Cuplikan BAB 15

4.4K 115 1
                                    

#STATUS_WA_SUAMI

Cuplikan Part 15

Tiba di rumah besar Mami, kedua kakak Mas Reno dan anak-anaknya sudah berada di sana. Seperti biasa kami disambut dengan hangat.

Aku dan Mas Reno menemui Mami. Wanita yang biasanya energik itu terbaring dengan jarum infus di lengannya. Wajah Mami tak terlihat lemah. Tetap tegas seperti biasa.

Kata papi, darah tinggi Mami kambuh. Bahkan tadi hampir saja terjatuh.

"Mami jangan terlalu banyak mikir, ya!" pintaku.

"Mami cuma kangen aja sama kalian," sanggahnya. "Udah lama, loh, enggak pernah ngumpul gini."

Setelah ngobrol beberapa saat dengan Mami, aku dan Mas Reno bergabung dengan Papi dan kedua kakak Mas Reno. Mas Randi dan Mas Reski. Ketiga anak Mami ini tampan semua. Dengan postur tubuh yang sama gagahnya, sekilas mereka terlihat sama.

Kami duduk di karpet tebal di sebelah ranjang Mami. Sementara kedua ipar Mas Reno sedang menidurkan anak-anak mereka.

Di kamar Mami kami mengobrol ringan. Sesekali Mami ikut menyahut. Wanita tegas itu belum mau tidur. Katanya sudah tidur sejak sore dan baru bangun sebelum aku datang.

Hampir tengah malam Mami tertidur. Barulah kami tidur di kamar kami masing-masing. Tubuhku rasanya lelah sekali.

"Mas pijat, ya, Dek!" ucap Mas Reno saat aku berbaring.

Tanpa menunggu jawabanku Mas Reno langsung memijatku. Lelaki ini memang tahu sekali saat aku kelelahan. Tanpa diminta pun ia memijatku sampai aku tertidur.

Kadang dengan sikap Mas Reno yang demikian, aku merasa bersalah telah bersikap dingin padanya. Namun, saat teringat kembali kesalahannya, rasa bersalah itu menguap lagi. Hatiku membeku lagi.

Pagi harinya kami sarapan bersama. Tentu saja di karpet kamar Mami. Dengan dipapah Papi dan Mas Reno, Mami bergabung bersama kami.

Di rumah ini Mas Reno memang seperti dianak-emaskan daripada kedua kakaknya. Mungkin karena Mas Reno anak bungsu. Namun, kedua kakak Mas Reno tak pernah kulihat sekalipun protes atau berbuat yang tidak baik. Mungkin karena sosok Papi yang berwibawa dan Mami yang tegas, membuat anak-anaknya segan untuk bertingkah.

Mbak Viola, istri Mas Randi si sulung. Mbak Dewita, istri Mas Reski, si tengah. Kami bertiga cukup akrab. Kami sering jalan berempat dengan Mami tentunya. Kalau sampai kami jalan, tetapi tak memberitahu Mami, sudah pasti Mami akan ngomel-ngomel tak karuan.

Namun, sejak aku bergabung di perusahaan Papi, mereka berdua seperti menjaga jarak. Mungkin berpikir aku sekarang sibuk, atau bisa jadi tidak suka, atau apa aku tak tahu.

Seperti kali ini, semalam bahkan mereka tak menemuiku sama sekali. Dan sarapan kali ini pun, aku seperti dicueki. Untung ada Mami. Wanita itu sejak dulu tak berubah kepadaku. Bagaimanapun keadaanku.

Usai sarapan, kami pamit pada Mami untuk ke kantor. Sebelum berangkat kusempatkan untuk menelepon Tomi. Aku ingin bertemu dengannya sebelum ke kantor.

"Aku tunggu di Kafe Orizon, Tom," ucapku.

Lelaki yang kutelepon itu pun menyetujui.

Kami berlima keluar dari rumah besar ini bersama-sama. Mbak Viola dan Mbak Dewita berserta anak-anaknya pun ikut ke depan mengantar suaminya.

"Mas, aku mau mampir dulu," pamitku pada Mas Reno. "Kamu berangkat bareng Papi gimana?"

"Mampir kemana?" tanya Mas Reno.

"Aku mau ketemu sama teman."

"Teman?" tanya Mas Reno dengan mengangkat sebelah alisnya.

Aku mengangguk. Berharap ia tak memaksa ikut. Karena selama ini kami seringnya kemana-mana selalu bersama.

Mas Reno menghela nafas kemudian berkata, "ya, sudah. Tapi jangan lama-lama, ya?"

Aku mengangguk.

Lelaki berhidung bangir itu tersenyum manis. Kemudian mencium puncak kepalaku.

"Ya, sudah. Hati-hati, ya! Kalau ada apa-apa langsung hubungi Mas!" pesannya.

Melihat tiga bersaudara itu memasuki mobil mereka, aku seperti dejavu. Apalagi mobil Mas Reski dan Mas Randi sama dengan mobil Mas Reno di rumah. Mobil fasilitas dari kantor.

Aku menggelengkan kepala. Berusaha mengembalikan kesadaran. Kemudian masuk ke dalam mobil.

Cafe masih belum begitu ramai saat aku memasukinya. Tampak beberapa orang berpakaian kantor di dalamnya. Kupilih tempat duduk di dekat kaca bening yang cukup lebar. Agar aku bisa melihat saat Tomi datang.

Setengah jam sudah berlalu dari waktu yang kami tentukan. Namun, Tomi belum juga kelihatan batang hidungnya. Kuputuskan untuk meneleponnya, tetapi suara operator yang kudengar.

"Kenapa nomornya enggak aktif?" gumamku.

Kuputuskan untuk menunggu lagi setengah jam kedepan. Kalau sampai ia masih tak juga datang, maka aku akan pergi.

Secangkir latte di mejaku sudah tandas tak bersisa. Namun, Tomi belum juga muncul. Nomornya pun belum bisa dihubungi.

Firasatku jadi tidak enak.

Ada apa dengannya? Apa terjadi sesuatu dengannya?

Selengkapnya ada di KBM App yaa. Yang penasaran dengan cerita selengkapnya bisa klik link di bawah ini.

https://kbm.id/book/read/f73bb126-cdbe-c886-44ad-e86c3794c916/c9d93209-c1f3-53b4-c022-67df22645d2a?af=5284f5e5-c46f-0df4-cd93-5ad2ea012b3f

STATUS WA SUAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang