi-tubi? Mengapa dari sekian banyak manusia, dunia memilihku untuk menjadi satu orang yang akhirnya tidak memiliki siapa-siapa yang bisa diandalkan?

Kadang-kadang ketika aku melihat seseorang sedang tertawa tanpa beban, aku menerka-nerka bagaimana ya menjadi dirinya. Apakah aku tidak akan menjadi Sekar yang terlalu banyak berpikir? Apakah aku bisa bergerak spontan dan menjadi lebih ringan memutuskan sesuatu?

Sebab, bagaimanapun juga aku sering merasa lelah dengan diri sendiri.

"Ehem."

Dehaman keras di sebelahku membuatku menoleh, aku tersenyum kepadanya ketika dia terus melihatku tanpa kedip.

"Apa?"

Pasca menggeleng, dia tidak lagi menatapku dan matanya menatap sekumpulan manusia yang juga kulihat.

"Lo kemarin enggak berangkat?"

"Iya."

"Tumben."

Memang sih aku jarang dan hampir tidak pernah izin jika tidak benar-benar sakit, wajar Pasca berkata begitu. Namun, tidak ada sedikit pun niat untuk menjawab kalimatnya yang terakhir itu. Meski dia tidak bertanya, tetapi aku merasakan sedikit nada bertanya di sana.

"Lo udah makan?"

Aku menggeleng.

"Makan yuk?"

Aku menoleh padanya.

"Makan apa yang enak?" tanya Pasca lagi.

"Hmmm, mie ayam enak nggak sih?"

Pasca tersenyum dan mengangguk, kedua tangannya bahkan bertepuk, tanda dia benar-benar setuju dengan apa yang kuusulkan. Namun, sekarang yang menjadi masalahnya adalah bagaimana caranya kami bisa sampai ke sana? Aku membawa motor, Pasca juga.

"Gimana ke sananya?"

"Pesen Grab, dong." Pasca sudah sibuk dengan ponselnya untuk memesan ojek mobil online, di saat aku masih menatapnya penuh tanya.

"Terus motor?"

"Ntar ke sini lagi, kalau lo capek banget gue anter deh. Tenang aja gue lagi seneng karena kerjaan bulan ini selesai tadi, dan selama beberapa hari ke depan gue lumayan senggang. Lo suruh gue nginep di rumah lo juga nggak apa-apa."

Aku memukul lengannya. "Hubungannya apa!"

Dia tertawa, satu hal yang kusuka dari Pasca adalah dia tidak akan bertanya ada apa padaku. Dia akan membuat perasaanku lebih baik dengan sesuatu seperti sekarang ini. Mobil pesanan kami sudah datang, Pasca mengajakku berlari menerobos hujan sampai masuk ke dalam mobil.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Ingin Dunia yang Tidak Memiliki WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang