Part 14

87 10 2
                                    

Pelajaran tengah berlangsung di pondok pesantren Nurul Qadim. Seluruh santri tengah berada di dalam kelas. Seperti Aisa, Wirda dan Veve yang tengah mengerjakan tugas dari Ustadzah. Setelah para santri selesai menulis catatan yang ada di papan tulis, Ustadzah Vanya mencoba menjelaskan apa yang ada di papan tulis.

"Oke, hari ini Ustadzah Vanya mau menjelaskan tentang takdir sesuai materi pelajaran kita. Takdir itu adalah kehendak Allah. Kita sebagai manusia ciptaan Allah dan tinggal di bumi Allah, jadi sudah seharusnya kita yang diatur sama Allah, bukan kita yang mengatur Allah.

Semua tentang kita, alur kehidupan kita mulai sejak kita dalam kandungan Ibu kita sampai maut menjemput kita, alur kehidupan kita diatur oleh Allah. Hal-hal apa pun yang nantinya Allah masukan ke dalam alur cerita kehidupan kita, kita harus bisa menerimanya dengan ikhlas."

"Maaf, Ustadzah, saya potong penjelasannya. Saya mau bertanya, boleh?" tanya Aqilah –salah satu santriwati.

"Silakan."

"Bagaimana caranya biar bisa ikhlas ketika Allah kasih kita cobaan? Soalnya kalau saya lihat orang-orang kok mudah banget buat ikhlas."

"Ikhlas itu nggak mudah. Siapa yang bilang ikhlas itu mudah? Apa orang-orang itu sendiri yang bilang ke kamu kalau ikhlas itu mudah?" Aqilah  menggeleng.

"Melihat dan merasakan itu dua hal yang berbeda. Bukan hanya karena kalian melihat mereka nggak pernah bersedih, nggak pernah menangis, nggak pernah mengeluh, terus kalian beranggapan bahwa mereka ikhlas begitu aja? Nggak. Apa yang kalian lihat, belum tentu mereka merasakan.

Seperti ucapan Aqilah tadi. Dia melihat orang di luar sana ketika mendapat cobaan, mereka bisa dengan mudahnya ikhlas begitu aja. Itu belum tentu benar. Apa yang Aqilah lihat belum tentu benar. Bisa jadi mereka merasakan yang namanya kecewa, menangis, kesal, sakit hati sama Allah. Bisa jadi mereka juga marah sama Allah karena sudah merancang alur kehidupan mereka seperti itu. Bahkan bisa jadi juga mereka pernah menjauhi Allah hanya karena Allah memberikan takdir yang buruk untuk mereka. Hanya karena Allah merancang alur kehidupan mereka dengan lika-liku.

Kalau Aqilah melihat orang-orang di luar sana seperti ikhlas ketika mendapat cobaan, itu artinya mereka pandai menyembunyikan perasaan mereka, sehingga yang Aqilah lihat adalah keikhlasan dari wajahnya. Tapi, kan, Aqilah nggak tahu isi hatinya. Bisa jadi mereka menjauhi Allah dengan meninggalkan shalat karena Allah sudah memberikan cobaan bertubi-tubi pada mereka. Bisa jadi juga mereka setiap malam menangis karena nggak sanggup menghadapi cobaan itu."

Ustadzah Vanya berhenti sejenak sembari memandangi para santriwati yang mendengarkannya dengan seksama. "Kalian jangan mudah menilai orang lain dari wajahnya. Karena apa yang mereka tampakan di wajahnya belum tentu sesuai apa yang mereka rasakan dalam hatinya. Jadi, kejujuran itu adanya dalam hati, bukan tampak di wajah. Seperti Aqilah. Dia tertipu dengan orang-orang yang menampakan keikhlasan di wajahnya, tapi belum tentu hatinya seperti itu. Bisa jadi dalam hatinya masih tersimpan kekecewaan terhadap Allah karena terlalu banyak cobaan yang mereka hadapi."

"Terima kasih atas penjelasannya, Ustadzah."

"Sama-sama, Aqilah." Tampak senyuman manis di wajah Ustadzah Vanya. "Intinya, ikhlas itu memang tidak mudah. Butuh proses dan waktu yang panjang. Tapi, untuk bisa berada di puncak keikhlasan, jangan pernah tinggalkan Allah dalam keadaan apa pun. Terus kejar Allah, agar semua rasa yang salah yang sedang bertahta di hati kalian, berubah menjadi rasa yang benar. Yaitu, ikhlas. Hanya ikhlas rasa yang paling tepat untuk kalian pelihara dalam hati ketika cobaan itu datang," lanjutnya.

Ketika Ustadzah Vanya tengah menerangkan materi pelajaran, tiba-tiba bel sekolah berbunyi. Di mana pembelajaran para santri telah usai. Para santri berhamburan keluar kelas dan kembali ke asrama untuk meletakan buku-buku mereka.

***

Aisa, Wirda dan Veve jalan-jalan sore di Taman setelah selesai shalat ashar, sekaligus mereka menghafalkan kitab yang akan mereka setorkan nanti usai shalat maghrib.

Aisa menutup kitabnya dan menengok ke arah dua sahabatnya itu. "Oh, iya. Kalian tahu nggak? Kalau anak kecil yang waktu itu aku tolong–" Kalimat Aisa terpotong dengan Veve yang tiba-tiba angkat suara.

"Nah! Gara-gara kamu nolongin anak itu lama banget, Ibu kamu sampai nanyain kamu ke aku sama ke Kak Wirda. Kasihan Ibu kamu nunggu lama di aula. Lagian kamu lama banget nolongin anak itu."

"Kalau orang mau cerita jangan dipotong. Ini juga aku mau cerita. Dengerin dulu!" tukas Aisa.

"Jadi, anak kecil itu jatuh terus kakinya keseleo, tapi lukanya cuma sedikit. Kalian tahu nggak dia siapa? Ternyata dia adiknya akhi Azmi."

"Oh, ya? Ah! Kamu sih!" Wajah Veve mendadak kesal pada Aisa.

"Lah! Kok jadi nyalahin Aisa?" tanya Wirda.

"Coba aja kalau Aisa nggak minta kita buat duluan pergi ke aula, kita pasti ikut bantuin adiknya akhi Azmi juga. Aku jadi nggak bisa ketemu adiknya deh." Bibir Veve mendadak manyun karena kesal dengan ulah Aisa kemarin.

"Aku, kan, minta kalian duluan ke aula karena aku takut orang tua kalian udah pada nungguin di sana."

"Assalamu'alaikum." Aisa, Veve dan Wirda menengok ke seorang santriwati yang menghampiri mereka.

"Wa'alaikumussalam," jawab serentak. "Ada apa?" tanya Wirda.

"Ini saya dapat amanah dari Ustadzah Zia. Saya disuruh sama beliau buat kasih cokelat ini ke ukhty Aisa." Santri itu menyodorkan cokelat dan pegangnya kehadapan Aisa.

Aisa mengambil cokelat tersebut. "Makasih ya. Tapi, maaf, tumben Ustadzah Zia kasih aku cokelat?"

"Kata beliau cokelat itu dari anak kecil namanya Rara. Beliau juga menyampaikan permintaan maaf karena baru bisa menyampaikan cokelat ini ke ukhty. Sebenarnya anak kecil itu titip cokelat ini semalam sebelum pulang dari pondok, tapi Ustadzah Zia masih sibuk dan belum sempat kasih cokelat ini ke ukhty. Ya udah, saya permisi dulu. Assalamu'alaikum."

"Makasih banyak ya. Wa'alaikumussalam."

"Wa'alaikumussalam," jawab Veve dan Wirda bersamaan.

"Enak banget yang di kasih cokelat sama adiknya akhi Azmi," ledek Veve.

"Apaan sih! Orang cuma cokelat doang juga."

"Tapi, kalau buat Veve tuh cokelat berharga banget, Sa. Dia pasti bakaln anggap itu cokelat cinta dari sang calon adik ipar," ledek Wirda yang disertai dengan tawanya.

"Ish! Reseh banget sih, Kak Wirda."

Aisa turut tertawa atas ledekan Wirda yang lucu yang berhasil membuat Veve kesal. Tetapi, jujur saja bahwa sebenarnya dalam hati Veve dia cemburu pada Aisa yang bisa dekat dengan adiknya laki-laki yang dia suka. Apalagi teringat Aisa yang pernah ngobrol berdua dengan Azmi di bawah pohon rindang, membuat Veve mempunyai pikiran bahwa hati Aisa sudah luluh dan tak jutek lagi pada Azmi.

Timbul sedikit rasa kekhawatiran dalam hati Veve bila suatu hari Aisa jatuh cinta laki-laki yang dia suka. Veve tak ingin bila persahabatannya menjadi korban cinta segitiga suatu saat nanti.

"Sekarang kamu udah nggak anti lagi ya sama cowok?"

"Maksud kamu jutek gitu?"

"Iya. Soalnya, biasanya kalau aku sama Kak Wirda lagi bahas cowok, kamu paling malas gitu. Tapi, sekarang malah kamu duluan yang bahas akhi Azmi. Udah nggak jutek lagi sama dia?"

"Ya Allah, Ve. Siapa juga yang bahas akhi Azmi? Aku lagi cerita anak kecil itu yang ternyata adiknya akhi Azmi, bukan cerita tentang akhi Azmi nya."

Veve tak menanggapi perkataan Aisa. Setelah Aisa mengatakan demikian, Veve beranjak dari kursi dan berjalan meninggalkan Aisa dan Wirda. Entahlah, rasanya ingin cemburu, tetapi dia bukanlah seseorang yang berharga dalam kehidupan Azmi. Kenyataannya, Veve bukanlah siapa-siapanya Azmi.

"Ayo, balik ke asrama!" teriak Veve ketika langkahnya sudah jauh dari tempat di mana dia berkumpul tadi bersama Aisa dan Wirda.

Cinta Dalam Istikharah [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang