{6}
Aku menghela napas panjang, bertanya-tanya kepada diri sendiri sembari masih menatap mata Hasbi. Haruskah kuutarakan? Apakah tidak akan percuma? Mengapa aku tidak langsung menolak saja, kenapa juga harus ada penjelasan? Aku tidak suka, dia mungkin tidak paham kenapa aku tidak suka, percuma juga dijelaskan.
Kuhela napas sekali lagi. "Gue rasa lo terlalu egois, Mas Hasbi. Apa yang lo harap dari menilai secara sepihak?"
Hasbi terlihat hendak menjawab, tetapi matanya tidak fokus, sepertinya dia tidak mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti ini dariku.
"Karena, gue pikir dengan begitu kalau nggak cocok kita nggak perlu susah-susah menjelaskan. Pakai drama nggak enak hati, nggak perlu mencoba mencari alasan yang paling halus supaya nggak menyakiti."
Alasan yang diungkapkan Hasbi tidak bisa kuterima, entah bagaimana mendengarnya membuatku melihat sosoknya yang egois. Maksudnya, bagaimana jika pada akhirnya dia harus membuat keputusan yang berkaitan dengan orang lain, tetapi dia tidak meminta pertimbangan orang itu?
Bukankah keputusan itu rawan menyakiti pihak lain?
Apalagi ini perihal mendekati dengan niat yang serius, dia juga memberikan perhatian-perhatian, mengajak pergi dan makan berdua, mendatangi tempat kerja, dan berbagai hal lain. Bagaimana bisa dia abai dengan kenyataan jika perlakuannya itu bisa saja membuat hati perempuan berharap?
Bagaimana jika perempuan tersebut berharap atas perlakuan manisnya, lalu berharap semakin lama mengenal mereka semakin serius, sedangkan di sisi lain Hasbi semakin lama semakin tidak menemukan kecocokan dan berakhir pergi begitu saja? Hanya karena merasa tidak ada ikatan yang membuatnya berpikir untuk menjelaskan sebelum pergi?
"Semua hal yang nggak sesuai ekspektasi bakal nyakitin, Mas, kalau-kalau lo lupa. Seenggaknya, kalau lo kasih tau perempuan yang mau lo deketin, kalian bisa saling mengenal hal-hal yang memang harusnya dikenali. Sebagai temen tentu gue nggak akan banyak menunjukkan sesuatu di depan lo. Jadi kalau lo mau menilai gue dari hubungan semacam ini, itu juga nggak tepat."
Aku tertawa, memikirkan apa isi kepalanya selama ini. Kutatap matanya lurus-lurus. Sebenarnya aku tidak mau mengatakannya, tetapi jujur saja aku geram. Entah kenapa?
"Ada batas jelas antara berteman dan setuju buat saling mengenali. Yang berhak mengenali bukan cuma lo aja, pihak perempuan juga."
Hasbi terdiam, senyum yang semula bertengger sopan di bibirnya luntur seketika. Matanya masih menatap mataku tanpa berkedip, ada kilat kesal di wajah itu. Aku tentu cukup tahu diri bahwa respons yang seperti itu pasti kudapatkan.
Dia menghela napas dan mengangguk-angguk, kemudian dia mencondongkan tubuh ke depanku.
"Lo," katanya pelan, pelan sekali, tetapi bisa kurasakan hawa dingin melingkupi tubuhku. "Mungkin lo bakal jadi perawan tua dengan semua pemikiran rumit lo itu. Lo nggak bisa ya ngelihat niat baik orang? Kenapa lo menyudutkan gue begitu? Nggak semua hal di dunia ini seburuk yang ada di otak lo."
Kali ini akulah yang diam. Seluruh pertanyaan yang terkumpul di kepalaku selama ini terngiang-ngiang kembali. Benarkah masalahnya ada dalam diriku? Apakah aku tidak menikah juga sampai detik ini karena selalu menolak pria secara diam-diam, karena pemikiran-pemikiran rumitku?
Aku tidak bisa menjawab, sampai Hasbi pergi dari hadapanku begitu saja, aku masih duduk tanpa bergerak sedikit pun. Aku takut, aku takut jika bergerak maka jawabannya adalah iya. Aku tidak mau berpikir apa pun, aku hanya ingin diam saja.
Sesuatu yang berat menggelayuti hati, kepalaku juga terasa sakit.
Seorang pelayan mendatangiku dan berkata bahwa Hasbi sudah membayar semua pesanan kami, yang kuingat aku hanya menjawab pelayan tersebut dengan tidak jelas dan tiba-tiba saja sudah di depan jalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Dunia yang Tidak Memiliki Waktu
ChickLitCover baru Ada satu pertanyaan dalam hidup ini yang belum bisa kujawab. Apakah keinginan dan keyakinan untuk menikah itu muncul dengan sendirinya atau dipaksa hadir? Banyak orang yang berkata bahwa di usia dua puluh tujuh ini aku harus mencoba, aku...