Bab 3: Aku Suka, Aku Ambil

169 18 16
                                    

Selamat pagi dunia...

Aku bangun dengan badan pegal-pegal. Sebisanya kulakukan peregangan dengan benar sebelum jogging di sepanjang jalan kompleks kos-kosan yang berujung ke muara, yang jadi spot favoritku untuk menghirup bau mineral laut. Deburan ombak tidak terdengar dari sini karena bagi laut pagi hari yang cerah bukan waktunya untuk mengamuk. Biasanya kalau ada badai di malam hari, aku bisa mendengar deburan ombak dari balik selimut, seakan-akan mereka berhempasan di depan pagar kosan.

Jam digitalku menunjukkan angka 06:02. Aku segera berlari yang membuat otot-otot terasa lebih rileks. Tak lupa kusapa beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak di sepanjang jalan, yang keluar dari pagar rumah mereka untuk membuang sampah dapur atau cabutan rumput halaman. Semua hal sederhana ini membawa perasaan senang ke dalam hatiku.

Sepuluh menit kemudian sampai juga aku di muara. Dua ekor biawak terlihat berenang pelan yang membuatku tertawa karena baru sadar bahwa mereka ternyata berenang dengan menggerakkan ekornya, kupikir selama ini kadal besar itu berenang dengan mengayuh kaki, mereka jadi terlihat imut dibalik imej menakutkannya.

Di bibir pantai sana batu-batu besar tersusun rapi menjorok ke tengah, menjadi tempat kesukaan mahasiswa saat pulang kuliah untuk makan kerupuk mie dan tumis langkitang yang gurih sambil menikmati matahari tenggelam. Tapi pagi ini tidak ada siapa-siapa, aku benar-benar sendiri.

Kuhirup nafas dalam-dalam, membiarkan aroma laut memasuki paru-paruku. Rasanya segar sekali. Laut terlihat tenang dengan ombak kecil yang menepi pelan lalu surut lagi secara baik-baik. Setelah 10 menit berlalu aku balik berlari ke kosan. Sudah mulai ada beberapa anak sekolah yang berjalan kaki atau diantar orang tuanya di sepanjang jalan kompleks. Sebentar lagi aku pun juga akan segera berangkat ke lembaga untuk menjemput motor dan membawanya ke bengkel. Awas saja kalau dugaanku benar bahwa seseorang telah mengempeskan ban motorku.

Selesai mandi jam menunjukkan pukul 07:00. Radha dan Sherly tampaknya sudah pergi dari tadi karena mahasiswa S1 semester satu seperti mereka selalu punya kelas jam 7 pagi di setiap hari perkuliahan. Suara ribut-ribut mereka saat memanaskan motor terdengar saat aku mengeringkan rambut. Setelah memakai jilbab berwarna kuning kunyit aku segera sarapan jus jeruk hangat dicampur madu, roti gandum dengan selai coklat dan blueberry, dan sebutir telur rebus.

Aku teringat pesan Jonathan yang katanya bakal ke sini pagi ini. Apa benar dia akan ke sini? Sepenting itukah botol minumku? Sebenarnya tidak masalah dia tidak mengembalikan hari ini, aku masih punya empat botol lainnya. Lagian itu salahku yang lupa mengambil kembali botol minum yang kutaruh di drink holder mobilnya. Kenapa jadi dia yang merasa bertanggung jawab? Ada-ada saja, lebay. Lagian ini kan hari Rabu, apa dia tidak sekolah?

Aku juga teringat pesan Razzin yang belum kubalas. Segera kuraih ponsel di tegukan terakhir jus jeruk dan membalas pesannya.

Qayya, kamu pulang sama si boxer?

Iyaa.. pasti pak Mode yang ngasih tau yaa?

Iya..

Jawaban Razzin cuma "iya" saja, mungkin dia sedang mengemudi ke kampusnya, Razzin juga merupakan seorang dosen bahasa Inggris di sebuah sekolah tinggi ilmu kesehatan.

Aku segera memencet tombol samping ponsel untuk mematikan layar setelah memesan taksi online. Kemudian mengunci pintu kamar, melewati kanopi, dan membuka pagar kos-kosan yang berlapis fiber abu-abu. Demi langit dan para malaikat yang tinggal di sana aku terkejut mendengar suara Jonathan yang sudah berdiri di depan mobilnya tak jauh dari pagar yang baru saja kututup.

"Kita kayak seumuran kalau kamu pakai baju kayak gitu, no need to call you Miss," ujarnya dengan nada meremehkan. Ia datang dengan seragam SMA putih abu-abu yang membuat kulitnya terlihat pucat.

M JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang