Bab 6: Aku, Kamu, dan Kakap Merah

126 15 15
                                    

Pernah ada yang bertanya padaku apakah aku tidak bosan setiap pagi meminum segelas  jus jeruk hangat yang dicampur madu? Jawabanku adalah tidak. Pagi adalah awal dari cerita yang  berbeda setiap harinya. Itulah kenapa kita sanggup menjalani rutinitas yang itu ke itu saja, karena hari-hari tersebut datang membawa rasa yang berbeda-beda. Mungkin di suatu pagi aku meminum jeruk hangat dengan perasaan biasa-biasa saja, tapi bisa jadi di pagi lain aku meminumnya dengan sedikit bumbu kebahagiaan. Namun, bisa jadi di pagi berikutnya aku akan mereguknya dengan campuran rindu dan keingintahuan.

Seperti pagi ini, aku memulai hari dengan campuran beberapa perasaan yang tak bisa digambarkan ketika ponselku berbunyi dan nama IN05-Jonathan muncul minta diangkat.  Aku meletakkan jeruk yang belum selesai kuperas dan menjawab panggilannya.

"Halo."
"Qayya, aku diluar."
"Lho, ini baru setengah tujuh, kita kan janji jam 7, aku baru mau sarapan ini."
"Ya bawa aja sarapannya, sekalian bawain aku juga. Aku lapar."
"Ih, sengaja ya datang lebih awal minta sarapan?"
"Ih, engga, aku malah mau ngajak sarapan dimana kek gitu sebelum ke pasar."
"Apaan sih. Ngga! Sarapan di sini aja."
"Ya udah, kalau gitu bagi aku sarapannya," jawab Jonathan seenaknya sambil menutup telepon.

Tak lama kemudian aku keluar sambil membawa sebotol susu coklat hangat untuknya, sebotol jus jeruk hangat untukku, dan sekotak roti gandum yang sudah kuoles selai coklat dan blueberry favoritku yang kulipat jadi bentuk segitiga. Jonathan terlihat senang begitu melihatku keluar pagar sambil menenteng botol dan kotak itu.

"Nih," ucapku kesal sambil menyodorkan sebotol susu coklat.
"Makan di dalam mobil yuk," ajak Jonathan seperti tak peduli dengan raut mukaku yang kesal.

"Ngga mau, makan di bangku bawah pohon itu aja,"seruku sambil menunjuk sebuah bangku panjang di bawah pohon dengan dagu.
"Ya deh," jawab Jonathan sambil memamerkan deretan giginya. Dia terlihat senang sekali.
Dia mendahuluiku duduk di bawah pohon. Apa dia kelaparan? Kok sepertinya semangat sekali mau sarapan. Tanpa basa-basi dia langsung membuka kotak roti.

"Ini selai apa? Aku ngga suka lho kalau ini selai nanas."
"Emang itu kayak nanas?"
"Engga sih, kayak coklat, tapi kayak ada jeli-jelinya juga."
"Ya udah, coklat berarti," jawabku ketus. "Coklat campur blueberry," ujarku menambahkan.

"Kok kamu tahu aku suka coklat campur blueberry?"
"Jangan ge-er, itu selai kesukaan aku," jawabku, padahal aku agak terkejut mendengar bahwa dia juga suka selai coklat dicampur blueberry.
"Ih niru-niru."
"Emang aku tahu gitu kamu juga suka?" dengusku.
"Qayya kok marah-marah sih?" tanyanya dengan nada lesu.

Aku juga heran kenapa aku marah-marah. Aku melirik wajahnya yang agak kecewa. Dia benar-benar sedih atau pura-pura sih? Aku jadi teringat lagi kisah hidupnya yang tragis itu. Teringat lagi kalau dia hidup sendiri. Aku jadi merasa bersalah memperlakukannya dengan ketus. Bagaimana pun dia masih kecil, walau dia berusaha terlihat kuat dengan gaya otoriternya itu, tapi dia pasti sebenarnya ingin nangis kejer.

"Iya, maaf ya..., dimakan rotinya, aku bikin lima tuh. Kalau kamu suka, sisain aja buat aku satu."
"Buat aku tiga, buat kamu dua, okay?" tanyanya meminta persetujuanku.
"Oke deh," jawabku sekenanya.

Dia makan roti itu dengan lahap sampai habis tiga-tiganya. Dia bahkan menghabiskan lebih dulu daripada aku, padahal aku cuma kebagian dua. Remaja yang masih dalam masa pertumbuhan memang begitu, dia pasti sering kelaparan.

"Yuk!" ajaknya setelah menghabiskan susu coklatnya.
"Aku taruh ini ke dalam dulu," jawabku sambil membereskan botol dan kotak.
"Oke, aku tunggu di dalam mobil ya," jawabnya.

Aku segera berjalan menuju kamar dan meletakkan botol beserta kotak di atas meja belajar, kemudian mengunci pintu dan berjalan ke arah mobil Jonathan. Duh, aku tidak mau duduk di sebelah dia, nanti kalau deg-degan lagi bagaimana? Dia kok makin hari makin keren ya? Dia datang dengan baju kaos putih, jeans hitam yang sedikit sobek di bagian lutut, dan juga sneakers warna red wine dengan tali putih. Dia juga memakai gelang hitam tipis. Malas banget dekat-dekat dia. Bikin insecure saja, aku kayak kakak sama adik ngga ya kalau pergi sama dia?

M JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang