Usia bayi kami sudah tiga bulan saat aku mulai menyadari Mas Reno tampak lebih kurus dari sebelumnya. Padahal nafsu makan dan aktivitasnya tidak banyak berubah. Malam hari pun ia tak lagi ikut begadang menjaga Cilla karena aku tidak tega.
Siang dia sudah cukup lelah bekerja untuk kesejahteraan kami, jadi biar malam hari aku yang mengurus bayi kami, Priscillia Salsabila. Bayi cantik yang biasa kami panggil Cilla. Namun, aku mengamati berat badan Mas Reno saat ini menyusut cukup jauh dari sebelum kami mempunyai anak.
"Mas, coba deh, kamu timbang!" saranku saat menemani Mas Reno sarapan sebelum ke kantor.
"Kenapa emangnya? Aku kegemukan, ya?" Mas Reno menyengir kuda mengajak bercanda.
Aku menautkan kedua alis. Tak menanggapi candaannya. Aku memang paling khawatir kalau sudah menyangkut kesehatan orang-orang yang kucintai.
"Emang kamu enggak merasa kalau badan kamu kurusan, Mas?"
"Kamu ngerasa gitu?"
Aku mengangguk. "Tuh, kemeja kamu juga kayak kebesaran gitu."
"Kayaknya emang iya, sih. Temanku juga banyak yang bilang aku kurusan."
"Masa?"
"Iya. Emang kelihatan banget ya, Ma?" Sejak punya anak, Mas Reno mengubah panggilannya padaku dari Dek menjadi Mama.
"Lumayan, sih. Makanya aku minta kamu timbang."
Mas Reno tak merespon. Ia melanjutkan menikmati sarapannya.
"Aku ambilin timbangan, ya? Habis makan coba kamu timbang."
"Siap, Nyonya!"
Aku dan Cilla ikut menyaksikan Mas Reno yang menimbang berat badannya. Bayi kami sudah bangun saat aku mengambil timbangan yang tersimpan di kamar. Jadi, sekalian aku menggendongnya ke bawah.
"Papa mau timbang, Sayang. Biasanya Cilla yang timbang, ya, kan? Sekarang giliran Papa." Aku mengajak ngobrol Cilla, meski bayi itu belum mengerti ucapanku.
"Kayaknya Papa kurusan gara-gara dagingnya buat Cilla, deh," sahut Mas Reno yang mulai menaiki timbangan digital itu.
"Berapa, Mas?"
"53."
"Hah? Turun banyak banget!"
Mas Reno mengusap belakang kepalanya.
"Kamu sehat, kan, Mas?"
"Sehat. Kamu liat sendiri, kan?"
"Kok, bisa sampai turun banyak gitu, ya?" Tadinya saat menemani aku periksa kehamilan, berat badan Mas Reno mencapai 70 kilogram. Bahkan terkadang lebih satu atau dua kilogram.
"Belakangan aku emang sering banget sariawan enggak sembuh-sembuh, Ma. Jadi buat makan kurang enak."
"Kenapa enggak diobati?"
"Udah. Aku minum vitamin C sama minuman yang buat sariawan itu, Ma."
"Kita ke dokter, ya, Mas?"
"Halah, cuma sariawan doang, loh, Ma."
"Bukan masalah itu, tapi berat badan kamu turun banyak banget, loh, Mas."
"Nanti aku makan banyakan juga pasti bakal naik lagi."
Aku menghela napas panjang. Mas Reno memang paling susah kalau diajak ke dokter. Saat sudah sakit pun, ia cuma minta dipijat dan minum obat dari apotek. Sepertinya laki-laki itu sangat anti dengan yang namanya dokter.
Sementara aku khawatir kalau Mas Reno sampai kenapa-kenapa. Terlebih kini ada Cilla yang harus punya mama dan papa yang sehat.
"Nih, pegang!" Mas Reno mengambil sebelah tanganku dan menempelkan pada keningnya. "Enggak panas, kan?"
Aku mendengkus.
"Mama itu over, Cil. Masa Papa sehat gini suruh periksa ke dokter. Aneh, kan?" Giliran laki-laki itu berbicara dengan putrinya.
"Iya, semoga kita semua sehat dan diberi umur panjang," sahutku tak mau menambah panjang masalah.
Usai perbincangan itu, aku tak pernah lagi menyuruh Mas Reno ke dokter. Aku hanya mengawasi lelaki itu dan memberinya makanan sehat. Sungguh, aku memang paling takut jika Mas Reno jatuh sakit.
Bagaimanapun hanya dia yang aku punya di dunia ini. Dia tempat bersandar, tempat berlindung, dan segala-galanya bagiku. Aku ingin bisa menua bersamanya. Melihat anak kami tumbuh dengan sehat dan menyambut masa depannya dengan bahagia.
"Bekalnya jangan lupa dibawa, Mas!" ingatku saat Mas Reno hendak berangkat kerja sementara aku sedang memakaikan baju Cilla yang habis mandi.
"Iya, Ma. Ya udah, aku langsung turun terus berangkat, ya. Kamu baik-baik di rumah sama Cilla, ya!"
Seperti biasa Mas Reno mengecup keningku dan mencium gemas wajah Cilla. Setelahnya laki-laki itu turun ke lantai satu dan berangkat kerja.
Sejak ada Cilla, aku memang tidak lagi rutin mengantar Mas Reno sampai teras saat berangkat kerja. Karena Cilla selalu rewel saat belum dimandikan setelah bangun tidur. Jadi, begitu bayi itu bangun, aku langsung sibuk memandikan dan mengurus keperluannya terlebih dahulu. Sementara untuk urusan rumah, kami memakai jasa ART yang bekerja sampai sore, jadi tidak perlu menginap.
Pagi itu beberapa saat setelah Mas Reno berangkat, Cilla rewel sekali. Anak itu tidak mau ditidurkan, maunya terus dalam dekapan. Itu juga aku harus berjalan-jalan. Saat aku berdiri dia langsung menangis, apalagi saat aku duduk. Dan anehnya, dia tidak mau diajak Mbak Sum, ART yang bekerja di rumah kami. Padahal biasanya anak itu mau-mau saja.
"Sayang kenapa?" tanyaku pada bayi yang belum bisa bicara itu sambil terus mengayun dalam gendongan.
"Coba dikasih ASI, Bu. Siapa tahu lapar," usul Mbak Sum yang kini juga berada di kamarku.
"Udah, tapi enggak mau, Mbak. Aku coba lagi, bentar." Aku kemudian berusaha memberi ASI lagi pada Cilla meski sambil berdiri. Namun, lagi-lagi Cilla menolaknya.
"Badannya anget apa enggak, Bu?"
Sekali lagi kupastikan suhu tubuh Cilla dengan memegang keningnya. Namun, dia sama sekali tidak demam. Suhunya normal sama dengan suhu tubuhku.
"Enggak, Mbak."
"Apa mungkin ada serangga di dalam bajunya?"
"Coba kita liat. Mbak Sum tolong ambilkan baju ganti Cilla, ya!"
Meski Cilla menangis sampai menjerit-jerit saat ditidurkan di ranjang, aku membiarkannya. Kubuka bajunya dan kuperiksa seluruh bagian tubuhnya. Takut ada serangga yang menggigit di bagian-bagian yang sulit terlihat. Aku sampai mengoleskan minyak telon di seluruh permukaan tubuhnya.
Setelah itu Cilla tenang sebentar, tetapi tak lama kembali menangis lagi. Setelah kupakaikan baju dengan cepat, kugendong kembali bayi mungil itu.
"Sayang kenapa? Apanya yang sakit?" tanyaku meski tak mungkin Cilla menjawabnya. Namun, bayi itu masih terus menangis.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Mas Reno. Aku merasa tidak sanggup mengatasi Cilla sendiri kali ini. Mungkin jika digendong papanya Cilla akan tenang.
"Mbak, tolong ambilkan hp di meja rias!"
Mbak Sum langsung mengambilnya dan memberikannya padaku. Sembari terus mengayun Cilla, kubuka kunci layar ponselku. Namun, belum juga kuhubungi nomor Mas Reno, lelaki itu justru sudah menelepon terlebih dahulu.
"Halo, Mas!" sapaku setelah secepat kilat kuangkat telepon darinya.
"Maaf, Bu Sisil. Saya Kinan."
"Kinan? Kenapa telpon pake hp Mas Reno?"
"Itu, Bu. Pak Reno ... beliau pingsan di kantor."
"Apa?!"
Selengkapnya ada di KBM App, Joylada, dan GoodNovel dengan akun Srirama Adafi.
KAMU SEDANG MEMBACA
STATUS WA SUAMI
SpiritualSuami yang bersikap manis ternyata tak mampu menjadi jaminan ia setia. Begitu yang dialami Sisilia. Reno, suaminya selama delapan tahun pernikahan bersikap begitu manis dan romantis. Namun, tak dinyana ternyata dia telah menikah lagi dengan Bulan, m...