Badai tak pernah datang tiba-tiba. Ia selalu mengawalinya dengan tanda-tanda seperti cuaca dingin, angin kencang, dan awan yang gelap. Beberapa dari kita segera berlindung saat melihat pertanda alam, tapi beberapa lagi terpaksa tetap berjalan melaluinya sambil berharap semoga cepat sampai di rumah dan tidak terkena amuk badai saat masih di tengah jalan. Aku adalah salah satu dari mereka yang terpaksa tetap berjalan itu.
🍂🍂🍂
Jam menunjukkan pukul 6:30 pagi. Aku baru saja selesai berolahraga dan meminum segelas jus jeruk. Udara terasa jauh lebih hangat dari pagi kemarin. Nada dering ponselku berbunyi, ada nama MJ tertulis dilayarnya. Aku yakin ia berada di luar setelah semalam mengirim pesan kalau ia akan mengantar motor pagi ini sebelum berangkat ke sekolah.
Aku tidak mengangkat panggilan itu dan langsung keluar kamar setelah memakai jilbab instan berwarna oren gelap. Aku kaget karena mendapati Jonathan membawa temannya yang sekilas kulihat segera tersenyum saat aku reflek meliriknya. Tampaknya Jonathan yang membawa motorku dan temannya yang mengemudi mobil Jonathan. Aku tak sempat membalas senyumnya karena segera mengalihkan pandangan pada Jonathan. Kuperhatikan sudut bibirnya, pelipis, dan tangan, tidak ada tanda-tanda kekerasan. Tidak ada bekas apa-apa, aku cukup lega dibuatnya. Kupikir dr. Derian akan menampar Jonathan setelah keponakannya itu melewatkan 15 panggilan masuk dari malam sampai pagi kemarin, dan sekalinya diangkat, yang terdengar malah suara bangun tidur seorang perempuan, yaitu aku.
"Kok kamu ngelihatin aku gitu banget?" tanya Jonathan ge er.
"Ngga ada, ih," jawabku mulai bisa kembali ke sifatku yang biasanya.
"Qayya, kenalin ini Albert, tetangga aku," ucap Jonathan memperkenalkan temannya yang memakai seragam sekolah dan menyandang ransel hitam itu.
Jangan bilang itu tetangganya yang memberi hadiah minuman yang membuatku harus memencet tiga password dalam satu malam. Kali ini aku melirik Jonathan dengan tatapan penuh selidik. Ia memamerkan deretan gigi dan mengangkat kedua alisnya pertanda bahwa ia tahu apa yang ada di dalam kepalaku.
"Hai Albert," sapaku sewajar mungkin.
"Hai Kak," jawabnya yang membuatku keki.
"Ini motor kamu taruh dimana?" tanya Jonathan.
"Di teras ini aja," jawabku sambil menunjuk teras di depan kamarku."
Jonathan segera mendorong motor tersebut masuk melewati pagar dan memarkirnya di teras.
"Aku ke sekolah dulu ya."
"Iya, makasih ya..., hati-hati," ucapku sambil memperhatikan Jonathan dan Albert membuka pintu mobil berbarengan. Saat masuk ke teras pandanganku langsung tertuju ke jok motor karena ada kotak makanan di atasnya dengan kertas kecil yang bertuliskan "made in Jupiter". Kubuka kotak kecil itu dan kudapati dua potong roti dengan selai coklat campur blueberry yang dilipat membentuk segitiga, persis seperti yang pernah kubuatkan untuk Jonathan sebelum kami ke pantai untuk membeli ikan waktu itu.
"Manis banget," gumamku sambil senyum-senyum.
Aku segera memakan roti itu karena kebetulan aku baru sarapan dengan jus jeruk saja. Aku kembali teringat bagaimana juteknya aku ke Jonathan sambil sarapan dengan menu yang sama persis dengan ini waktu itu. Kalau dulu aku makan sambil marah-marah, sekarang aku malah makan sambil senyum-senyum. Ya Allah, kapan perasaan ini bisa stabil kembali? Aku tahu aku jatuh cinta, tapi please tidak seperti remaja begini.
Jam menunjukkan pukul 8 saat aku selesai mandi dan beres-beres kertas laporan nilai yang akan kubawa ke lembaga satu jam lagi. Saat sedang memasang hijab tiba-tiba aku mendapat telepon dari kepala cabangku, Bu Andina. Aku mengangkat telepon itu dengan heran karena beliau tidak pernah meneleponku selama ini, paling yang cukup sering menelepon adalah manajer akademis.
KAMU SEDANG MEMBACA
M J
RomanceDia seperti jalan yang lengang, namun aku suka bunga-bunga di sepanjang jalan itu.