Bab 16: Siapa bilang aku main-main?

103 6 4
                                    

Teras masjid di lantai dua tetap terasa dingin meski cuaca sedang terik. Aku duduk memunggungi dinding roster yang biasanya kusandari dari dalam. Dua jam yang lalu ibu dan kak Nayna bergantian berbicara denganku melalui satu sambungan telepon. Entah mana yang harus kudengarkan antara tangisan ibu atau ceramah kak Nayna. Sepertinya mereka berpikir terlalu jauh. Untung saja tidak lama kemudian ayah menelepon dan aku punya alasan untuk menunda rundungan kata dari ibu dan kakak yang tetap berlangsung walaupun sudah kujelaskan apa yang terjadi sesederhana mungkin.

Tapi ternyata telepon dari ayah juga membuat pikiranku bertambah kacau walau dengan cara yang tak sama. Tak kusangka ayah yang harusnya berada di toko dan bang Febil yang sedang berada di coffee shop-nya sekarang malah sedang berada di perjalanan ke Padang untuk menjemputku, ayah tidak mengizinkanku pulang sendiri ke Bukittinggi hari ini. Mungkin sekarang ayah dan bang Febil sudah melewati daerah Lubuak Aluang. Berarti sekitar satu jam lagi mereka akan sampai di batas kota.

Aku tak ingin beranjak dari teras masjid. Pandanganku yang kosong seperti beradu dengan awan putih besar yang tak bergerak di depan sana. Aku seperti sedang terdampar di suatu bilik waktu yang tak terasa seperti tahun sekarang maupun masa lalu. Kalau boleh meminjam istilah isu fisika quantum, ini terasa seperti garis waktu yang lain.

Kendaraan lalu lalang di bawah sana, orang-orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Semua bergerak secara konstan, sementara bagiku waktu terasa berhenti. Ia membeku layaknya memberi kesempatan untuk melihat bentangan dua jalur yang harus kupilih. Jalan yang ingin kutempuh terlihat lengang namun indah, aku suka bunga-bunga di sepanjang jalan itu. Sedangkan yang satunya lagi terlihat seperti adimarga dengan pepohonan dan tanaman pembatas di tepiannya, terlihat rapi dan indah namun aku tak suka rutinitas di sana.

"Qayya."

Aku terkesiap saat sebuah suara yang jernih memanggil namaku dan dua jalur itu pun buyar sembari lalu lintas di bawah sana kembali terasa nyata.

Haskal tampak berdiri di sampingku sampai-sampai aku mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa aku sedang tidak berhalusinasi.

"Kok Abang tahu Qayya di sini?"

"Ayah yang bilang. Kita ke café dekat sana yuk, atau Qayya mau makan dimana?"

"Qayya ngga lapar Bang, Qayya haus sih."

"Ya udah, kita minum aja di sana."

"Qayya ngga mau kemana-mana, Qayya mau di parkiran aja, boleh ngga bang?" tanyaku sambil berdiri tanpa melihat wajahnya.

"Boleh," jawab Haskal sambil mulai berjalan duluan menuruni tangga masjid. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya saat ini, tapi aku berharap ia mau bersabar menghadapiku dan tidak marah dengan apapun itu yang harus ia dengar. Kuikuti langkahnya menuruni tangga masjid menuju lantai dasar.

Kami berjalan menuju batas suci dan mengambil sepatu di rak besi yang dicat hitam. Cuaca terik membuatku mengeluarkan kacamata photochromic dari tas. Bagiku kacamata ini lebih dari sekedar pelindung pupil siang ini, aku ingin menyembunyikan perasaan yang tak enak dari Haskal. Mataku adalah tipe yang mudah dibaca, dan menurutku itu adalah sebuah kelemahan.

Aku berhenti tepat di bawah pohon kersen rindang yang jadi naungan Haskal memarkir sedannya. Kami duduk di atas pembatas parkiran yang sering digunakan para pengendara untuk bersantai sembari menelepon atau sekedar minum air mineral. Tak lupa kubeli dua botol air yang satunya lagi untuk Haskal. Ia menerima botol itu dengan raut muka yang sedikit kebingungan.

"Bang, makasih banyak ya udah nolong Qayya," hanya itu yang keluar dari mulutku setelah meminum air mineral beberapa tegukan. Rasanya ingin pergi dari sini saat melihatnya bergeming sambil menggenggam botol tanpa membukanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

M JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang