Bab 9: Mengaku

110 13 7
                                    

Apakah kau pernah menahan suatu kebenaran sampai membuat dadamu sesak? Kau tak bisa mengutarakannya bukan karena kau tak mau, tapi karena ada tanggung jawab moral yang mengikutinya yang membuatmu tak bisa berkata jujur. Padahal jika kau mengungkapkannya, maka masalahmu selesai. Kau bahkan mungkin akan mendapatkan apa yang kau inginkan dengan berkata demikian, tapi keadaan melarangnya. Kemudian terciptalah dua pilihan yang berada di luar zona nyaman itu: jujur dan melanggar aturan atau berbohong dan kehilangan kesempatan.

🍂🍂🍂

Aku menatap dinding kamarku yang bercat putih dengan nanar, dengan posisi badan berada di kasur tapi kaki terangkat dan menempel di dinding tersebut. Aku baru saja menutup telepon dengan lesu. Aku tak dapat membendung rasa penasaran tentang Haskal dan menanyakan semuanya pada ibu. Sepulang dari Coca-Cola dan sesampainya di kos, aku segera menghubungi ibu. Pembicaraan kami ditutup dengan pertengkaran.

Ternyata ibu tak pernah menyampaikan penolakanku pada bunda Haskal. Ibu marah atas alasanku yang tak jelas dalam menolak laki-laki yang keluarganya berhubungan sangat baik dengan keluarga kami. Ibu hanya mengatakan pada bunda Haskal bahwa aku baru saja memulai kuliah dan punya jadwal yang padat, nanti kalau mata kuliahku tak banyak lagi, maka ibu dan bunda Haskal akan membicarakan ini kembali.

Kenapa aku seperti harus menerima saja? Kenapa mereka mengatur waktu tersebut tanpa persetujuanku? Ibu mengatakan kalau tak ada alasan yang masuk akal untuk tidak mau dengan Haskal. Bukankah perasaan memang seperti itu? Ia tidak pernah berhubungan dengan akal. Kecuali kalau perasaan dilandasi standar-standar tertentu, maka logika memang dikedepankan. Katakanlah aku terlalu naif, tapi aku tak menggantungkan standar apapun saat ini. Aku merasa cukup dengan diriku sendiri, jadi orang yang akan kumasukkan ke dalam hidupku nanti adalah dia yang bisa membawa kebahagiaan. Sampai saat ini Haskal tak membawa perasaan apapun ke dalam hatiku.

Ini baru jam sembilan malam, tapi aku harus tidur, besok ada dua perkuliahan yang harus kuhadiri, kemudian aku akan mengajar kelas Jonathan pada malam harinya. Terngiang lagi kalimat itu, Qayya... aku sayang kamu. Aku tersenyum lara dan menghapus air mataku. Tapi ketika aku menghapus bulir air mata yang sudah terlanjur jatuh, tetes-tetes lain malah turun semakin deras, bahuku berguncang. Aku ingin sekali berbicara dengan Jonathan, paling tidak aku ingin untuk pertama kalinya bercerita dengannya, tentang diriku, tentang cita-citaku, pemikiranku, dan apa-apa yang kuharapkan secara mendalam. Aku ingin punya kesempatan bercerita paling tidak sekali saja. Ia telah memberitahu bagian terburuk dari hidupnya padaku, dan walaupun aku tak punya cerita sepedih itu, tapi kekacauan pikiran ini sudah lumayan mengganggu.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Siapa yang mengganggu malam-malam begini, aku tak ingin menemui siapa pun, apalagi dengan mata bengkak. Aku tidak membukakan pintu tapi ketukan itu tetap berulang.
"Kak..., ini Radha Kak, boleh masuk Kak?"

Aku segera membuka pintu dan menarik Radha masuk ke dalam kamar. Ia terkejut melihatku menangis. Aku segera memeluknya dan menangis sesenggukan di bahu kanannya. Ia mengusap-usap punggungku.

"Kak, kenapa nangis Kak?" tanyanya cemas. Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Kerongkonganku tercekat, rasanya padat sekali. Aku jarang menangis seperti ini, jadi rasanya ada yang padat di kerongkonganku dan ada cegukan-cegukan yang berdesakan ingin keluar.

"Kak, ada Jonathan di luar Kak," ujar Radha. Mataku mendelik mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Radha.
"Apa?" tanyaku lirih sambil berusaha menghentikan cegukanku.
"Jonathan mau ketemu Kakak, Kakak ada masalah ya sama dia? Kakak nangis gara-gara dia?" Tanya Radha beruntun yang semuanya tak kujawab. Aku segera mengambil ponsel yang tergeletak di atas sajadah yang membentang di lantai. Ada lima panggilan tak terjawab dari MJ. Getar ponsel tak terdengar olehku karena berada di atas sajadah tebal.
"Dia ketemu Radha?" tanyaku masih dengan suara tangis.
"Dia ketuk-ketuk gembok di pagar Kak, terus Radha keluar. Dia masih di depan lho Kak. Kakak mau temui dia?"

M JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang